Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

"Demotrasi" dalam Demokrasi

1 Maret 2024   14:28 Diperbarui: 1 Maret 2024   15:07 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ingat saudara-saudara! Suara yang kami berikan kepada kalian untuk mewakilkan segenap aspirasi dan kehendak kami, tidak kami ikut sertakan hak kuasa untuk membunuh kekuasaan mutlak yang kami punya dalam demokrasi" Raje - Rakyat Jelata 

Dulu sekali, pada tahun 507-508 SM, kata 'demokrasi muncul pertama kali pada mazhab politik dan filsafat Yunani Kuno di negara -kota Athena. Dipimpin oleh Cleisthenes, warga Athena mendirikan negara yang umum dianggap sebagai negara demokrasi pertama. Cleithenes kemudian disebut sebagai bapak demokrasi Athena.

Demokrasi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos dan kratos. Demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan yang mutlak, maka secara harfiah demokrasi adalah kekuasaan yang mutlak oleh rakyat atau kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. 

Mencermati demokrasi dari asal makna katanya, sistem demokrasi seolah hendak mengatakan bahwa idealisme berdirinya sebuah negara dimulai dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sehingga kekuasaan pun mutlak dimiliki rakyat. Namun idealisme tersebut terasa menjadi hambar ketika berhadapan dengan proses pembentukannya.

Pembentukan negara oleh para elite dan segenap unsur yang menyertainya dalam suatu perjalanan, biasanya beranjak dari pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (politik) sebagai cara bernegara, yang kemudian didesain sedemikian rupa dengan memulainya dari pemilihan umum. Diketahui, bangsa Indonesia memulainya di tahun 1955. 

Tetapi ironinya, ketika demokrasi bertemu dengan ilmu politik, sejarah panjang demokrasi Indonesia telah menunjukkan dengan jelas di mana posisi rakyat sebenarnya berada. Politik tidak memperlakukan atau menempatkan rakyat sesuai dengan arti asal kata demokrasi yang mengatakan bahwasanya kekuasaan mutlak ada di tangan rakyat. 

Terlebih faktanya, kuasa rakyat hanya terjadi lima tahun sekali melalui hak suara untuk dapat menentukan pilihan. Malangnya, satu-satunya kuasa yang dimiliki atas hak suaranya itu pun masih seringkali diganggu atau dalam bahasa lain dipengaruhi hingga bahkan dibeli melalui cara vote buying, yang merupakan bagian dari money politics. 

Selain itu, sejak bergulirnya reformasi, saat kuasa atas hak suara rakyat telah diberikan atau dipercayakan di hari pencoblosan setiap lima tahun sekali pada satu paslon capres-cawapres dan caleg, yang umumnya diusung dan didukung oleh partai, kemutlakan rakyat atas kekuasaan beralih ke presiden dan wakil presiden terpilih, partai terpilih serta caleg-caleg terpilih yang berhasil ke parlemen.

Maka alih-alih sebagai bentuk kuasa yang dimiliki rakyat, hak suara sebagai kuasa rakyat yang telah diberikan di hari pencoblosan seolah dibuat jadi tanda sepakat untuk mewakilkan atau mengamanatkan kuasanya ke jajaran caleg-caleg terpilih atau parlemen. Di titik inilah demokrasi telah kehilangan daya maknanya. Kekuasaan mutlak di tangan rakyat memudar bahkan hilang. Demokrasi berubah menjadi "demotrasi". Apa itu "demotrasi"?

Ketika kuasa rakyat memudar atau bahkan hilang sejak mewakilkan kuasanya ke parlemen, makna demokrasi yang menyatakan bahwa kuasa tertinggi berada di tangan rakyat terbukti lebur dan hanya menjadi sebatas simbolisasi. Sedangkan pelaksana atas kuasa tersebut beralih ke parlemen, yang beberapa ketentuannya didasarkan oleh banyaknya jumlah kursi partai di dalamnya. 

Maka tidak peduli berasal dari parlemen yang mana, apakah artis parlemen, kader partai parlemen, elite parlemen atau yang tergabung dalam fraksi parlemen, rakyat tak lagi punya kuasa untuk ikut menentukan nasib dan masa depan bangsa karena sudah diwakilkan. 

Permainan politik yang mematikan kuasa rakyat selanjutnya adalah narasi penggunaan kata "untuk kepentingan rakyat". Sementara di baliknya, ada tendensi menggolkan kepentingan personal, kelompok, partai, baik partai koalisi maupun partai opisisi hingga ranah oligarki. 

Sampai kemudian keluar keputusan strategis, kebijakan, aturan hingga undang-undang dari parlemen, yang dalihnya adalah kepentingan rakyat. Yang, tentu saja kembali merujuk pada kesepakatan awal, bahwa para legislatif di dalam parlemen adalah wakil (kuasa) rakyat, maka UU yang digulirkan sudah atas persetujuan rakyat. Padahal hasil yang termaktub di dalam UU yang disahkan mengindikasikan rakyat sebagai objek penderitanya. 

Kuasa rakyat yang kenyataannya hanya simbolisasi, dapat terbaca ketika pada beberapa pengesahan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ditolak oleh rakyat, tak ditanggapi. 

Tapi meskipun penolakan telah diupayakan sebelum pengesahan, baik melalui demonstrasi atau parlemen jalanan secara berjilid hingga ke jalur hukum lewat Mahkamah Konstitusi sebagai upaya kesungguhan rakyat dalam menolak pengesahan suatu Undang-Undang, misalnya UU Cipta Kerja . Rakyat yang katanya kuasa tertinggi dalam demokrasi, gagal menggunakan kuasa mutlaknya. 

UU Cipta Kerja tetap disahkan. Kegagalan melakukan penolakan itu menjadi bukti lagi untuk kesekian kalinya bahwa kekuasaan rakyat tertinggi dalam demokrasi hanya simbolisasi. Pengesahan itu menunjukkan ihwal sebaliknya, bahwa rakyat merupakan obyek penderita demokrasi atau korban demokrasi alias "demotrasi".

Demotrasi berbeda dengan demonstrasi. Tapi terjadinya demotrasi seringkali diawali dengan demonstrasi. Sebab demonstrasi atau parlemen jalanan merupakan salah satu cara rakyat atau bagian dari rakyat dalam upayanya mengambil alih kembali kekuasaan mutlak yang dimilikinya dalam demokrasi ketika kesewenang-wenangan merajalela, keadilan diabaikan dan kepentingan rakyat hanya dijadikan dalih untuk kepentingan personal, kelompok, partai atau oligarki oleh parlemen dan para elite politik.  

Maka demotrasi dalam demokrasi hendak menyatakan bahwa dalam demokrasi rakyat adalah obyek penderita atau korban, bukan penguasa tertinggi. Tetapi dari mana istilah demotrasi berasal?

Puluhan tahun silam. Di sekira tahun 1980 hingga tahun 1990-an hidup sebuah keluarga yang terbilang sederhana di masanya. Tidak dalam arti berkecukupan atau mampu membeli segala kebutuhan. Hanya setidaknya kala itu keluarga mereka tidak berada di bawah garis kemiskinan. Begitulah kesederhanaan dinilai ketika itu.

Keluarga ini terdiri dari seorang ayah yang tidak memiliki pekerjaan, seorang ibu yang berprofesi guru dan berstatus pegawai negeri dengan sembilan orang anak, yang lima di antaranya masih usia sekolah. Tetapi siapa pun yang berada di masa-masa itu bisa menduga seberapa mampu gaji seorang guru, yang bekerja seorang diri menafkahi keluarga, membayar biaya sekolah lima anaknya dan memenuhi semua kebutuhan. 

Karenanya, untuk mencukupi semua itu sang ibu mengajar juga di satu sekolah lainnya. Di luar pekerjaannya, demi menutupi kekurangan biaya makan, seringkali ia hanya menanak nasi tanpa lauk pauk. Di sinilah drama kemiskinan itu terlihat. Lauk-pauk untuk melengkapi nasi yang diberikan oleh sang ayah lebih sering memunculkan tiga pilihan, yaitu kerupuk kaleng, garam atau belacan. 

Pilihan biasanya lebih sering tertuju pada belacan. Selain mudah dan murah, terdapat kandungan unsur gizi yang cukup tinggi dalam belacan. Tingginya unsur gizi pada belacan berasal dari bahan dasar pembuatnya, yakni udang atau ikan. Sang ayah biasanya akan menggarang atau menggoreng belacan terlebih dahulu sebelum diremahkan, dicampur dan diaduk dengan sepiring nasi. Sesekali langsung dihancurkan halus, dicampurkan dan diaduk dengan sepiring nasi untuk disantap.

Menu makan nasi campur belacan di masa itu rupanya dijadikan menu makan juga oleh keluarga lain demi melakukan penghematan pengeluaran biaya kebutuhan keluarga atau untuk sekadar bisa makan. Menu nasi campur belacan menunjukkan gambaran kemiskinan atau penderitaan rakyat yang tampak berbanding terbalik dengan para elite politik dan berlawanan dengan kekuasaan mutlak yang seharusnya dimiliki rakyat dalam demokrasi. 

Seperti diketahui belacan adalah bumbu penyedap masakan yang dibuat dari ikan kecil-kecil atau udang yang dilumatkan halus-halus; terasi. Bentuk belacan atau terasi umumnya kotak atau persegi dengan tekstur lunak sehingga mudah diremah atau dihaluskan. Terasi mempunyai bau yang khas dan menyengat. Sebagai bumbu penyedap masakan, terasi lebih banyak digunakan untuk membuat sambal.  

Terasi sebenarnya mendeskripsikan fleksibilitas kemanfaatan. Terasi bisa digunakan untuk menyedapkan berbagai macam menu mewah di restoran dan hotel hingga menyasar ke menu-menu dapur para hartawan, bangsawan, negarawan dan kelas atas lainnya. Tetapi sekaligus juga dapat melengkapi menu masakan kalangan bawah di kaki-kaki lima, warung makan tepi jalan hingga ke dapur-dapur rumah gubuk hanya untuk sekadar menjadi lauk-pauk yang dicampur langsung dengan sepiring nasi. 

Gambaran terasi dalam kehidupan rakyat jelata yang mudah dan berharga murah lalu dijadikan menu makan nasi campur terasi untuk makanan sehari-hari merupakan bagian dari paradoks demokrasi atas kekuasaan mutlak. Gambaran untuk merepresentasi posisi rakyat sebenarnya, yang dalam demokrasi selalu menjadi obyek penderita alias korban meskipun kekuasaan tertinggi ada di tangannya. 

Perihal penggambaran itulah yang kemudian meleburkan demos kepada terasi (trasi) menjadi sebentuk makna baru "demotrasi" untuk memaparkan posisi rakyat yang sesungguhnya dalam demokrasi. Bahwa rakyat bukan sebagai pemilik kekuasaan mutlak melainkan sebagai obyek penderita mutlak dalam kekuasaan. Demotrasi berarti rakyat adalah obyek penderita kekuasaan atau rakyat adalah korban kekuasaan. 

Maka terkait berita terbaru akhir-akhir ini mengenai terhapusnya ambang batas parlemen, walaupun bagi sebagian besar orang dinilai sebagai suatu kemajuan demokrasi, kemenangan kedaulatan rakyat dan bentuk keadilan pemilu karena tak akan ada lagi suara rakyat terbuang. Sebab semua suara pemilih akan terkonversi menjadi perolehan kursi anggota DPR. Apakah rakyat menilai hal tersebut sebagai kemajuan yang sama?

Kemajuan demokrasi atas penghapusan ambang batas parlemen tentu saja kemajuan positif bagi partai-partai yang tidak pernah bisa mencapai ambang batas 4 persen suara sah nasional, tapi apakah bagi rakyat demikian juga bila dilihat dari konteks demotrasi? 

Selama keterwakilan suara rakyat di parlemen tidak memiliki mekanisme sambung lidah atas hak suara(kuasa)nya ketika rakyat membutuhkan kekuasaan mutlaknya untuk digunakan dalam memperjuangkan keadilan, penghapusan ambang batas parlemen tidak akan mengubah kenyataan bahwa ada demotrasi dalam demokrasi. 

Referensi

https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi#:~:text=Zaman%20kuno,-Lihat%20pula%3A%20Demokrasi&text=Kata%20%22demokrasi%22%20pertama%20muncul%20pada,sebagai%20%22bapak%20demokrasi%20Athena.%22

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun