Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Sajian Tahu Bulat dalam Pusara Politik

24 Oktober 2023   19:21 Diperbarui: 24 Oktober 2023   19:32 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diolah dari (Shutterstock/Anjarsari LP/Kompas.com, Screenshot Youtube Harian Kompas)

Gibran Maju Cawapres dan berpasangan dengan capres Prabowo Subianto. Pengumuman Gibran Rakabuming sebagai bakal cawapres yang diumumkan oleh Prabowo Subianto akhirnya melengkapi 2 (dua) pasangan capres cawapres yang sudah terlebih dahulu diumumkan, serta mengakhiri sesi politik tebak capres cawapres 2024 yang akan maju di pilpres.

Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin), Ginanjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming adalah 3 (tiga) pasangan capres cawapres yang akan bertarung di pilpres 2024. Dari ketiga pasangan calon, 2 (dua) calon diwakili generasi baby boomer, 3 (tiga) calon datang dari generasi X, dan 1 (satu) calon berasal dari generasi milenial atau gen Y.

Bila mencermati dari generasi mana asal-usul salah satu sosok calon yang mewakili generasi milenial atau gen Y dalam batasan usia, sebenarnya usia calon tidak muda-muda amat. Sebuah penelitian terbaru menyebutkan seseorang berhenti jadi muda di usia 35. Beberapa literatur lain menunjukkan bahwa usia 36 tahun masuk kategori rentang usia 35-44 dan disebut usia paruh baya.   

Berdasarkan informasi tersebut, pencalonan generasi milenial atau gen Y yang diwakili oleh Gibran Rakabuming seharusnya tak memunculkan narasi politik kaum muda sebab Gibran sudah tak lagi muda. Apalagi jika sampai menyebut 'Gibran cuma bocah'. 

Namun sesungguhnya yang jadi soal bukanlah usia, melainkan putusan MK yang menolak gugatan perubahan syarat usia capres cawapres tapi dengan kalimat tambahan pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, sehingga tetap bisa melenggangkan Girbran maju cawapres. Terlebih ketika diketahui Ketua MK yang melakukan putusan masih terbilang kerabat. 

Sejak putusan itu, muncul polemik sampai dugaan lahirnya politik dinasti dalam pusara politik jelang pilpres 2024. Terkait dugaan tersebut ada sebuah tanya yang mestinya berani dan berkenan dijawab secara bijak berkenaan dengan syarat batas usia atas putusan MK jika ingin menepisnya, "Mengapa tidak dilakukan sejak dulu lewat legislatif review?"

Bagi sebagian masyarakat, faktor usia dan dugaan politik dinasti tidak dilihat sebagai akar masalah lantaran usia 36 tidak tergolong muda lagi dan dugaan politik dinasti dapat dibantah dengan 'regenerasi'. Tetapi apakah perjalanan politik seorang Gibran Rakabuming telah membentuk mental politik yang tangguh dan solid? Apakah 2 (tahun) menjabat sebagai Wali Kota Solo sudah bisa disebut berpengalaman atau berprestasi?

Menyaksikan dunia politik dalam menghadapi pilpres 2024 saya malah teringat dengan fenomena jajanan kaki lima tahu bulat yang sempat booming di sekira tahun 2015-an. Kala itu di setiap pelosok daerah dan jalan-jalan kota, nyaris tidak ada tepian jalan tanpa pemandangan mobil bak terbuka beratap terpal yang mengangkut kompor, wajan besar dan box container penyimpan tahu siap goreng , yang menjajakan tahu bulat dengan cara unik.

Siapa yang tak kenal suara rekaman yang diulang-ulang oleh penjual, yang menjual produk tahu bulatnya secara sistematis melalui kelompok-kelompok yang tersebar di lokasi-lokasi strategis kala itu. Rekaman suara khas pemasaran tahu bulat yang masih diingat oleh banyak masyarakat konsumen hingga kini, "Tahu bulat, digoreng dadakan, lima ratusan, gurih-gurih enyoi" 

Tetapi apa hebatnya tahu bulat dibanding tahu jeletot, tahu gejrot, tahu berontak, tahu pletok, tahu aci, tahu bakso, tahu intip, kembang tahu atau camilan lain berbahan dasar tahu yang sudah lebih dulu eksis?  Di banding tahu lainnya, tahu bulat cuma menawarkan rasa gurih, rasa yang sama seperti rasa yang ditawarkan tahu goreng pada umumnya yang berbentuk dadu. 

