5. Nasdem: 69 (11.9 persen) kursiÂ
6. PKS: 53 (9.14 persen) kursiÂ
7. PAN: 48 (8.28 persen) kursi Â
8. Demokrat: 44 (7.56 persen) kursi
Data peraihan jumlah kursi di DPR itu kelak akan turut menentukan jalannya demokrasi dan berbagai keputusan strategis dalam menjalankan roda pemerintahan dalam berbangsa dan bernegara sampai ke periode lima tahun berikutnya. Bahkan ikut menentukan untuk mengajukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), seperti diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 yang berbunyi: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya"
Berdasarkan urutan pelaksanaan dan ketentuannya, semua pelaksanaan jalannya pemilu merupakan proses monetisasi politik. Secara sederhana proses monetisasi politik bermula dari besaran modal (uang) yang dikeluarkan untuk pencalonan, dana kampanye, belanja APK hingga membeli suara (vote buying)Â dengan berbagai material yang bisa dikonversikan ke dalam besaran nilai rupiah. Semua anggaran yang keluar lalu berakumulasi ke dalam suara yang ketika ditetapkan sebagai hasil akhir, akan terkonversi menjadi kursi di DPR RI.Â
Proses monetisasi politik dari uang modal ke jumlah suara dan dari jumlah suara ke jumlah kursi pada akhirnya merupakan akumulasi nilai ekonomi politik yang turut menentukan nasib bangsa. Terlebih ketika dalam prosesnya dipengaruhi oleh peran-peran elite politik, oligarki hingga money politics, yang pada akhirnya terkonversi menjadi jumlah kursi di DPR RI, yang dengannya juga melahirkan koalisi, oposisi, transaksi, rekonsiliasi, kontrak, balas budi politik atau lainnya serta keputusan-keputusan strategis dalam jalannya roda pemerintahan hingga kembali ke proses pemilu lima tahun berikutnya.
Jadi monetisasi politik dalam artikel ini adalah praktik mengkonversi modal politik (uang) menjadi besaran raihan jumlah suara, yang kemudian dikonversi menjadi jumlah kursi di DPR RI melalui proses Pemilu yang pada akhirnya menjadi akumulasi nilai ekonomi politik dalam menentukan pemimpin bangsa, jalannya roda pemerintahan, demokrasi dan ikut menentukan nasib bangsa.Â
Tetapi masihkah kita terus berharap nasib bangsa ditentukan oleh monetisasi politik dengan kecenderungan bagi-bagi kue politik? Sampai kapan akumulasi nilai ekonomi politik terus kita percayakan untuk menentukan nasib bangsa? Kapan nasib bangsa ini bisa ditentukan oleh akumulasi suara rakyat yang sesungguhnya dalam konteks partisipasi politik sesuai dengan makna demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat?Â
***
  Â