Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wajah Generasi Topping dalam Hierarki Pendidikan Wajib yang Tidak Lagi Penting

26 Mei 2024   15:22 Diperbarui: 26 Mei 2024   15:52 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dok. Pribadi

Kuliah tidak wajib. Memang sejak kapan ada narasi kuliah wajib? Bukankah program wajib belajar (sekolah) 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) tahun saja tidak bisa dilihat di mana letak kewajibannya.

Dengan mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023 yang menunjukkan bahwa penduduk bekerja di tanah air didominasi oleh lulusan SD (Sekolah Dasar) ke bawah, sepertinya menunjukkan kejelasan bahwa program wajib belajar 9 (sembilan) tahun tidak mempunyai letak kewajiban. 

Begitupun yang terjadi pada program wajib belajar (sekolah) 12 (dua belas tahun), belum tampak terbaca di mana letak kewajibannya. 

Sebab berdasarkan data BPS tersebut, jumlah pekerja yang didominasi oleh lulusan SD ke bawah jumlahnya mencapai 51,49 juta orang atau menyumbang lebih dari 36,82 persen dari total penduduk bekerja yang sudah berada di angka 139,85 juta orang. Sedang jumlah pekerja SMP mencapai 24,85 juta orang. 

Sementara pencanangan wajib belajar (sekolah) 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) tahun atau wajib sekolah hingga ke tahap Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang sudah dimulai sejak era Soeharto di tahun 1994 melalui Inpres no 1 tahun 1994, dan wajib sekolah sampai ke tingkat Sekolah Menengah Atas/Umum (SMA/SMU) yang sudah mulai dirintis sejak 2013.

Artinya, bila program wajib belajar 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) tahun benar-benar diwajibkan maka seharusnya data jumlah pekerja yang didominasi oleh lulusan SD ke  bawah dan SMP jumlahnya tidak sebesar itu bahkan seharusnya bisa ditekan ke angka 0 persen. 

Tapi data menunjukkan bahwa harapan dari kewajiban belajar 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) tahun yang tidak diberikan konsekuensi apabila tidak melaksanakan kewajibannya, dinilai tidak memiliki sinkronisasi atau kesesuaian antara aturan kewajiban dengan fakta jumlah pekerja lulusan di bawah SD dan SMP yang ada. 

Terutama bila ditinjau dari sisi kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara, maka data tadi hendak menunjukkan bahwa program wajib belajar 9 (sembilan) dan 12 (dua belas) tahun terbilang masih jauh dari kata berhasil. 

Karenanya terlalu jauh lagi jika berharap pendidikan diwajibkan sampai ke tingkat perkuliahan. Apalagi di tengah isu biaya UKT yang semakin meroket dan tidak terjangkau. 

Terlebih, ketika dunia pendidikan dihadapkan dengan kehadiran generasi topping, yang melalui kemanfaatan seluruh media digital bisa membuat seseorang atau akun (topper) dapat mencapai puncak untuk meraih kesuksesan atau tujuan hidup tanpa membutuhkan lagi lembar atau transkrip nilai ijazah. 

Di generasi ini, kenyataan yang banyak terjadi atas kesuksesan orang-orang tanpa ijazah atau gelar di dalamnya, hendak mengatakan bahwa hierarki pendidikan wajib tidak lagi penting. 

Tengok saja para microcelebrity, influencer, youtuber, story teller, streamer, pedagang online sukses dan profesi online lainnya yang terbilang sukses, hampir dapat dipastikan lebih banyak tidak menggunakan ijasah, nilai ijazah, gelar atau jenjang pendidikan dalam meraihnya. 

Pengakuan dan keakuan hingga seseorang atau sebuah akun mampu mencapai puncak kesuksesan di generasi topping tidak didominasi oleh kecerdasan IQ, EQ, SQ atau jenis kecerdasan berbasis akademik lainnya, melainkan oleh akumulasi penilaian dari para rater atas kemampuan AQ dalam konteks pendakian lewat interaksi sosial digital. 

Oleh karena itu, ke masa depan, hierarki pendidikan wajib seharusnya mengacu pada kebutuhan teknologi yang dapat menunjang perkembangan dunia digital semisal membangun sekolah atau kuliah vokasi berbasis pengetahuan algoritma digital dan artificial intellengence (AI). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun