"Sebuah hari tanpa tertawa adalah hari yang tidak berguna" -Charlie Chaplin-
Hari tanpa tertawa bagi sebagian besar orang adalah sebuah kemustahilan.
Sebab meskipun dunia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja, tawa merupakan salah satu cara ampuh dalam menghibur dan memberi banyak alasan untuk mengobati luka dan duka yang ditimbulkan oleh apapun permasalahan dunia.
Wabah, bencana, peperangan, resesi, penurunan daya dukung lingkungan, perubahan iklim dan segudang permasalahan lain yang tiada henti datang silih berganti di bumi yang kita diami sekarang, tentu tidak harus selalu disikapi dengan kesedihan, kecewa, penyesalan atau pesimisme.
Tetapi tawa walaupun seringkali hadir atau dihadirkan dalam rangka menghibur, menjadi bagian dari terapi atau mampu mengobati luka dan duka, ia hanya sekadar mampu menyembuhkan luka batin atau mental dan seringkali bersifat di awal saja dan sementara. Â Â
Ketika beberapa titik dari penjuru dunia atau hampir seluruh penjuru dunia tertimpa wabah dan bencana, didera peperangan, dihantam resesi, dilanda kerusakan lingkungan dan iklim ekstrem yang merubah kondisi bumi serta masalah lainnya, dunia malah akan terpingkal-pingkal bila semua permasalahan itu dapat diselesaikan oleh hiburan dan tawa.Â
Nonsense! Dunia tidak hadir melalui penghiburan atau tawa. Bumi bahkan beraksi lewat dirinya sendiri untuk memperbaiki sejumlah bagian dari kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh ulah manusia. Bukan dengan cara menghibur diri atau menertawai dirinya sendiri.
Sementara usaha manusia untuk membuat dunia terbebas dari semua permasalahan yang menyelimutinya, sedekat ini terbukti masih jauh dari harapan.
Lalu bagaimana dengan eksistensi sebuah dunia yang seharusnya berada di posisi penyelesai semua masalah, yakni demokrasi dengan politiknya, mampu mengambil peran?
Sejak reformasi, demokrasi pernah bahkan selalu mempercayakan keutuhan diri dan cita-cita luhurnya kepada para negarawan, bangsawan, teknokrat, parlemen, legislatif, eksekutif hingga yudikatif atau hirarki jabatan dalam pemerintahan, yang sebagian besarnya bermula dari pesta demokrasi.
Semua calon, kandidat atau politisi yang terpilih dalam pemilu dan kemudian menyusun hirarki jabatan dalam pemerintahan, tentulah berasal dari latar belakang pendidikan, profesi atau keahlian berbeda, yang umumnya datang dari kalangan negarawan, bangsawan, teknorat atau politisi melalui jalur partai dan memiliki bekal kompentensi politik.Â
Tapi pada beberapa kali pemilu pasca reformasi, calon atau kandidat yang berkompetisi tidak hanya datang dari kalangan negarawan, bangsawan, teknorat atau politisi yang telah membekali diri dengan pendidikan atau pengetahuan politik, melainkan juga mulai hadir calon atau kandidat dari kalangan selebritis, tokoh jurnalis hingga populis dengan sedikit atau bahkan tanpa bekal ilmu politik.
Dari sudut pandang jalma leutik (wong cilik atau rakyat jelata), dalam batas pengetahuannya,  para calon atau kandidat terutama dari kalangan selebritis diduga maju dalam pemilihan hanya dengan bermodal popularitas, elektabilitas dan/atau isi tas tanpa kapasitas.
Sehingga cenderung dipastikan pula bahwa pencalonan selebritis atau artis yang kemudian berhasil menjadi artis parlemen, bagi sebagian besar jalma leutik, peruntukkan awalnya adalah mendongkrak suara hingga menambah jatah kursi partai di parlemen dengan cara instan.
Apakah berhasil dan mampu membawa demokrasi ke arah perubahan yang maju, bersih dah sehat?
Pada periode 2019-2024, setidaknya ada 13 nama artis dinyatakan lolos sebagai anggota legislatif, yaitu Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Desy Ratnasari, Dede Yusuf Macan Effendi, Tommy Kurniawan, Primus Yustisio, Rieke Diah Pitaloka, Arzeti Bilbina, Krisdayanti, Rano karno, Nurul Arifin, Farhan, Rachel Maryam Sayidina dan Nico Siahaan.
Lolosnya nama mereka bagi partai pastilah membawa keberhasilan untuk aspek-aspek tertentu di kepartaian, tetapi seperti diketahui bahwa demokrasi Indonesia sekarang meski dengan keberadaan artis parlemen, ternyata jangankan untuk sampai pada pembuktian demokrasi maju, bersih dan sehat, untuk tiba di kondisi yang sama dengan pemilu lima tahun sebelumnya saja, tidak tampak.
Dengan demikian apa yang bisa diharapkan dari latar belakang keartisan atau popularitas mereka?
Di pemilu kali ini ada sebuah kejutan yang datang dari latar belakang keartisan, khususnya dari profesi komedian.
Komeng, tanpa diduga dapat dipastikan akan melenggang ke parlemen dengan raihan suara yang sudah mencapai 2 juta lebih.
Sosok Komeng menjadi pusat perhatian atas keberhasilannya menggunakan cara senyap (silent) dalam pencalonannya menjadi legislatif. Karena kabarnya, Komeng maju tanpa partai, tanpa kampanye bahkan tanpa keluar banyak modal. Â Â Â Â Â
Terlepas dari caranya yang tidak biasa, termasuk pengajuan foto dirinya untuk di kertas suara, sosok Komeng telah memiliki popularitas sehingga hanya dengan sedikit sentuhan berbeda hasilnya akan "jeder". Dan Komeng, mampu melihat celah itu.
Lalu informasinya, salah satu tujuan Komeng maju ke parlemen adalah untuk memperjuangkan komedi dan profesi komedian dengan mengajukan penetapan hari komedi yang sudah pernah diajukan tetapi belum tembus.
Berangkat dari profesinya dan kepedulian akan budaya terutama seni akting dan lebih khusus komunitas komedi, Komeng mengajukan hari komedi di tanggal 27 September bertepatan dengan hari lahirnya komedian legendaris Indonesia, almarhum Bing Slamet.
Pada masanya, Bing Slamet adalah artis serba bisa. Ia dikenal sebagai musisi, aktor dan maestro lawak. Semuanya ia jalani berbarengan sehingga dirinya mampu menghibur dan membuat publik tertawa. Di sekira tahun 1942-1945, Bing Slamet dikabarkan pernah berkeliling Indonesia untuk menghibur para pejuang.
Maka seperti yang telah coba diungkapkan di atas tadi, dan selaras dengan apa yang ditulis oleh Madeline L'Engle dalam buku "A Ring of Endless Light", untuk sebuah kutipan yang berbunyi "A god laugh heals a lot of hurts (tertawa menyembuhkan banyak rasa sakit), serta berdasarkan fakta sejarah, apa yang hendak dibangun Komeng bukan untuk mengarahkan dunia hiburan dan komedian (tawa) sebagai unsur penawar dan sekaligus obat dari dalam parlemen untuk mencegah dan menyembuhkan luka dan duka dari dalam panggung demokrasi.
Sebab nyatanya, apa yang bisa dilakukan oleh dunia hiburan dan tawa untuk problematika demokrasi adalah suara vokal yang mengkritisi melalui ruang-ruang seni berkomedi yang terkandung di dalam lawakan-lawakan yang disampaikan dari berbagai panggung dari luar panggung demokrasi.
Buktinya, sejumlah artis dan komedian yang pernah dan sedang berada di dalam parlemen hingga hari ini, tidak menunjukkan perlawanan atas masalah demokrasi yang terjadi dengan cara-cara menghibur atau membuat tawa.Â
Malah latar belakang keartisan atau kemampuannya membuat publik tertawa nyaris terkubur di dalam parlemen.
Sebaliknya, yang memiliki kemampuan untuk melalukan perlawanan terhadap problematika demokrasi adalah kaum agelaste.Â
Suatu kaum yang berpendirian bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang jelas dan tegas, sehingga dalam konteks kebalikan atas hiburan dan tawa, penghiburan dan tertawa tidak akan pernah mampu menjadi solusi atau pemecah masalah problematika demokrasi.
Agelaste, adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Yunani yang artinya seseorang yang tak bisa tertawa atau yang tak mempunyai sense of humor.Â
Agelaste menggambarkan sosok serius dan tidak main-main sehingga bagi para agelaste, tidak pernah ada candaan dalam kamus hidupnya saat berupaya memecahkan masalah.
Dalam konteks parlemen, politik dan demokrasi, aspek hukum adalah salah satu bentuk yang bisa mendeskripsikan diri sebagai sosok agelaste.
Sebab aspek hukum tidak pernah akan bisa dipengaruhi, disikapi atau direspon dengan penghiburan atau tertawa.
Problematika demokrasi tidak dapat dilawan dengan komedi. Tidak mampu  dipecahkan atau dicarikan solusi hanya dengan menghibur dan membuat para pelaku demokrasi tertawa. Masalah demokrasi cuma bisa diselesaikan oleh aksi dan eksekusi.
Oleh karena itu, aspek hukum adalah aksi dan eksekusi setelah cara lain termasuk kritisi menemui jalan buntu. Hukum adalah cara melawan problematika demokrasi tanpa menghibur dan tawa. Hukum merupakan sosok agelaste dalam politik dan demokrasi.
Namun kabar buruknya, dalam perlawanannya tanpa unsur penghiburan dan  tawa, aspek hukum ketika berada di tangan penguasa justru bisa menjadi pisau yang membedah unsur kebalikannya dengan memanfaatkan hukum itu sendiri untuk dilahirkan sebagai problematika demokrasi.
Realitanya pada pemilu kali ini, agelaste dalam bentuk hukum dapat menghadirkan problematika demokrasi melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)  atas judicial review tentang Undang-Undang dan pasal batasan usia pencalonan capres-cawapres.
Meskipun lewat agelaste hukum juga, keputusan atas hal tersebut dinilai sebagai pelanggaran etik berat melalui Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), akan tetapi malangnya, hasil putusan MKMK tidak bisa mengubah isi putusan MK atas judicial review sehingga agelaste hukum seolah tidak berdaya untuk putusan tersebut.
Akhirnya, ketika putusan MK sebagai sosok agelaste yang bisa melahirkan problematika demokrasi itu berlanjut sampai ke tahap kemenangan sang calon yang diuntungkan oleh isi putusan MK, agelaste hukum akan kembali melakukan perlawanan dengan mengajukan hak angket atas dugaan kecurangan pemilu. Berhasilkah peran agelaste hukum kali ini?Â
Jikapun tidak berhasil, paling tidak, keberadaan para agelaste dan esksistensi hukum sebagai bentuk agelaste dalam demokrasi menunjukkan bahwa ada hari yang bisa berguna meskipun tanpa tawa. Â Â Â Â Â
Referensi
https://haisa.wordpress.com/2008/06/05/agelaste/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H