Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Penyintas Demokrasi, Intervensi Ekonomi Keluarga Lewat Vote Buying Seharga Rp 10.000

25 Januari 2024   13:48 Diperbarui: 25 Januari 2024   13:48 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: CHY/HERYUNANTO/KOMPAS.ID

Demokrasi masih jauh dari kata bersih. Politik uang (money politic) atau dalam istilah lain setara dengan vote buying, tetap menyasar ke berbagai pelosok negeri. Terlebih ke wilayah-wilayah keluarga rawan ekonomi dengan potensi jumlah suara yang menjanjikan.

Sementara dalam setiap kampanye dan debat capres-cawapres, termasuk yang terbaru debat cawapres kedua, seringkali tetap terselip narasi pemilu beretika, bersih, jujur, adil, tidak curang dan tanpa politik uang (money politic), walaupun fakta di lapangan berkata lain.

Dalam perjalanan demokrasi Indonesia, yang klimasknya terjadi setiap lima tahun sekali, bangsa Indonesia telah mengalami berbagai macam peristiwa politik. Di banyak peristiwa politik yang terjadi, di sana lahir para penyintas demokrasi yang berupaya keras menjaga dan mempertahankan muruah demokrasi agar tak keluar dari koridornya.

Oleh karenanya, sejumlah penyintas demokrasi berusaha melakukan aksi perlawanan ketika melihat atau menyaksikan para elite politik dan para penguasa dinilai telah melewati batas---batas koridor  demokrasi hingga menabrak konstitusi.

Puncaknya, pada 15 Januari 2024, para penyintas demokrasi yang tergabung dalam Forum Cik Ditiro menggelar Kongres Penyintas Rezim Jokowi, dan melakukan kegiatan ziarah ke gedung bersejarah paling ikonik di Yogyakarta: Gedung Agung. Mereka melakukan tabur bunga sebagai perlawanan secara simbolis atas matinya demokrasi di Indonesia.

Gedung Agung yang dinilai sebagai simbol kekuasan politik yang mati karena penghuni utamanya telah berubah dari manusia menjadi monster, membunuh keberadaban bernegara dan etika politik serta menghadirkan rezim otoriterisme yang melebihi rezim orde baru.

Lewat narasi perpanjangan tiga periode yang sempat bergaung dan tidak berhasil direalisasi kemudian berlanjut dengan perpanjangan tiga periode lewat jalur berbeda, yang dalam bahasa lain ada yang menyebut mahkamah keluarga atau politik dinasti. Reformasi sebagai parameter demokrasi kini dihianati tuannya sendiri oleh hasrat berkuasa (greedy power). 

Di tataran akar rumput, masyarakat tiap lima tahun sekali dicecoki atau seolah dipaksa untuk menerima tawaran seksi nan menggiurkan agar menukar suara mereka dengan berbagai material kebutuhan seperti uang kontan, uang digital, beras, minyak, gula, susu, berbagai aksesori partai pengusung atau lainnya (vote buying). 

Pada titik itulah para penyintas demokrasi di masyarakat kalangan bawah seringkali tergoda, bukan karena tak mau berupaya mempertahankan idealisme demokrasi atau tak berkenan melawan patologi politik para elit, melainkan "ketidakkuasaan mengingat keluarga". Suatu pergulatan dalam kehidupan batin manusia sebagai kebalikan dari filosofi "kuasa memanggul lupa".

"Ketidakkuasaan mengingat keluarga" merupakan konteks rasa sayang, cinta, peduli pada keluarga yang memunculkan daya ingat ketika timbul kecemasan akan masa depan keluarga (istri dan anak-anak) atas ketidakkuasaan seorang kepala keluarga dalam memberikan nafkah, pangan, sandang, papan,  pendidikan dan kebutuhan lainnya sehingga semua rasa itu menundukkan idealisme dan merelakan perlawanan batinnya untuk lebih mengingat bahwa keluarganya lebih membutuhkan dapurnya tetap mengepulkan asap, perut terisi dan dalam serba ketidakkuasaannya kebutuhan rohani dan mental keluarga bisa dipenuhi.

Maka dalam konteks ketidakkuasaan mengingat keluarga, tak peduli tentang harga diri, tawaran vote buying berupa apa pun yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari sebuah keluarga menjadi lebih utama. Begitulah kekejaman cara politik dalam mengintervensi hak suara, mengambil alih peran kepala keluarga yang belum memiliki kekuatan (kuasa) ekonomi atau ketahanan (kuasa) sebagai penyintas demokrasi.

Seperti lewat artikel "1 Liter Minyak dari Sosialaba untuk Menginkubasi Suara" (https://www.kompasiana.com/sunanamiruddin5274/64e49f5308a8b56513310be2/1-liter-minyak-dari-sosialaba-untuk-menginkubasi-suara) yang tayang pada 22 Agustus 2023, bahwa intervensi atas hak suara pemilih menggunakan cara sosialaba (vote buying) adalah cara menginkubasi suara untuk konstituen yang memiliki sifat stereotipe balas budi, gak enakan (people pleaser), dan gampangan. 

Melalui 1 liter minyak, strategi atau cara vote buying (sosialaba) berupaya masuk ke dalam konteks "ketidakkuasaan mengingat keluarga", sehingga seorang kepala keluarga yang mempunyai sifat stereotipe balas budi, gak enakan  (people pleaser) atau gampangan juga merasakan intervensi atas kapasitas kemampuan ekonomi keluarganya.

Dari sanalah pertahanan idealismenya sebagai penyintas demokrasi mulai ternodai. Dari sana pula satu-persatu vote buying lainnya menyusul dan dijanjikan. Mulai dari mendapat souvenir, 1 liter minyak goreng lagi, uang kontan dan dijanjikan beras, sembako, uang kontan atau lainnya nanti saat mendekati hari pemungatan suara.

Menariknya, atau lebih tepatnya mengejutkan sekaligus mengherankan adalah ketika di suatu pagi saya sebagai kepala keluarga didatangi oleh salah seorang tengkulak suara atau manusia pengepul suara untuk menerima vote buying yang sudah dijanjikan setelah 1 liter minyak goreng. Saya kemudian diberikan selembar amplop putih tertutup, dan tak lupa lagi-lagi difoto dengan memegang amplop tersebut untuk bukti kebutuhan laporan.

Setidaknya dalam bayangan saya, di dalam amplop putih yang saya terima akan berisi uang kontan sebesar Rp. 100.000 atau minimal Rp 50.000. Walaupun begitu, dalam hati, uang itu tidak akan saya gunakan kecuali untuk keperluan membayar jasa atau untuk disedekahkan bagi yang membutuhkan. Sebab saya menerima vote buying atas pengaruh people pleaser. 

Tetapi yang mengejutkan dan mengherankan adalah ketika amplop putih dibuka, uang yang ada di dalamnya hanya sebesar Rp. 10.000. Untuk memperjelasnya saya benar-benar memandangi dan menimang-nimang uang yang terdapat dalam amplop putih. "Ini serius hanya ceban." Batin saya berucap.

Coba bayangkan! Uang sebesar Rp 10.000 di zaman kuda makan roti, keju hingga cromboloni cukup untuk apa. Harga 1 liter beras di tingkat pengecer saja, terendah sudah ada di harga Rp 11.000 sampai Rp 12.000. Harga sepiring nasi di warung tegal (warteg) dengan lauk telur dan sayur sudah mencapai di harga terendah Rp 12.000. Sudahlah mengintervensi, vote buying ternyata mengandung unsur merendahkan pula.

Memang orang-orang yang di vote buying belum sepenuhnya menentukan pilihan kepada pemberi vote buying langsung di muka, tapi untuk para swing voter yang mempunyai salah satu sifat dari tiga sifat mudah dipengaruhi tentu sudah bisa dibaca arah suaranya akan ditentukan kemana.

Boleh jadi vote buying yang hanya sebesar Rp 10.000 sebenarnya telah mengalami sunat berkali-kali secara estafet. Tetapi karena itulah, alih-alih mengalahkan idealisme politik dan bertahan sebagai penyintas demokrasi karena "ketidakuasaan mengingat keluarga", nyatanya untuk mengganti kebutuhan makan satu hari untuk satu keluarga saja tak bisa dipenuhi. 

Kejadian vote buying yang demikian, selain bentuk aktivitasnya sudah dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu, aktivitas tersebut terbukti memberikan efek negatif lain dan menunjukkan bahwa kandidat demokrasi yang melakukannya lebih mementingkan kemenangan tanpa mau bersusah payah melakukan pendekatan persuasif dengan cara-cara positif atau preventif agar tak terjadi pelanggaran maupun kecurangan.

Salah satu contoh, ketika kampanye caleg langsung  terjun ke lapangan, sudahlah menebarkan APK melanggar peraturan dan tanpa ada sosialisasi visi misi kecuali hanya menarasikan janji dan beberapa di antaranya menyebar vote buying, yang berarti juga pelanggaran dan kecurangan, nilai materi vote buying yang diberikan nyatanya sistem cicil dan sejumlah kecilnya cenderung melecehkan.

Ujungnya, demokrasi adalah ujian bagi semua pelakunya. Di tingkat bawah, masyarakat atau konstituen diuji oleh "ketidakkuasaan mengingat keluarga". Sedangkan para kandidat dan penguasa diuji oleh ambisi dan adiksi kuasa yang dalam bahasa Prof. Ikrar Nusa Bhakti sebagai "Kuasa Memanggul Lupa".

Sementara bagi mereka yang lolos dari ujian demokrasi, baik dari kalangan bawah, menengah maupun atas adalah mereka (manusia) yang telah selesai dengan dirinya. Mereka yang telah selesai dengan dirinya adalah mereka yang sudah mampu berdamai dengan dirinya dan tidak lagi mengejar kepentingan diri, ambisi dan egonya. 

Namun dalam konteks ini, yang perlu ditambahkan adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya, juga harus mampu mengarahkan, membina dan membimbing keluarganya (istri dan anak-anak) menjadi manusia yang identik dengan dirinya. Bukankah meledaknya narasi mahkamah keluarga atau dinasti politik sehingga muncul "kuasa memanggul lupa", isunya bermula dari ranah keluarga?            

 

Referensi

Aliansi Jurnalis Independen. (2024, 16 Januari). Pernyataan Kongres I Penyintas Rezim Presiden Jokowi. Diakses pada 25 Januari 2024, dari https://aji.or.id/read/press-release/1681/pernyataan-kongres-i-penyintas-rezim-presiden-jokowi.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun