Semua pembayaran akan digital pada waktunya. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua jenis pembayaran konvensional perlahan akan ditinggalkan pada akhirnya. Kita pernah mengenal istilah barter, yakni pertukaran antara barang  dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa yang diinginkan sebagai cara bertransaksi, serta uang barang atau komoditas (commodity currency)---yang meski masih digunakan di beberapa wilayah atau pada transaksi yang bersifat kondisional,  sudah tergantikan oleh alat tukar yang lebih efisien dan terukur yaitu uang.
Uang yang kita kenal selama ini, umumnya berbentuk koin atau kertas yang biasa disebut uang kartal atau uang tunai. Bentuk pembayaran berupa uang memiliki nilai-nilai yang terukur untuk menentukan nilai tukar terhadap suatu barang dan/atau jasa pada setiap transaksi. Tetapi nilai tukar di setiap negara mempunyai perbedaan sehingga untuk menggunakan mata uang suatu negara di negara lainnya untuk bertransaksi tidak bisa begitu saja dilakukan.
Perbedaan nilai mata uang di tiap negara atau biasa disebut kurs awalnya merujuk pada transaksi pembayaran era barter, yang memiliki kesulitan dalam membedakan nilai suatu barang dengan barang atau barang dengan jasa yang ditukar. Oleh karena itu, setiap peradaban (negara) membuat alat transaksi berupa uang dengan kecenderungan yang didasarkan atas jenis dan nilai sumber daya alam yang dimilikinya.
Kecenderungan tersebut, selain mengacu pada jenis dan nilai sumber daya alamnya, dipengaruhi juga oleh posisi atau kedudukan, letak wilayah, kedaulatan, standar kelayakan hidup, kondisi perekonomian, produk atau jasa yang dihasilkan dan tingkat kemajuan suatu negara.
Uang kartal atau uang tunai yang beredar di tiap negara, yang masing-masing sudah dilekatkan besaran nilainya memang lebih memberi kemudahan dalam bertransaksi ketimbang menggunakan barter atau uang barang atau komoditas. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi dan teknologi, uang kartal atau uang tunai tidak cukup praktis dalam memenuhi keamanan dan kebutuhan bertransaksi dalam jumlah besar. Terutama ketika dihadapkan pada transaksi lintas batas negara dengan kurs yang berbeda. Â
Untuk memecahkan permasalahan demikian, muncul inovasi alat pembayaran berbasis kertas (paper-based) dalam bentuk surat berharga yang diterbitkan oleh bank seperti cek dan/atau bilyet giro, yang umum disebut sebagai uang giral. Lalu alat pembayaran berbasis kartu (card-based), contohnya transaksi pembayaran yang menggunakan kartu debet atau kartu kredit. Kemudian timbul uang elektronik (electronic-based atau e-money) generasi awal yang menjadi cikal bakal alat pembayaran digital. Penggunaan uang elektronik generasi ini bentuk fisiknya cenderung berwujud kartu yang terdapat chip di dalamnya.
Ketika era digital makin berkembang alat pembayaran terus mengalami evolusi. Berbagai transaksi mulai dilakukan melalui jalur internet dengan alat pembayaran yang di sebut e-payment, antara lain dengan menggunakan e-wallet, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), transfer bank dan PayPal. Transaksi digital pun semakin hari kian beragam dan terus bertumbuh. Â
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut, nilai transaksi uang elektronik sepanjang tahun 2022 tumbuh 30,84% dibandingkan tahun 2021 yang mencapai Rp 399,6 triliun. Bahkan di tahun 2023, nilai transaksi uang elektronik diproyeksikan meningkat 23,9% dibandingkan tahun lalu hingga mencapai Rp 495,2 triliun. Adapun nilai transaksi digital banking sepanjang 2022 juga meningkat 28,72% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 52.545,8 triliun. Proyeksi BI, nilai transaksi digital bangking pada 2023 juga akan tumbuh hingga 22,13% mencapai 64.175,1 triliun.
Di sisi lain, berdasarkan Statistik Sistem Pembayaran dan Infrastruktur Pasar Keuangan (SPIP) yang dirilis Bank Indonesia, transaksi ATM dan debit baik secara volume maupun nilai transaksi mengalami penyusutan per Mei 2022. Sementara pada 30 November 2022, Bank Indonesia telah menerbitkan white paper sebagai langkah awal terkait pengembangan  Digital Rupiah (CBDC: Central Bank Digital Currency) sebagai bentuk uang masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perjalanan panjang penggunaan alat pembayaran mulai barter hingga ke pengembangan Digital Rupiah CBDC merupakan proses untuk menuju ekonomi digital yang akan mengarahkan kita pada fakta bahwa 'semua pembayaran akan digital pada waktunya'. Tetapi untuk tiba ke tujuan 'pada waktunya' kita memerlukan kesadaran dan pengetahuan digital melalui literasi digital (digital literacy), tata kelola (governance) dan konektivitas (connectivity). Apakah ada upaya yang telah dilakukan terkait literasi digital, tata kelola dan konektivitas ini?Â