Kebiasaan melanggar inilah yang melahirkan pesismisme terhadap aturan apapun yang dibuat, terlebih aturan perizinan yang celah korupsi, kolusi dan nepotismenya tampak menganga. Pertanyaan yang muncul, apa metode yang digunakan agar perizinan terbebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme?
Sebutlah satu metode yang selama ini diduga sangat ampuh dalam mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam mengurus perizinan, yakni metode PTSP atau Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Benarkan ampuh? Ternyata jawabnya tidak.
Masih banyak keluhan masyarakat terkait layanan tersebut, dan tidak sedikit oknum masyarakatnya sendiri yang coba menerobos layanan satu pintu itu melalui pintu lain yang tak kasat mata sampai tembok tak hanya jadi membisu tetapi juga buta tuli dadakan.
Bagaimana kita bisa optimis bila tanpa pengawasan birokrasi masih mudah ditembus dan masyarakat masih membekal kebiasaan aturan dibuat untuk dilanggar?
Jika sudah demikian, wadah hukum pun tidak mampu memayungi hak rakyat atas kemakmuran yang sebesar-besarnya ditujukan untuk mereka. Sebab selama birokrasi masih mudah ditembus dan pelanggar  aturan masih punya cara menggantikan payung dengan pelepah pisang, jas hujan, caping kayu lebar dan lainnya, aturan perizinan hanya akan menjadi ladang korupsi, kolusi dan nepotisme baru.
Pada akhirnya, lagi-lagi yang merasakan dampak kemakmuran atas UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 hanyalah segilintir orang yang mempunyai kemampuan, kekuatan, kekuasan dan aset dalam membuka karpet merah untuk memperoleh pengelolaan terkait bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk air tanah.
Persoalan ini menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain, apakah Kementrian ESDM dapat menjamin bahwa proses Izin Air Tanah bebas korupsi, kolusi dan nepotisme? Metode apa yang akan digunakan dalam pelaksanannya? Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H