Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setahun Kematian Tangmo Nida dalam Perspektif Matinya Kepakaran di Era Digital

24 Februari 2023   14:25 Diperbarui: 24 Februari 2023   14:34 1644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: liputan6.com (instagram/ melonp.official)

Setahun lalu artis Thailand Tangmo Nida atau Nida Patcharaveerapong dikabarkan jatuh dan hilang di sungai Chao Phraya pada Kamis, 24 Februari 2022. Sebuah tanggal yang kemudian disebut juga sebagai hari kematiannya.

Dua hari setelahnya, pada Sabtu, 26 Februari 2022, tim penyelamat menemukan tubuh Nida mengambang di sungai sekitar 300 meter dari Dermaga Pibulsongkram di Provinsi Nonthaburi. Kabarnya, Nida terjatuh di sungai karena terpeleset ketika sedang buar air kecil di bagian belakang speedboat. Ketika itu belum ada dugaan kematian Nida mengarah pada unsur kecelakaan akibat kelalaian apalagi pembunuhan.

Tetapi ibu Nida menilai ada kejanggalan pada kematian putrinya dan hasil otopsi awal menunjukkan ada pasir di paru-paru Nida. Adanya pasir di paru-paru Nida mengisyaratkan bahwa artis cantik itu masih bernapas ketika jatuh ke sungai. Dugaan lain terkait adanya pasir di paru-paru Nida mengindikasikan telah terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan sebelum jatuh ke sungai.

Hasil otopsi juga menunjukkan adanya luka sayatan di paha dan luka kecil lainnya. Menurut keterangan petugas kepolisian di sana, setelah terjatuh ke sungai tubuh Nida tertarik ke arah baling-baling speedboat. Baling-baling itulah yang menyebabkan luka sayatan di paha Nida hingga menemui ajalnya. Kemudian kata seorang kepala kepolisian Thailand, Nida jatuh ke sungai tidak karena kelalaiannya sendiri melainkan ada seseorang yang ceroboh menyebabkan kematiannya.

Kematian Nida menuai beragam dugaan, kecurigaan, komentar dan terutama berbagai analisa sejak foto kondisi mayat dan video cctv artis tersebut tersebar luas di media sosial. Berbagai argumentasi terkait kecurigaan dan analisa warganet akan kematian Nida di media online tak terhitung jumlahnya dan tak kalah menghebohkan dari berita utamanya.

Tak kurang dari 15 ahli forensik dikumpulkan dan dibentuk dalam satu panel untuk meninjau rincian otopsi kedua Nida. Termasuk dalam panel yang dibentuk Kementrian Kehakiman itu adalah dokter medis dan ahli patologi forensik terkenal, Khunying Porntip Rojanasunan. Dengan turunnya para pakar forensik, lantas apa hasil akhir kasus Tangmo Nida?

Mengutip kompas.com, kesimpulan polisi atas kematian Tangmo Nida adalah bahwa Tangmo Nida jatuh dari buritan kapal dan menabrak baling-baling, menyebabkan luka besar di pahanya. Lalu dikatakan dalam konferesi pers bahwa kasus sudah selesai dan tidak ada gunanya melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Polisi telah mengesampingkan kecurigaan bahwa telah terjadi pembunuhan atas artis Tangmo Nida, tetapi akhirnya mendakwa enam orang atas kecerobohan atau kelalaian yang menyebabkan kematian. Termasuk seorang pria yang melatih kelima orang yang berada di speedboat dengan berbagai pelanggaran, berbohong kepada polisi dan menyembunyikan bukti.

Namun publik sepertinya tidak puas atau tidak percaya dengan hasil akhir itu. Banyak dari mereka meyakini hasil analisa masing-masing yang mengarahkan bahwa kematian Tangmo Nida akibat di bunuh. Padahal kebanyakan mereka bukan pakar dalam bidang forensik, kriminal, pembunuhan atau bidang yang terkait dengannya. Mengapa seolah sebagian besar warganet jadi tidak memercayai hasil akhir para pakar?   

Kasus kematian Tangmo Nida bukan satu-satunya. Banyak kasus, kejadian, peristiwa atau beragam aktivitas penyampaian informasi dalam interaksi media sosial seringkali dikomentari, diargumentasi atau diopini dengan bantahan, dicurigai dan dianalisa oleh warganet di luar kapasitasnya sebagai pakar. Era digital memang sangat memungkinkan setiap orang yang tanpa pengetahuan, keterampilan atau pendidikan terutama kekhususan atau spesialisasi suatu bidang bisa melakukannya.

Seorang jurnalis senior yang juga sastrawan, Bre Redana, menggambarkan situasi seperti di atas tadi, yang selanjutnya dipersepsi sebagai "matinya kepakaran" dengan mengatakan, "Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun