Walaupun tidak mudah membongkar aksi blusukan para kandidat demokrasi yang maju dalam pemilihan umum untuk periode 2024-2029 sebagai pencitraan, tetapi berbagai indikasi yang mengarah pada stigma tersebut bisa menjadi bukti otentik.
Sebelum menemukan indikatornya, ada sebuah teori sosiologi yang dikemukakan oleh Erving Goffman. Teori Goffman menggambarkan interaksi sosial sebagai pertunjukkan sandiwara. Teori Goffman adalah Dramaturgi, teori panggung sandiwara untuk menjelaskan bagaimana seseorang memainkan peran sosial dalam kesehariannya.
Untuk menggambarkan proses demokrasi dengan berbagai aktivitas dan interaksinya, teori dramaturgi seringkali mampu merepresentasi bahwa yang terjadi pada dunia perpolitikan di Indonesia adalah drama panggung yang berhasil diskenario secara apik dengan keahlian dan teknik penyusunan yang mengimpresi.
Dengan kemampuan impresi yang luar biasa, dramaturgi politik digunakan terutama setiap lima tahun sekali, dan disajikan dengan cara mengambil peran sosial di masyarakat untuk memengaruhi persepsi tentang diri para kandidat dan tujuan politiknya melalui panggung-panggung keseharian masyarakat dalam aksi blusukan, panggung media massa dan media sosial, panggung kampanye maupun panggung debat.
Para kandidat demokrasi menyadari pentingnya citra dan kesan awal yang mereka proyeksikan kepada masyarakat. Oleh karenanya secara aktif mereka mengatur penampilan, bahasa tubuh, gaya bicara, dan tampak berupaya keluar dari realitas serta identitas aslinya untuk sementara waktu.
Kini dengan terang-terangan (overtcover) mereka memakai media massa, media sosial, beragam aktivitas publik, kampanye, acara debat sebagai panggung untuk mempertontonkan dan menumbuhkan citra mereka sebagai pemimpin cerdas, berkompetensi, baik, berkarisma, beretika, dan peduli kepentingan rakyat.
Berbagai strategi marketing dikerahkan oleh para kandidat beserta tim pemenangannya demi menumbuhkan dan menciptakan persepsi sosok egaliter bagi rakyat pemilih atau konstituen. Branding, gimmick, jargon, tagline atau apapun, termasuk drama-drama politik (dramaturgi), tak terkecuali aksi blusukan diberdayakan untuk meraih kemenangan.
Tetapi dalam dramaturgi, apa yang terlihat riil, bagus, intelektual, hebat, memukau, memesona atau segala kelebihan yang ditunjukkan di panggung, ternyata tidak sesempurna itu. Di belakang panggung semua yang dipertontonkan bisa sangat jauh berbeda dari realitasnya.
Sebab di latar belakang panggung itulah, superioritas, ambisi dan ego para kandidat demokrasi dapat terbaca melalui negosiasi atau transaksi politik, balas budi politik, konflik kepentingan, keputusan strategis dan permainan kekuasaan (abuse of power), yang cenderung akan disembunyikan atau dirahasiakan (undercover) untuk menutupi kekurangan atau kelemahan para kandidat dan timnya. Â
Kenyataannya, banyak hal yang berupaya disembunyikan kini tidak bisa lagi terjaga atau selamanya tersimpan sebagai rahasia. Hal itu selaras dengan peribahasa "Sepandai-pandai menyimpan bangkai baunya akan tercium juga".
Bila mengutip quote dari seorang pembuat drama Prancis, Jean Racine, "Tidak ada rahasia yang tidak diungkapkan oleh waktu" maka di era generasi topping, waktu akan dijawab dan dipercepat dengan ungkapan "Tidak ada rahasia yang tidak diungkapkan oleh konten"