Bagi saya yang tidak pernah berinteraksi dengan pelajar lain kecuali teman-teman sekelas saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN), Â tawuran antar pelajar pada dekade 1990-an tidak menimbulkan kecemasan dan kengerian.
Tetapi perasaan berbeda justru dialami oleh orang tua terutama ibu saya. Selain sudah menjadi orang tua tunggal pada masa itu, ibu cemas ketika setamat SMP saya berminat dan malah mendaftar di Sekolah Teknik Menengah Grafika yang berlokasi di Kemayoran Jakarta.
Sebab banyak poin terkait tawuran antar pelajar yang membuat kecemasan ibu semakin menjadi bila saya diterima di STM Grafika Kemayoran. Salah satunya adalah jalur lintas kendaraan umum yang menuju STM Grafika dari tempat tinggal kami termasuk zona merah tawuran antar pelajar.
Kecemasan ibu saya ternyata dialami oleh banyak orang tua lainnya. Apalagi ketika itu tiada hari tanpa kejadian tawuran antar pelajar di jalur-jalur lintas akses ke sekolah-sekolah, terutama jalur zona merah tawuran. Bahkan pada masa itu tawuran pelajar hampir setiap hari mengisi ruang berita di berbagai media massa.
Namun kecemasan ibu tidak berlangsung lama setelah saya dinyatakan gagal tes masuk STM Grafika dan malah memilih berhenti sekolah untuk kurun waktu setahun. Beliau juga tak protes dengan keputusan saya memilih berhenti sekolah. Â
Sementara kasus-kasus tawuran antar pelajar tidak pernah terhenti dan terus terjadi di mana-mana. Meskipun di zaman itu belum ada teknologi informasi sehebat sekarang, kisah-kisah tawuran pelajar yang dikemas dalam tema-tema heroik, horor, seru-seruan, kenakalan remaja, kriminal, hingga masuk jalur hukum atau lainnya tersebar cepat dan seolah menjadi makanan sehari-hari.
Di antara sekian banyak kisah tawuran, ada sebuah kisah menarik yang pernah saya dengar. Kisah tawuran ini seakan menghadirkan sosok super hero di tengah kondisi atau situasi mencekam yang sedang terjadi. Begini kisahnya:
Suatu ketika di siang hari di sekira tahun 1991-an, sekelompok pelajar putih abu-abu sedang berupaya mengejar sebuah bus PPD yang melintas di Jalan Dr. Sutomo arah terminal Senen. Puluhan pelajar itu baru berhasil menyentuh dan masuk ke dalam bus tepat sesaat bus terhenti oleh lampu warna merah penanda stop di sebuah perempatan.
Di dalam bus, puluhan pelajar yang berhasil masuk mulai merangsek lebih dalam dan mencari satu-persatu penumpang berseragam atau beratribut pelajar yang mencirikan musuh bebuyutannya. Tetapi meskipun rivalnya tidak ditemukan, rupanya kelompok pelajar itu mencoba mencari keuntungan di sela kondisi para penumpang yang tampak ketakutan. Lebih khusus terhadap para penumpang berseragam putih abu-abu yang sudah diketahui bukan musuhnya.
Dengan berbekal senjata-senjata logam atau tajam yang memang sejak tadi sudah mereka bawa di tangan masing-masing, satu-persatu penumpang berseragam pelajar ditodong senjata, diancam akan dilukai, uang dan barang bawaannya diminta paksa.
Aksi mereka ternyata tak sebatas itu. Mereka semakin tak terkendali ketika satu dua orang dari kelompoknya mulai menyasar penumpang lain yang bukan pelajar. Melihat keberanian satu dua orang temannya, yang lain ikut menyisir penumpang lain.
Di kursi barisan belakang dekat pintu bus, seorang pelajar dari kelompok itu menodongkan sebuah senjata celurit berukuran kecil kepada seorang penumpang laki-laki berwajah klimis, berambut panjang terikat, berperawakan kurus, tinggi berkisar 165 senti meter, berusia 25 tahunan dengan penampilan bergaya seorang seniman musik. Tapi laki-laki muda bergaya seniman itu tampak tenang menghadapi ancaman tersebut.
"Mas dompetnya serahin ke gue! Cepat!"
Laki-laki muda itu diam. Dia hanya menatap tajam dan berusaha menembus ke padangan mata pelajar yang menodongkan celuritnya.
"Elu nantang mas? Cepat keluarin dompet! Kalau nggak gue bantai lu!"
Masih sama. Laki-laki muda itu tak menjawab. Pandangannya semakin tajam, ekpresinya jadi benar-benar menunjukkan bahwa dirinya sedang menantang. Sementara tangan kirinya bergerak ke dalam jaket terbuka di sisi kanannya. Â
Merasa mendapat tantangan, sekejap darah muda sang pelajar mendesir kuat. Ia tampak hendak mengayunkan celurit di tangannya ke tubuh laki-laki muda yang diam sedari tadi. Tetapi gerakan pelajar itu bukan saja kalah cepat, melainkan sama sekali tidak beranjak dari posisinya.
Tatapan tajam laki-laki muda itu sepertinya telah membuat keberanian pelajar membeku. Posisinya bahkan tiba-tiba berbalik. Tubuh pelajar itu gemetaran. Tangan kanan yang sedari tadi menodongkan celurit sekarang terlihat digenggam erat dan agak dipelintir oleh tangan kanan laki-laki muda itu. Sedang tangan kiri si laki-laki muda menggenggam sebuah pistol yang moncongnya mengarah tepat ke jidat pelajar yang wajahnya kini tampak pucat.
Seiring dengan posisi tersebut, teriakan kesakitan membahana di dalam bus. Teriakan kesakitan itu mengundang teman-teman kelompoknya yang sedang sibuk mengancam dan membidik harta para penumpang. Di saat pandangan mereka semua teralihkan, laki-laki muda itu membentak keras, tegas dan penuh wibawa.
"Kembalikan semua barang yang kalian rampas! Buang senjata ke bawah! Lalu turun dari bus! Kalau tidak, teman kalian saya tembak! Dan berikutnya kalian semua. Lekas!"
Mereka kena batunya. Masing-masing tercekat diam beberapa saat ketika melihat sebuah benda yang menempel di jidat temannya. Dengan segera uang dan barang rampasan dikembalikan ke para penumpang. Senjata-senjata di tangan mereka lepas begitu saja dilantai bus. Bersamaan dengan bus yang berhenti dekat terminal, mereka berhamburan turun, dan sepertinya berlari menjauh.
Pelajar yang ditodong pistol digelandang turun. Tepat di depan pintu bus tubuh pelajar itu di tendang hingga terjerembab ke aspal. Beberapa warga coba melangkah maju entah untuk membantu atau mencegah laki-laki muda dengan pistol di tangan tidak berbuat lebih kejam.
Senjata celurit tampak telah berpindah ke tangan laki-laki muda yang ternyata adalah seorang anggota kepolisian, yang dalam waktu sekejap sambil sedikit beringsut mundur untuk berjaga-jaga dari kemungkinan serangan, seraya melepaskan celurit dari genggamannya, laki-laki muda itu mengeluarkan dan menunjukkan kartu anggotanya. Sementara bus PPD sudah berlalu.
Kisah singkat tersebut menunjukkan bahwa sosok laki-laki muda yang ternyata anggota kepolisian berpakaian bebas adalah brumator, yaitu sosok yang sangat dinanti-nanti kehadirannya di tengah perilaku para pelajar yang mulai keluar dari batas kewajaran kenakalan remaja dan mengarah pada perilaku tindak kriminal, yang identik dengan manusia penuh kepura-puraan atau poser. Â Â Â
Brumator adalah orang yang menyembunyikan kemampuan baik kecerdasan, keterampilan atau keahlian, kekuasaan, jabatan, profesi, harta kekayaan, kelebihan sifat tertentu atau apapun yang dimiliki untuk sementara waktu atau dalam waktu tertentu karena suatu alasan, yang dengannya pada sebuah momentum ditunjukkan untuk mengatup kesombongan palsu, menciutkan mental kebohongan atau membungkam superioritas kepura-puraan orang lain.
Sementara dari beberapa informasi daring, poser adalah sebutan untuk orang yang ikut-ikutan suatu tren, hanya untuk mendapatkan perhatian orang di sekitarnya. Informasi lain yang berasal dari kamus Etimologi Online menyatakan bahwa "poseur" sebenarnya adalah kata dalam bahasa Inggris "poser" yang mengenakan pakaian Perancis dan dengan demikian dapat dianggap sebagai kepura-puraan.
Dengan demikian poser dapat dimaknakan sebagai orang yang berusaha untuk terlihat atau berperilaku seolah-olah memiliki kemampuan baik berupa kecerdasan, keterampilan atau keahlian, kekuasaan, Â jabatan, profesi, harta kekayaan, sifat tertentu atau kelebihan apapun untuk memberi kesan agar dirinya menjadi bagian dalam kelompok terentu yang sebenarnya tidak dimiliki atau hanya pura-pura.
Definisi itulah yang menjadi alasan mengapa para pelajar dalam kisah singkat tadi identik dengan poser. Bahwa keberanian mereka melakukan tawuran adalah bentuk kepura-puraan karena bila tidak berkelompok nyali mereka ciut, tidak berdaya, dan bila bertemu dengan kekuatan semacam aparat keamanan mereka diam, bungkam atau lari tunggang langgang.
Sedangkan laki-laki muda berpakaian bebas, yang ternyata anggota polisi adalah sosok yang dinanti-nanti oleh setiap orang atau masyarakat yang seringkali merasakan keresahan atau kecemasan dan sekaligus berharap akan selalu ada sosok pahlawan keamanan yang tiba-tiba hadir dalam setiap tawuran yang terjadi.
Gambaran kisah kelompok pelajar saat mencari rival tawuran yang berubah menjadi aksi kriminal dalam sebuah bus dan menimbulkan keresahan atau kecemasan bagi penumpang bus khususnya, merepresentasikan keberadaan sosok poser di tengah maraknya kasus tawuran.Â
Sampai kemudian tiba-tiba para poser dikejutkan oleh kehadiran polisi muda yang awalnya tidak dianggap apa-apa karena penampilannya tidak mencerminkan sebagai seorang petugas kepolisian, yang merepresentasikan sebagai sosok brumator, kepura-puraan kelompok pelajar yang meresahkan itu dibungkam seketika.
Kini di era digital, yang di dalamnya generasi topping semakin gencar membuat konten-konten dengan beragam karakter di berbagai platform digital atau platform media sosial guna mendapatkan hasil atau keberuntungan, kehadiran sosok brumator jadi dinanti-nanti bila mengingat konten-konten yang beredar di dunia digital sudah dipenuhi oleh poser. Â
Brumator, adalah sosok yang akan menunjukkan kemampuan, kekuasaan, harta kekayan atau kelebihan lain yang sebenarnya, yang kemudian ditunjukkan untuk mengatup kesombongan palsu poser berkonten sensasi nol prestasi, menciutkan mental kebohongan poser berkonten mengaku-mengaku pakar pada suatu bidang profesi atau membungkam superioritas kepura-puraan poser berkonten flexing. Â
Referensi,
Poseur. 2023. https://en.wikipedia.org/wiki/Poseur
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H