Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seragam Sekolah dan Kain Kafan: Dampak Hierarki Pendidikan di Ujung Batas

30 April 2024   12:57 Diperbarui: 30 April 2024   13:00 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tangkapan layar instagram Kemendikbud Ristek/kompas.com

Sebelum masuk ke pembahasan tentang untung-rugi atau manfaat-mudarat penggunaan seragam sekolah, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu dampak positif yang terbangun oleh adanya hierarki yang dibentuk seragam sekolah melalui jenjangnya.

Sepanjang kita ketahui, hierarki jenjang pendidikan dapat diidentifikasi melalui seragamnya.Untuk sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), warna dan model seragam sekolah umumnya ditentukan oleh kebijakan masing-masing yayasan atau pemiliknya. 

Sedangkan di tingkat Sekolah Dasar (SD) memakai seragam putih-merah, Sekolah Menengah Pertama (SMP) berseragam putih-biru dan Sekolah Menengah Atas/Umum (SMA/SMU) mengenakan seragam putih-abu-abu. Pada hari-hari tertentu, siswa-siswi SD,SMP hingga SMA/SMU memiliki seragam yang sama, putih-putih, pramuka, olahraga, batik atau busana keagamaan. 

Sementara untuk jenjang pendidikan tinggi, perguruan tinggi atau universitas di tingkat bangku kuliah mahasiswa/mahasiswi mengenakan pakaian bebas terkecuali untuk pendidikan tinggi vokasi. Mahasiswa-mahasiswi vokasi mempunyai seragam khusus sesuai dengan program keahliannya, ada seragam keperawatan atau kebidanan, perhotelan, perkapalan, penerbangan, perhubungan dan seragam vokasi lainnya. 

Perbedaan seragam di tiap jenjang pendidikan sesungguhnya telah membentuk hierarki jenjang pendidikan yang memberikan dampak positif terhadap identifikasi sekolah, rentang usia pelajar, dan sikap atau respon para pemangku pendidikan juga masyarakat dalam keikutsertaan mengawasi perilaku siswa-siswi berseragam di luar sekolah dan di luar jam pelajaran. 

Dengan seragam sekolah, seluruh masyarat bisa mengetahui dari sekolah mana seorang pelajar berasal, bisa membedakan rentang usia TK-SD, SD-SMP, SMP-SMA/SMU, dan SMA/SMU-Mahasiswa-Mahasiswi sehingga para pemangku pendidikan dan masyarakat bisa menentukan sikap atau respon (tindakan) apa yang harus diambil ketika terjadi penyimpangan dalam keikutsertaannya mengawasi perilaku mereka. 

Pada konteks rentang kehidupan manusia sejak mulai dilahirkan sampai menutup mata, sebelum toga (seragam) digunakan oleh semua jenjang pendidikan untuk proses wisuda kecuali di tingkat perguruan tinggi, hierarki identifikasi terbentuk dalam simbolisasi sempurna sebagai berikut: 

1. Ketika manusia lahir dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benangpun (tanpa seragam), ini berarti yang menunjukkan bahwa semua manusia memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan. 

2. Seragam TK sesuai kebijakan yayasan atau pemilik (seragam dengan warna dan model variatif) , menunjukkan bahwa setiap manusia di rentang usia ini dalam perkembangan dan pertumbuhan awal membutuhkan perlakuan berbeda untuk membentuk berbagai jenis kecerdasan, minat dan bakatnya. 

3. Seragam SD putih-merah, ini memberikan keseragaman dan petunjuk bahwa di rentang usia ini, siswa-siswi diharapkan sudah mulai memiliki keberanian untuk berinteraksi aktif dalam kegiatan belajar mengajar, mulai belajar mandiri dan mempunyai dasar inisiatif.

4. Seragam SMP putih-biru, di rentang usia ini pertumbuhan dan perkembangan memasuki remaja awal. Siswa-siswi umumnya mengalami masa pubertas, selalu ingin mencoba hal baru, cenderung ikut-ikutan sehingga diperlukan pengarahan, pembinaan dan pengawasan dari keluarga, sekolah, lingkungan, pemangku pendidikan dan masyarakat.

5. Seragam SMA/SMU putih-abu-abu, seragam di rentang ini memberikan makna simbolisasi kecenderungan tentang keseriusan, tanggung-jawab dan sifat kemandirian, tetapi sekaligus memberi sinyal bahwa di rentang usia ini segala hal tampak abu-abu. Sebuah masa yang mempunyai kecenderungan berada di posisi antara hitam dan putih, yang menunjukkan bahwa potensi kerentanan penyimpangan pergaulan dan/atau arah pendidikan yang berbelok bisa dialami oleh siswa-siswi di di rentang usia ini.  

6. Seragam Perguruan Tinggi almamater (vokasi) - toga wisuda, di rentang usia ini mahasiswa-mahasiswi sejatinya telah memiliki kebebasan dalam menentukan banyak hal, selaras dengan pakaian bebas yang dikenakan sehari-hari saat berkuliah kecuali untuk aktivitas tertentu menggunakan almamater dan seragam vokasi bagi sekolah-sekolah tinggi vokasi. 

Sementara pakaian toga wisuda melambangkan pencapaian yang berhasil ditempuh oleh setiap mahasiswa-mahasiswi dalam upaya meraih gelar setelah belajar formal sejak masa sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). 

Sayangnya, almamater dan toga wisuda telah mulai umum digunakan juga oleh sekolah-sekolah berjenjang di bawah perguruan tinggi sehingga semangat perjuangan dalam meraih gelar berkesan tidak lagi bernilai. 

7. Seragam Kerja Jas-Blazer, seragam kerja jas-blazer merupakan simbol bagi kemapanan, mewakili simbolisasi manusia-manusia pekerja dengan berbagai jabatan, level atau profesi yang telah memiliki penghasilan setelah memiliki tingkat pendidikan. Termasuk di dalamnya para pedagang, pengusaha, pebisnis, para pemain saham dan lainnya. 

8. Gaun Pengantin, melambangkan masa berkeluarga, perjalanan akhir hidup manusia dari kesendirian dan memulai hidup bersama dengan pasangan. Sebuah proses pengulangan yang pernah dilalui orangtua masing-masing pasangan, berketurunan lalu menjadi orangtua, menumbuhkembangkan, mengarahkan, membina dan mendidik anak-anak. Siklus yang dialami secara terus-menerus dari generasi ke generasi.

9. Kain Kafan, sebagai seragam lambang akhir hidup manusia yang digunakan oleh penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka ketika dikuburkan saat menemui kematian (batas ujung hidup manusia) di sini diwakilkan oleh kain kafan (tentu berbeda bagi keyakinan non Islam). Sebuah simbolisasi yang harusnya diterjemahkan oleh dunia pendidikan sebagai batas ujung pendidikan yang memberikan dampak kesadaran. Sebab seperti sadar akan kematian, seluruh umat manusia inginnya masuk surga (baik/positif) saat menemui ajalnya, begitupun seharusnya dampak (impact) pendidikan. 

Oleh karena itu, dampak pendidikan baik dilihat dari makna simbolisasi hierarki seragam sekolah maupun tanpa hierarki seragam, seharusnya tetap memberikan dampak kesadaran bertingkat yang mampu dikelola dan dikendalikan secara baik, tepat dan cerdas. Tingkat kesadaran model Richard Barret yang didasarkan pada hierarki kebutuhan Abraham Maslow, yang terdiri dari: Surviving (kesadaran bertahan atau mempertahankan keberlangsungan hidup), Conforming-Relationship (kesadaran hubungan), Differentiating-Self Esteem (kesadaran harga diri), Transformation (kesadaran transformasi), Self Actualizing-Self Expression (kesadaran kohesi internal), Integrating-Connection (membuat perbedaan kesadaran), dan Serving -Contribution (kesadaran memberikan pelayanan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun