Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Jebakan Parkir Liar dan Salah Kaprah Legalisasi Parkir Liar

6 Desember 2023   13:21 Diperbarui: 10 Desember 2023   11:28 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melegalkan parkir liar, apa bedanya dengan melegalkan bangunan liar di tepi sungai misalnya? Bukankah tepian sungai bukan peruntukkan bagi berdirinya bangunan. 

Tepian sungai memiliki sempadan (batas) sungai untuk membangun rumah, kios atau lainnya. Sempadan adalah garis batas luas pengaman yang ditetapkan  untuk mendirikan bangunan dan/atau pagar yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan. 

Sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2018 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.

Pada pasal 15 diaturan tersebut berbunyi, jika terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai. 

Selain itu, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi situ atau rawa, tepi waduk, tepi mata air, as rel kereta api, jaringan tenaga listrik dan pipa gas, tergantung jenis sempadan yang dicantumkan, juga tidak diperuntukkan bagi berdirinya bangunan. Lantas apa bedanya bangunan liar dengan lahan parkir liar?

Sama-sama liar. Sama-sama tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang, tanpa izin resmi dari yang berwenang, tidak memiliki izin usaha, mendirikan, atau membangun dan sebagainya. Apakah untuk bisa memanfaatkan sesuatu yang dilindungi oleh aturan (hukum) hanya diperlukan sekadar izin resmi dengan penunjukkan atau pengakuan yang pasti menabrak aturan (hukum) yang melindunginya?  

Baca juga: Putusan MK:

Seharusnya jika merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2018 Pasal 15 tadi, tepian sungai dalam garis batas (sempadan) jelas tidak bisa dimanfaatkan untuk bangunan liar sehingga tidak memungkinkan keluarnya perizinan. Begitupun seharusnya dengan apa yang disebut lahan parkir yang dimanfaatkan untuk parkir liar.

Sebuah lahan kosong ketika dimanfaatkan sebagai lahan parkir namun kemudian disebut parkir liar adalah lahan yang peruntukkannya bukan untuk parkir. Penggunaan trotoar jalan bahkan hingga mengambil badan jalan menjadi lahan parkir misalnya, jelas merupakan parkir liar karena mengambil lahan yang sebenarnya diperuntukkan bagi pejalan kaki dan jalur lintas kendaraan. Maka untuk kasus semacam ini solusinya jelas hanya satu, penertiban. Masa iya melegalkan sesuatu tapi mengganggu fungsi utamanya. 

Di sisi lain, parkir liar yang dimaknakan sebagai suatu fenomena kegiatan parkir yang berdiri secara ilegal atau tidak resmi dengan pengakuan secara sepihak oleh seseorang atau sekelompok orang yang lahannnya tidak berada dalam pembinaan pemerintah setempat dan uang hasil parkirnya tidak masuk sebagai pendapatan daerah alias masuk ke kantong pribadi atau kelompok, diperlukan kejelasan terkait status lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan parkir yang kemudian disebut parkir liar.  

Sebab berdasar makna tersebut, kemunculan parkir liar adalah karena keberadaan lahan kosong di luar pembinaan pemerintah setempat yang diakui secara sepihak untuk dikelola menjadi lahan parkir, dari sini didapat benang merah tumbuhnya parkir liar adalah lahan kosong yang dimanfaatkan secara sepihak oleh seseorang atau sekelompok orang.

Akan tetapi, patut ditelusuri lahan kosong-lahan kosong yang diambil alih dan dikelola menjadi lahan parkir ini peruntukkannya apa dan/atau milik siapa. Bila lahan kosong yang dimanfaatkan seperti permisalan di atas, trotoar dan/atau mengambil alih badan jalan, maka legalisasi parkir liar untuk kondisi tersebut adalah suatu tindakan salah kaprah. 

Lahan kosong berikutnya yang seringkali dimanfaatkan secara sepihak adalah lahan-lahan milik pribadi, swasta atau pemerintah yang keberadaannya terletak di sisi jalan atau dekat dengan tempat-tempat strategis seperti destinasi wisata, pasar, stasiun, terminal, kampus, pusat perbelanjaan, kompleks ruko atau lainnya.  Maka untuk kondisi-kondisi semacam ini solusi pertama adalah dengan memastikan terlebih dahulu lahan kosong milik siapa dan peruntukkan fungsinya untuk apa.

Jika lahan kosong yang dimanfaatkan untuk parkir liar adalah milik pemerintah dan peruntukkannya belum ditetapkan atau masih dalam kategori aset tak bergerak, untuk kondisi parkir liar seperti ini bisa dilakukan legalisasi parkir liar, yang tentu saja pengelolaannya di bawah pembinaan dan pengawasan pemerintah setempat. 

Tetapi bila lahan kosong yang dimanfaatkan untuk parkir liar adalah milik pribadi atau swasta maka harus dilakukan penertiban sebab yang disebut parkir liar juga termasuk lahan kosong yang dimanfaatkan untuk lahan parkir tapi tanpa izin dari pemilik lahan baik perorangan atau swasta (kelompok). 

Tanpa adanya izin atau kerjasama antara pengelola parkir dan pemilik lahan, pengelolaan parkir yang dijalankan tentu memiliki kencederungan terjadinya konflik bahkan bentrok fisik. Dan konflik tersebut tidak hanya bisa terjadi antara pengelola parkir dan pemilik lahan, tetapi juga antara pengelola parkir dan konsumen pengguna, juga antara pemilik lahan dan konsumen pengguna. 

Di luar perizinan atau kerjasama pengelolaan parkir di lahan milik pribadi atau swasta, parkir liar juga bisa terjadi ketika pengelola parkir melakukan jebakan pada konsumen pengguna parkir. Jebakan ini biasanya terjadi di beberapa lokasi tertentu seperti destinasi wisata, pasar atau kompleks ruko.

Jebakan parkir liar yang dimaksud umumnya mengarah pada besaran tarif parkir yang dinilai tak masuk akal. Sementara pengawasan dan perlindungan terhadap keamanan kendaraan sama sekali tidak dilakukan sehingga kerusakan atau kehilangan kendaraan tidak terjamin. Bahkan tukang parkirnya tidak memberikan bantuan sedikitpun pada kendaraan yang masuk dan keluar lahan parkir. Jebakan terparah, kendaraan menjadi target untuk dieksekusi sebab diduga pengelola parkir liarnya adalah bagian dari sindikat curanmor. 

Maka untuk kondisi tersebut sekaligus untuk menghindari jebakan parkir liar terjadi, yang dibutuhkan adalah penertiban dan campur tangan pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lahan kosong-lahan kosong yang dimanfaatkan menjadi lahan parkir agar bisa dikelola dengan baik dan benar.      

Referensi

https://infopublik.id

https://jogjapolitan.harianjogja.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun