1 Liter minyak goreng. Siapa yang nggak mau coba? Ini tawaran menggiurkan yang diberikan seorang kerabat kepada istri saya.Â
Syaratnya cuma nyerahin selembar fotokopi KTP. Kalo selembar fotokopi KTP dapat 1 liter, berarti saya dan istri akan dapat 2 liter minyak goreng. Tapi buat apa fotokopi KTP-nya ya?
Istri saya nggak mau mikir panjang. Baginya yang terpenting punya stok 2 liter minyak goreng untuk kebutuhan masak sehari-hari.Â
Menurutnya, 2 liter minyak kayaknya bisa penuhin kebutuhan memasak selama satu bulan. Tentunya tergantung penggunaan. Tetapi saya punya sedikit rasa curiga. Hari gini mana ada yang gratis kalau bukan bagian dari program bantuan pemerintah?
Sehari setelah 2 lembar fotokopi KTP diserahkan, dua liter minyak goreng meluncur ke rumah kami. Minyak goreng itu terdiri dari 2 kemasan plastik 1 liter bertuliskan "Minyak Kita". Namun yang menjadi fokus perhatian saya adalah stiker yang menempel di kemasan minyak.
Stiker yang mengingatkan saya pada pemilu yang sudah lalu terkait caleg-caleg yang memberikan bantuan berupa beras, gula, minyak, bahan makanan dan berbagai macam bahan kebutuhan pokok lainnya yang melabeli semua kemasan bantuan dengan stiker berwajah sang caleg.
Jleb! Stiker pada minyak 1 liter itu membuktikan sedikit kecurigaan saya terungkap. Sedikit aja udah bisa ngungkap, gimana banyak?Â
Terlebih lagi seudah minyak kami terima, kami diminta memotret diri dengan memegang minyak tersebut dan mengirimkannya sebagai bukti. Entah bukti apa?
Tetapi kalo nggak sampe dilakuin maka minyak goreng akan ditarik kembali. Saya sih rela. Sayangnya istri agak nggak rela. Akhirnya kerelaan saya berganti bentuk. Jadi rela ikutan foto selfie menggendong sang minyak. Apa maksud stiker itu ya?
Maksudnya jelas; untuk suara di 2024. Tapi tentunya suara yang dimaksud adalah vote atau voting yang sedang berupaya diraih oleh sosialaba untuk pemilu nanti. Sebenarnya, sosialaba yang dilakuin oleh caleg tersebut ibarat berjudi.
Jauh-jauh hari sosialaba sudah dilakukan sang caleg dengan memberikan bantuan, sumbangan, sedekah atau lainnya untuk menginkubasi suara dan berharap pada waktunya kelak semua hasil inkubasi tertuju padanya. Kok suara diinkubasi?
1 liter minyak goreng sama dengan 1 orang. 1 orang berarti sama dengan 1 suara. 1000 liter minyak berarti 1000 suara.Â
Setidaknya, begitu kalkulasi hitungan yang menjadi harapan sang sosialaba. Tetapi ibarat pasang 1000 koin ternyata dapatnya belum tentu 1000 koin. Bisa dapat lebih, bisa juga nihil atau nol.
Oleh sebab itu, bagi para sosialaba, inkubasi yang dimaksud bagai berharap kehadiran anak ayam (suara) yang kelak akan menilai sosoknya sebagai induk melalui proses penetasan telur.
Proses inkubasi suara dierami dan dipanasi lewat kegiatan sosial dengan memberikan bantuan (berbagi, sumbangan, sedekah atau lainnya) yang tiba saatnya nanti, yang diberi bantuan diharapkan tahu dan sadar diri siapa induknya sehingga tahu kepada siapa suaranya diberikan.
Boleh jadi sosialaba satu ini adalah jenis sosialaba yang unik, karena keuntungan atau manfaat yang diambil dari kegiatan sosialnya adalah suara. Apakah bisa berrhasil?
Proses pengeraman telur nggak selalu berhasil menetaskan anak ayam, tetapi dengan cara atau pendekatan yang tepat hasilnya akan jauh lebih tampak.
Dengan pendekatan persuasif yang masif, apalagi dilengkapi dengan sentuhan teknik psikologi memengaruhi, inkubasi suara kelak mampu menghasilkan angka telak. Siapa saja yang bisa dipengaruhi?
Istilah pemilih cerdas yang selama ini seringkali digaungkan sebetulnya perlu dipertanyakan. Cerdas yang bagaimana, pada konteks apa, menurut siapa, bagian mananya?Â
Pemilih yang suaranya mudah diinkubasi melalui sosialaba adalah pemilih yang memiliki sifat antara lain stereotipe balas budi, gak enakan, gampangan.
Tiga sifat yang nyaris identik itu mudah dipengaruhi lewat sisi psikologis. Pemilih yang mempunyai sifat stereotipe balas budi yaitu tipe pemilih yang dalam dirinya telah tertanam bahwa siapapun yang memberikan bantuan atau menolong dirinya maka dirinya harus membalas bantuan (kebaikan) orang tersebut.
Sifat gak enakan adalah tipe pemilih yang memiliki rasa tidak enak hati yang kuat. Sudah diberi sesuatu yang manfaat dan membuat dirinya senang, rasanya kok gak enak kalau tidak berbuat sebaliknya.
Kemudian tipe gampangan yaitu tipe pemilih yang mudah terbujuk rayu oleh pemberian bantuan, sumbangan, sedekah atau lainnya.Â
Gampang ajek hanya dengan sekali diberi bantuan. Juga cenderung memercayai bahwa pemberian bantuan, sumbangan, sedekah atau lainnya (kebaikan) akan berlanjut ke depannya. Baru calon saja sudah berbagi apalagi jika sudah jadi, iya toh, begitu pikir mereka.
Meskipun tidak ada hitam di atas putih, inkubasi suara bisa berharap banyak dari tiga sifat pemilih tadi.Â
Sementara bagi pemilih, inkubasi lebih dekat kepada makna 'masa dari saat penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh sampai ke saat timbulnya penyakit'. Yang artinya, suara yang sudah diberikan kelak dapat berbalik menyerang dirinya. Mengapa demikian?
Sebab nggak sedikit caleg yang bila kalah suara ternyata akan minta balikin semua bantuan, sumbangan, sedekah atau lainnya yang sudah diberikan. Kok mirip mantan yang putus tapi minta balikin barang-barang yang pernah dikasihin ya!
Selain itu, nggak sedikit caleg yang bila sudah memenangkan suara, ternyata lebih pro penguasa atau pengusaha ketimbang pemilihnya (rakyat) ketika muncul kasus perseteruan antara penguasa atau pengusaha dengan pemilihnya (rakyat).Â
Dan, sikap tersebut justru dilakuin saat dirinya telah memiliki kewenangan atau kekuatan untuk rakyatnya yang sedang membutuhkan bantuan keadilan.
Begitulah dahsyatnya sosialaba, memang baru bisa diketahui atau akan terbukti jika kegiatan sosial yang dilakukannya hanya untuk mengambil keuntungan atau manfaat, bukan semata-mata memberi bantuan, sumbangan, sedekah atau lainnya tanpa berharap timbal balik---setelah sang sosialaba berhasil meraih laba yang menjadi tujuannya.
Akhirnya, sebagai rakyat pemilih, saya berharap para caleg di tahun 2024 tidak memanfaatkan kelemahan rakyat pemilih dengan kegiatan sosial berdalih bantuan, sumbangan, sedekah atau semacamnya demi meraih laba suara.Â
Sehingga tidak berimbas negatif pula ke raihan kualitas suara pemilihan cawapres dan capres yang telah didukung oleh masing-masing koalisi, baik koalisi gemuk maupun koalisi ramping.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H