Semua pembaca dan penulis buku tentu tahu maksud slogan "buku adalah jendela dunia", tetapi yang jarang diungkap adalah lewat pintu gerbang yang mana jalan masuk untuk sampai ke kamar-kamar  menuju ke jendela dan membukanya kemudian menatap dunia.
Untuk mampu menatap dunia, ada yang bilang dengan cara mendobrak gerbang dan semua pintu masuk kamar serta jendela melalui strategi paling cerdas dan intelektual, yaitu melek literasi.
Tapi sayangnya, tidak semua jendela dunia yang bisa dibuka dengan strategi melek literasi sanggup diterima dan ditransfer sebagai informasi positif apalagi bermanfaat. Sehingga untuk beberapa tema, buku sama sekali tidak bisa memberikan kemanfaatan kecuali pencemaran nama baik, fitnah, stigma, doktrinisasi, adu domba, pemicu perbuatan kriminal atau segala hal beraroma negatif.
Ada sebuah ungkapan "Belajar (membaca buku) tanpa guru maka gurunya adalah setan", ungkapan ini seakan  membentuk terjemahan dari sisi lain atas strategi melek literasi yang tidak hanya bisa menghasilkan pembaca (penggemar) buku yang mudah dipengaruhi tetapi juga melahirkan penulis buku dengan tema-tema beraroma negatif tadi.   Â
Buku-buku stensilan semacam karya Enny Arrow yang selalu diburu oleh kalangan remaja di tahun 1980-1990-an, misalnya, adalah sebuah contoh gagalnya apresiasi dalam literasi budaya sastra bertema  dewasa atau lebih tepat kegagalan pemerintah dalam mencegah dan mengantisipasi salah satu sumber penyebab patologi sosial di masyarakat melalui peredaran buku fisik. Karena buku-buku semacam hanya berisi tentang sensualitas beraroma mesum.
Tema buku yang pastinya tidak dimaksudkan untuk mengedukasi pembaca tentang bagaimana cara melakukan hubungan dewasa. Sebab selain isi, yang terkadang diselipkan gambar porno, jenis buku stensilan sangat cenderung hanya untuk membangkitkan gairah atau nafsu pembaca sehingga berpotensi melahirkan generasi-generasi pelaku aksi pornografi, pelecehan seksual, ganguan mental terkait seks dan masalah sosial mental lainnya.
Lalu ada buku-buku bertema heroik bernuansa religiositas berformat jihad yang kemudian menjadi doktrinisasi secara terstruktur, sistematis dan masif yang mampu memengaruhi pola pikir orang-orang hingga mau melakukan aksi bunuh diri demi mendapatkan bidadari dan surga yang dijanjikan.Â
Sedangkan pada tema-tema budaya, sosial dan politik ada banyak buku yang sempat dilarang beredar bahkan sampai penulisnya dikejar, dikucilkan atau dipenjara. Buku berjudul Benturan NU PKI 1948-1965 karya Abdul Mun'im DZ, Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie, Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno karya Peter Dale Scott, dan Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta adalah contoh dari sekian banyak buku yang mengalami peristiwa pahit semacam itu.
Terdekat yang lebih kekinian. Adalah saat beredar sebuah buku berjudul Jokowi Undercover karya Bambang Tri yang dinilai kontroversi dan mengandung fitnah, yang kemudian mengantarkan penulisnya ke meja hijau dan berakhir bui. Bagi sebagian besar orang, buku semacam Jokowi Undercover seharusnya tidak ditulis. Sebab buku-buku fitnah dengan konten penebar kebencian semacam itu dibuat tanpa dasar. Sehingga validitasnya bukan hanya diragukan tetapi anomali.  Â
Belajar dari semua tema buku yang bisa menimbulkan masalah akibat aroma negatif yang dihadirkan serta tidak memberikan manfaat, apakah layak menjadi alasan untuk melarang belanja dan menulis buku bagi para pembaca dan penulis buku?
Tentu saja tidak. Karena sejatinya, masalah besar perbukuan tidak ditimbulkan oleh tema-tema atau isi bukunya. Terlebih, masih sangat banyak buku-buku yang bisa memberikan manfaat untuk umat manusia.
Masalah perbukuan mulai timbul seiring dengan perkembangan teknologi informasi digital dengan segenap teknologi pendukungnya. Kehadiran teknologi informasi digital secara perlahan dan masif telah menumbangkan banyak usaha percetakan, penerbitan, toko buku atau usaha lainnya yang terhubung dengan dunia perbukuan. Eksistensi industri buku fisik dengan segala sejarah dan kenangan indahnya bagi banyak keluarga penggemar buku kian tergeser dan tergusur.
Terakhir, di penghujung tahun 2023 toko buku Gunung Agung tutup secara permanen di usianya yang ke 70 tahun setelah menutup sebagian tokonya secara bertahap sejak tahun 2020.
Toko buku Gunung Agung, yang dikenal sebagai salah satu penyedia buku fisik terbesar tentunya memiliki ikatan emosional tersendiri bagi para karyawan yang menggantungkan hidup darinya dan bagi orang-orang atau keluarga-keluarga pembaca (penggemar) buku, serta secara tidak langsung bagi para penulis yang karya bukunya seringkali bertengger di rak-rak jual toko buku Gunung Agung.
Sementara masalah khusus bagi penulis di dunia perbukuan fisik ibarat buah simalakama. Satu sisi, setiap profesi penulis terancam akan kehilangan kebanggaan paling prestise yang cenderung menjadi satu-satunya impian tertinggi, terakhir dan kllimaks dalam menekuni dunia kepenulisannya, yakni menghasilkan karya dalam bentuk buku, terutama buku fisik. Â
Di sisi lain ada tuntutan tanggung jawab dan kepedulian penulis terhadap penurunan daya dukung lingkungan dan keberlanjutan bumi, yang berarti bahwa setiap penulis menghadapi ambiguitas yang sama. Antara keinginan yang bisa saja bukan sekadar keinginan murni melainkan keinginan di bawah pengaruh ambisi, ego maupun permintaan pasar untuk melahirkan karya masterpiece dalam bentuk buku fisik, atau merelakan karyanya dalam bentuk buku digital yang sedekat ini masih kurang diatensi publik. Tapi mengapa penulis harus ikut bertanggung jawab dan peduli pada penurunan daya dukung lingkungan dan keberlanjutan bumi?
Seorang aktivis lingkungan berusia muda, Greta Thunberg, yang menjadi salah satu sorotan utama dunia tentang perubahan iklim sejak ia melakukan mogok sekolah untuk menyuarakan kepedulian terhadap perubahan iklim di depan gedung parlemen Swedia, merilis buku kedua berjudul "The Climate Book" dan mempromosikannya di media sosial pada 15 Februari 2023.
Tetapi begitu mengumumkannya, para pengikutnya langsung menyerang. Salah satu pengikut bertanya, berapa banyak pohon yang dibutuhkan untuk membuat 464 halaman buku berbobot 0.68 kilogram?
Tidak gampang untuk menjawab pertanyaan itu. Hanya saja seperti telah diketahui, kertas dibuat dari serat pohon. Kertas merupakan bahan utama terbitnya sebuah buku. Kertas dapat dibuat dari bambu, kapas, rami, goni dan berbagai serat tanaman.
Tetapi di balik proses pengolahannya, produksi pembuatan kertas ternyata membutuhkan 250 ton air untuk 1 ton kertas, satu pohon berusia lima tahun untuk menghasilkan 1 rim kertas atau setara 500 lembar kertas ukuran A4, dan mesin pengolah dengan energi atau aliran listrik dan zat kimia dalam jumlah besar dengan potensi limbah yang menjadi polusi dan merusak lingkungan.
Oleh karenanya, sebagian besar tanggung jawab penggunaan kertas dalam dunia perbukuan ada di tangan para pembaca dan penulis buku fisik. Mereka dituntut bijaksana dan berjiwa besar ketika hendak berbelanja dan menulis buku fisik sebab berdasar proses pengolahan bahan bakunya, pesan bumi meminta untuk tidak berlebihan mengonsumsi air, mengurangi penebangan pohon, berhemat dalam penggunaan energi termasuk energi listrik, ikut menjaga lingkungan dari keberlimpahan limbah domestik, dan beralih ke bahan baku kertas daur ulang yang bersifat sustainable atau bertransformasi ke bentuk buku digital.
Buku fisik kini mulai bisa tergantikan oleh buku digital (e-book), yang dinilai sebagai produk literasi ramah lingkungan, tidak membutuhkan ruang dan rak-rak atau lemari-lemari penyimpanan (minimalis), dan tidak membutuhkan bahan baku fisik semacam kertas, yang menunjukkan bahwa buku digital adalah salah satu solusi terbaik dalam memberi kontribusi terhadap kepedulian lingkungan dan keberlanjutan bumi.
Selain mendukung lingkungan dan bumi karena menjadi solusi terbaik, hal mendasar dalam mendukung pelestarian lingkungan dan keberlanjutan bumi bagi dunia kepenulisan dan industri perbukuan fisik yang tergantikan oleh buku digital (e-book) adalah bagian dari pemanfaatan energi berkelanjutan atas masalah yang ditimbulkan dari bahan baku dan proses pengolahan buku fisik, yaitu terhitung mulai dari proses pembuatan kertas hingga buku terbit.
Sementara ketika beralih ke bahan baku kertas daur ulang menurut www.goinggreentoday.com, setidaknya berarti dapat menghemat 700 galon air, menyelamatkan 20 pohon, mencegah polusi udara, juga menghemat pemakaian listrik rumahan selama 6 bulan untuk pengolahan ulang 1 ton kertas. Â
Maka dalam konteks tanggung jawab dan kebesaran jiwa itulah para pembaca dan para penulis buku diminta untuk berhenti berbelanja dan menulis buku fisik yang bukan berbahan baku kertas daur ulang. Lalu mulai mengalihkan kegemaran berbelanja dan memproduksi buku yang ditulis ke bentuk buku fisik berbahan kertas daur ulang yang kualitasnya tentu saja tidak lebih baik dari kertas yang berbahan virgin pulp (murni serat pohon) atau beralih sepenuhnya ke bentuk buku digital (e-book).
Sebuah tanggung jawab yang tidak mudah, dibutuhkan kearifan akal budi dan ketajaman pikiran yang dipenuhi sikap peduli lingkungan serta ikhlas atau rela mendahulukan kepentingan bersama dan masa depan (lingkungan) daripada mendahulukan kepentingan (keinginan) personal sebagai kencenderungan ambisi atau ego untuk mempunyai atau mengoleksi buku orisinal berkualitas baik bagi pembaca (penggemar) buku fisik, dan menulis buku yang harus dicetak dalam bentuk buku fisik dengan kualitas kertas terbaik bagi para penulis buku.
Referensi
Forest Digest. (2023, 15 Februari). Berapa Pohon Dibutuhkan untuk Bikin Satu Buku?. Diakses pada 26 Januari 2024, dari https://www.forestdigest.com/detail/2149/buku-pohon/common
Kementrian Keuangan Republik Indonesia. (2013, 01 Maret). Dukung Go Green dengan Hemat Penggunaan Kertas. Diakses pada 22 Januari 2024, dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/54/Dukung-Go-Green-dengan-Hemat-Penggunaan-Kertas.html
Kumparan.com. (2022, 28 Mei). Alasan Mengapa Kita Harus Menghemat Penggunaan Kertas. Diakses pada 22 Januari 2024, dari https://kumparan.com/berita-terkini/alasan-mengapa-kita-harus-menghemat-penggunaan-kertas-1y9u4MK2cE4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H