Rasa, variasi dan popularitas tahu bulat jelas kalah jauh dari tahu jeletot, tahu berontak, tahu pletok, tahu aci, tahu bakso, tahu intip, kembang tahu atau camilan berbahan dasar tahu lainnya yang sudah ada sebelumnya, dan tidak hanya menawarkan rasa gurih tetapi juga rasa pedas, manis, asam, asin dan renyah. 

Jika diamati, kehebatan tahu bulat terletak pada cara memasarkannya yang unik, bentuk produk tahu yang tak lazim, sistem pemasaran yang sistematis, dan cara memasak yang yang dinarasikan seolah berbeda. Namun segala produk semacam tahu bulat yang mengalami algoritma eksponensial yang digambarkan dalam statistik sebagai garis tak lurus yang melengkung atau melejit ke atas secara tiba-tiba, yang dalam bahasa generasi topping mengalami fase viral dan disebut sukseskadabra, tidak akan bertahan lama. 

Dan yang perlu diingat, bahwa segala sesuatu yang melejit ke atas secara tiba-tiba juga bisa mengalami kondisi sebaliknya atau dengan kata lain dapat segera meluncur ke bawah secara tiba-tiba pula, yang dalam bahasa generasi toping disebut balakazam. Faktanya sekarang, pamor tahu bulat memudar sementara makanan tahu jenis lainnya masih tetap eksis dan memiliki popularitas tersendiri bagi beberapa kalangan di beberapa tempat atau lokasi. 

Fenomena populer sajian tahu bulat yang pernah terjadi pada masa tertentu ketika itu, dan seolah mampu menyingkirkan pusara berbagai jenis makanan berbahan dasar tahu lainnya, merupakan gambaran dunia politik yang sedang berkembang sekarang. Kata kunci 'digoreng dadakan' adalah bentuk representasi atas apa yang sedang terjadi di kancah politik jelang pilpres 2024. Proses penggorengannya tidak hanya terlalu cepat seperti tahu bulat, tetapi juga menimbulkan polemik, pro-kontra, kontroversi dan dugaan yang berkonotasi negatif. 

Dalam bahasa lain, kondisi tersebut diibaratkan dengan buah yang tak matang di pohon alias buah karbitan. Kematangan dan kedewasaan sejati dalam membentuk mental dan pengalaman politik tidak bisa dibentuk secara dadakan seperti tahu bulat yang matang lewat digoreng dadakan tapi tetap enak serta gurih rasanya. 

Jabatan yang berhasil diraih dan baru dijalankan 2 (tahun) yang menjadi salah satu acuan pengalaman politik Gibran bagi para pengusung dan pendukungnya adalah keberhasilan atau keberuntungan awal, yang identik dengan sukseskadabra di generasi topping, sehingga ia belum bisa disebut sebagai prestasi.  

Meskipun demikian, sebagian besar publik sepertinya telah mampu membaca mengapa pada akhirnya generasi milenial atau gen Y yang diwakili oleh Gibran Rakabuming dipilih untuk mendampingi Prabowo Subianto, yang tentu saja dipilih bukan sekadar karena  ia dinilai sebagai kaum muda berprestasi, melainkan karena kondisinya yang saat ini identik dengan sukseskadabra. Suatu kondisi yang membuat seseorang mempunyai potensi sangat besar untuk mendapatkan keberhasilan atau keberuntungan lanjutan yang cenderung akan berkesinambungan.

Kita lihat saja di hari pembuktian, apakah fenomena sajian tahu bulat dalam pusara politik mampu mengalahkan tahu-tahu yang sudah ada dan sebelumnya eksis! Omong-omong, dari ketiga pasangan calon, apa mereka pernah membeli dan menyantap tahu bulat, digoreng dadakan, lima ratusan, gurih-gurih enyoi, itu ya?       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun