Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Apakah Revisi Undang-Undang MK Harga Mati?

1 Desember 2023   18:36 Diperbarui: 1 Desember 2023   18:37 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : kompas.id

Suatu hari,  dalam sebuah pertandingan kompetisi sepak bola kampung yang membosankan, para penonton tampak menunjukkan ekspresi kecewa.  

Pertandingan itu tidak seru, tidak menarik, defensif, apalagi hingga menjelang 45 menit babak pertama berakhir, tidak ada gol tercipta. Padahal informasinya, kedua tim yang bertanding termasuk tim yang dijagokan dan diprediksi sebagai kandidat juara. 

Saking membosankannya pertandingan itu, presenter yang bertugas mempresentasikan jalannya pertandingan sampai terpengaruh dan berkata, "Para penonton yang budiman ayo bangkitkan semangat timnya! Jangan sampai di babak kedua nanti akan terjadi pergantian penonton karena kalian sebagai suporter tak mampu memotivasi pemain!"  

Reaksi yang ditunjukkan oleh presenter untuk pertandingan yang membosankan itu tidak biasa. Orang muda bilang reaksi tersebut adalah candaan 'garing'. Apa iya segaring itu?

Terlepas dari candaan garing, sepertinya ada latar belakang di balik perkataan sang presenter tentang dunia sepak bola yang coba diungkapkan melalui otoritas profesinya dalam pertandingan itu. Sebuah latar belakang yang berasal dari rasa kecewa atas perkembangan dunia sepakbola di tanah air.

Suatu reaksi yang sebenarnya merupakan paradoks dalam diri sang presenter untuk mengungkapkan pesimisme pada pertandingan yang membosankan tadi. Lebih jauh, dengan mengatakan akan terjadi pergantian penonton dan berdasarkan pengalamannya, sang presenter hendak menunjukkan bahwa tak ada yang bisa diharapkan dari para pemain di pertandingan itu.

Kata pergantian penonton dapat menjadi representasi ke banyak aspek kehidupan, betapa kita sudah terlalu bosan menyaksikan banyak pergantian, perubahan, pertukaran, ralat atau dengan bahasa yang lebih elegan semacam reshuflle, revisi, update atau apa pun itu yang sesunguhnya tidak atau belum seharusnya dilakukan. 

Dalam konteks sepak bola, pada tim sepak bola profesional atau nasional di suatu pertandingan, seringkali diadakan pergantian pemain tapi hasilnya senantiasa sama, kalah. Pada setiap kejuaraan, kerap terjadi pergantian pelatih, formasi tim, strategi atau lainnya tetapi hasilnya tidak berbeda, jarang menang. 

Gambaran tersebut juga banyak terjadi di berbagai bidang, seseorang atau sekelompok orang bisa begitu saja digantikan dalam waktu cepat sebelum masa kerjanya berakhir sehingga tidak dapat membuktikan kemampuannya. Lalu sebuah sistem atau program bisa digantikan dalam waktu singkat sebelum tahu di mana letak kekeliruan atau kesalahannya, bahkan sebelum tahu hasil dari kinerja sistem atau program tersebut. 

Begitu pula yang sepertinya terjadi pada Undang-Undang yang digunakan di negara kita, termasuk Undang-Undang tentang MK. Sebentar-bentar revisi, sebentar-bentar di uji materi, sebentar-bentar digugat, sebentar-bentar dinilai kehilangan marwah harus diubah atau lainnya. Jika segala sesuatu terutama Undang-Undang dijalankan sebentar-bentar bagaimana cara mengetahui integritas dan hasilnya?

Belum lagi ketika revisi Undang-Undang, khususnya dalam kesempatan ini revisi UU MK, dilakukan karena adanya kecenderungan intervensi atau tendensi konflik kepentingan. Bukan direvisi berdasarkan visibilitas keadilan dan etika pelaksanaan Undang-Undang untuk pentingnya integritas hukum. Apa jadinya? 

Bukankah yang terjadi adalah polemik, konflik, pro-kontra, pelemahan dan lagi-lagi rencana revisi. Seolah revisi merupakan sebuah urgensi, yang dengannya dapat memastikan bahwa harga mati untuk mengembalikan dan memperbaiki marwah MK adalah dengan merevisi Undang-Undang.  

Maka bila bercermin pada sikap presenter sepak bola yang berkata, "...akan terjadi pergantian penonton...", sebuah kalimat ungkapan paradoks atas kekecewaannya pada sebuah pertandingan sepakbola yang membosankan dengan latar belakang yang juga berasal dari kekecewaan tentang persepakbolaan kita, masihkah Undang-Undang MK-nya yang harus direvisi (diganti)?

Ibarat dunia sepakbola yang dicintai, digandrungi, dielu-elukan dan diharapkan dalam kapasitas yang sesungguhnya cenderung membosankan sebab ujung-ujungnya berakhir begitu-begitu saja tanpa adanya kepastian yang mencerahkan, seperti itu pulalah perspektif yang sama, yang timbul di masyakarat pada setiap rencana revisi UU MK. 

Revisi, revisi dan revisi lagi. Sementara dalam pelaksanaannya lagi-lagi cenderung berujung sama begitu-begitu saja tanpa adanya kepastian yang mencerahkan. Jika demikian, apakah revisi Undang-Undang MK adalah harga mati untuk mengembalikan dan memperbaiki marwah MK?

Seperti presenter sepakbola yang berkata, "...akan terjadi pergantian penonton..." untuk menunjukkan bahwa tak ada yang bisa diharapkan dari para pemain pada pertandingan yang membosankan itu atas dasar kekecewaan dan pengalamannya dalam dunia sepakbola, kiranya seperti itulah opini masyarakat atas rencana revisi UU MK berdasarkan sejarah panjang eksistensi MK, tidak ada yang bisa diharapkan lagi.  

   

               

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun