Masa kampanye sudah dimulai. Suara-suara tiap pemilih kini ibarat harga cabai, bawang, tomat, sayuran, telur dan bahan pokok lain jelang bulan puasa dan Hari Raya, melonjak tinggi.
Fluktuasi kenaikan harga semua kebutuhan bahan pokok itu, selain selalu terjadi dijelang hari-hari besar akibat ketersediaan dan permintaan yang tidak sebanding, juga diakibatkan penimbunan barang yang dilakukan oknum serta permainan harga dari para tengkulak.
Sedangkan fluktuasi suara pemilih agak unik, kenaikan harganya berdasarkan vote buying alias beli suara atau masuk kategori permintaan pasar padahal seperti diketahui ketersediaan suara tiap pemilih hanya satu suara.
Vote buying adalah tawaran uang, barang atau jasa oleh kandidat pemilu, partai, maupun timnya dengan suara pemilih sebagai gantinya, seperti dikutip dari Vote Buying: International IDEA Electoral Processes Primer 2 oleh International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) 2022.
Tetapi alih-alih kenaikan harga vote buying ditentukan oleh pemilih yang memiliki ketersediaan satu suara atas banyaknya permintaan dari kandidat pemilu, partai maupun timnya, besaran harga vote buying justru ditentukan oleh para pengepul suara atau tengkulak suara.
Dalam hal ini, para tengkulak suara alias pengepul suara adalah manusia atau orang-orang yang menjadi perantara antara pemilih atau pemilik suara dengan kandidat pemilu, partai maupun tim pemenangan atau tim suksesnya.
Dan selayaknya tengkulak, manusia-manusia pengepul suara ini ternyata tidak datang dengan presentasi tentang visi misi atau program kebaikan yang akan diterapkan oleh kandidat pemilu, partai maupun timnya, melainkan datang dengan vote buying berupa uang tunai, uang digital, minyak, beras, sembako, kaos dan atribut kampanye, bensin atau lainnya.
Manusia-manusia pengepul suara ini biasanya adalah orang-orang yang terhubung atau memiliki kedekatan dengan kandidat pemilu, partai, maupun tim. Juga memiliki kedekatan dengan para pemilih di suatu wilayah.
Tim pemenangan atau tim sukses yang telah dibentuk oleh kandidat pemilu atau partai di masing-masing wilayah mempunyai kecenderungan peran sebagai manusia-manusia pengepul suara.
Di luar itu, manusia-manusia pengepul suara biasanya direkrut secara personal dari orang-orang di suatu TPS atau daerah, yang memiliki kemauan dan kemampuan influencer. Bagaimana cara manusia-manusia pengepul suara ini mengepul suara pemilih?
Manusia-manusia pengepul suara umumnya melakukan pendekatan dengan cara mengepul data diri atau meminta fotokopi identitas diri para pemilih atau pemilik suara sambil memberikan atau menjanjikan vote buying terlebih dahulu.
Seiring dengan penggunaan teknologi, cara manusia-manusia pengepul suara dalam mengepul data diri atau identitas diri sekarang menjadi lebih mudah dan efektif. Setiap data diri pemilih bisa langsung diregistrasi di aplikasi, pun identitas diri langsung difoto dan dimasukkan ke aplikasi.
Tetapi sepertinya, masing-masing manusia pengepul telah dibekali teknologi aplikasi pengepul data oleh kandidat pemilu, partai maupun timnya masing-masing sehingga kandidat pemilu, partai maupun timnya mempunyai database suara yang diprediksi akan mengalihkan suara kepadanya.
Malangnya, semua database suara yang teregistrasi di aplikasi tersebut ternyata belum tentu menjadi pemilih sang kandidat pemilu sebab pemilih sekarang sesungguhnya tidak bisa dipastikan bergantung pada vote buying. Mengapa ini bisa terjadi?
Karena faktanya vote buying tidak hanya datang dari satu kandidat pemilu. Contoh di satu lokasi TPS suatu daerah terdapat manusia-manusia pengepul yang sudah mulai berlomba-lomba mengepul suara pemilih.
Sampai hari ini di daerah tersebut informasinya, satu suara pemilih sudah diperebutkan oleh tiga hingga lima pengepul suara dari kandidat pemilu, partai maupun tim yang berbeda. Pemilih yang diperebutkan tentu saja masih sebatas mengepul data dengan vote buying berupa minyak, beras, sembako atau uang.Â
Untungnya bagi pemilih, aplikasi atau sistem data konvensional masing-masing manusia pengepul suara sepertinya tidak saling terkoneksi sehingga berapapun vote buying diterima oleh pemilih, tidak akan terjadi bentrok data atau masalah.
Di sisi lain, ada rumor bahwa data pemilih yang sudah masuk ke aplikasi atau sistem konvensional oleh para manusia pengepul suara dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan sendiri. Caranya adalah dengan membagikan barang-barang vote buying tidak sesuai dengan janji di awal.
Rumor tersebut memang memiliki kecenderungan bahwa para pengepul suara mengambil keuntungan atas barang-barang yang sudah diterima dari kandidat pemilu dengan mengurangi jumlah yang dibagikan atau mengurangi item barang yang dibagikan.
Tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa vote buying yang dijanjikan ternyata memang tidak ditepati 100% oleh para kandidat pemilu, bukan oleh manusia pengepul suara.
Inilah perlunya kita waspada terhadap 'pink campaign'. Bagaimana janji-janji kampanye akan ditepati bila belum terpilih saja kandidat pemilu berani mengingkari vote buying yang dijanjikannya. Â Â
Maka berdasarkan semua fakta itu, kenyataan terkait eksistensi vote buying yang tercatat sebagai salah satu bentuk pelanggaran dalam aturan kampanye pemilu sepertinya masih sangat sulit terhindarkan atau dihilangkan dalam demokrasi politik kita.
Simbiosis mutualisme negatif tersebut terus terbangun tanpa mampu dihentikan bahkan meskipun melanggar aturan kampanye pemilu dan ada sangsinya, vote buying tetap eksis dalam setiap pelaksanaan pemilu.
Hanya saja, dengan efek yang juga dapat membangun mental atau moral negatif bagi pemilih atau pemilik suara, manusia pengepul suara dan kandidat pemilu, vote buying seharusnya dihentikan.
Efek mental atau moral negatif yang terbangun bagi pemilih atau pemilik suara, pengepul suara atau kandidat pemilu maupun partai, antara lain:
*) Pemilih atau pemilik suara menjadi terbiasa menerima pemberian tanpa memiliki rasa tanggungjawab sebagai bentuk terima kasih atas pemberian tersebut.Â
Karena nyata-nyatanya ketersediaan suara hanya satu sementara manusia pengepul suara yang memberikan vote buying bisa tiga, lima bahkan lebih. Lebih berbahaya lagi ketika dalam diri setiap pemilih atau pemilik suara akan membentuk sikap mudah berkhianat.
*) Dari sisi manusia pengepul suara, dikhawatirkan akan membentuk mental korupsi atau moral menghalalkan segala cara untuk meraih pencapaian.
*) Bagi kandidat pemilu atau partai maupun tim sudah jelas bahwa vote buying adalah pelanggaran, dikhawatirkan malah mempunyai kecenderungan kuat jika kandidat pemilu terpilih maka akan menggunakan cara-cara yang sama dalam menentukan banyak hal saat menjalankan roda pemerintahan. Â
Untuk itu karena mental atau moral negatif ini secara psikologis sangat berbahaya bagi keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat terkait potensinya ketika kelak menjadi kebiasaan yang akan diterapkan pada momen lain selain pemilu, pelanggaran vote buying semestinya ditindak tegas dan diberi sangsi diskualifkasi nyata. Â Â Â Â Â
Â
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H