Sebab keberadaan kasus perundungan di tingkat selevel kaum intelektual setara S2 memunculkan implikasi yang mengarahkan pada maksud dan tujuan sistem pendidikan karakter yang tidak memberikan hasil keluaran yang sesuai dengan harapan atau tujuan dari pendidikan karakter. Namun, tentu saja data tersebut belum bisa mewakili gagalnya sistem pendidikan karakter secara keseluruhan. Perlu dibuktikan terlebih dahulu melalui indikator kegagalan lainnya.
Sebagai petunjuk awal, selain data skrining mengenai depresi dokter spesialis berikut kabar berita terkait perundungan atau bully yang terjadi, ada beberapa kasus lain di dunia pendidikan kita baru-baru ini yang melibatkan petinggi sekelas rektor atau profesor . Sedangkan di luar dunia pendidikan cerminan kegagalan pembentukkan pendidikan karakter tampak jauh lebih dahsyat. Â Â
Di salah satu universitas swasta di sebuah daerah, seorang rektor dilaporkan ke polisi atas dugaan pelecehan seksual terhadap 12 (dua belas) korban. Kasus pelecehan seksual dalam dunia pendidikan bukan yang pertama kali terjadi. Jika mau dibuat daftarnya mulai tingkat Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas/Umum (SMA/SMU) hingga perguruan tinggi, kasus pelecehan seksual seringkali terjadi. Kasus ini merupakan bukti gagalnya dimensi spiritual dari pendidikan karakter.
Kasus pelecehan seksual di universitas swasta tersebut mencuat sekira seminggu setelah kasus publikasi 160 artikel ilmiah oleh seorang profesor dalam 120 hari di 2024. Sehingga publikasi tersebut menimbulkan keraguan, dugaan, dan tanda tanya besar terhadap artikel yang telah dipublikasi, apakah artikel-artikel yang dipublikasi murni hasil dari pemikiran dan tulisannya atau fake produductivity? Terlebih  di beberapa artikel yang dipublikasi mencantumkan nama orang lain yang tidak dikenal baik secara personal atau akademik, dan kabarnya nama yang dicantumkan dalam artikel telah memberi konfirmasi bahwa dirinya tidak mengenal atau memiliki keterikatan akademik dengan sang profesor.Â
Fake productivity di dunia pendidikan akhir-akhir ini kerap terjadi pada pembuatan artikel-artikel ilmiah demi memenuhi target publikasi terkait jurnal ilmiah lokal, nasional atau internasional yang terindeks scopus atau lainnya. Akibatnya, mahasiswa dan pendidik akan berusaha melakukan berbagai cara agar dapat memenuhi target tersebut guna memperoleh kelulusan atau poin yang akan berguna mengakumulasi pemenuhan syarat kenaikan jenjang jabatan bagi pendidik. Termasuk menerbitkan artikel-artikel di jurnal predator.
Di sisi lain juga ditemukan fakta adanya sejumlah dosen melakukan praktik non-etik dengan mengklaim sebagai penulis artikel yang diterbitkan pada sebuah jurnal yang berasal dari mahasiswa bimbingannya atau melalui skenario penelitian bersama tapi tanpa sedikitpun memberikan kontribusi alias hanya menebeng nama hingga terbitnya penelitian dalam bentuk artikel ke sebuah jurnal.  Di titik ini dunia pendidikan tentu kesulitan membedakan antara yang sibuk atau produktif. Kasus-kasus terkait artikel yang masuk dalam kategori fake productivity bisa menjadi bukti gagalnya dimensi kompetensi dalam olah pikir (literasi) dan dimensi moralitas juga sportivitas.
Sementara setahun sebelumnya, seorang rektor di salah satu kampus fakultas kedokteran di sebuah daerah terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap terkait penerimaan mahasiswa baru (PMB). Rektor tersebut divonis 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda sebesar Rp 400 juta. Kasus pidana korupsi di dunia pendidikan dan di luar dunia pendidikan yang dilakukan oleh berbagai kalangan sampai pejabat sekelas menteri juga banyak terjadi, dan menunjukkan bukti gagalnya pendidikan karakter yang melanggar 4 (empat) dimensi.
Dalam keseharian interaksi di dunia pendidikan, di portal berita online dan di berbagai media sosial pernah viral bahasan tentang para peserta didik yang kurang atau bahkan tidak memiliki adab, sopan santun atau etika saat berkomunikasi via pesan tertulis, telepon atau berhadapan langsung dengan para pendidiknya (guru, dosen atau mentor). Informasi ini juga merupakan indikasi terhadap gagalnya pembentukan dan tujuan pendidikan karakter.   Â
Di tingkat demokrasi tertinggi pada pelaksanaan pemilu yang baru lalu, ada sebuah pelanggaran etik yang dinyatakan terbukti melanggar. Kasus pelanggaran etik yang terjadi bahkan sampai sempat membuat perdebatan dan polemik di berbagai kalangan, acara televisi dan platform digital serta platform media sosial. Untuk kasus yang satu ini, apakah bisa menjadi salah satu bukti gagalnya pendidikan karakter?
Akan tetapi berdasarkan data tentang kasus perundungan di level S2, pelecehan seksual, korupsi dan kasus lainnya yang membentur atau melanggar moralitas, etika, ahlak, hingga norma agama dan hukum serta sudah banyak terjadi, menunjukkan bahwa tujuan pendidikan karakter untuk pembentukkan mental model lebih mengarah pada terbentuknya mental model negatif sehingga pendidikan karakter bisa dinyatakan gagal. Oleh karena itu, sistem pendidikan karakter perlu dilakukan pembenahan secara serius.
***