Entah siapa yang memulai konten-konten pamer kemewahan? Konten pamer kemewahan ini bahkan ada yang dimotori oleh media besar lewat program acaranya. Beberapa konten pamer kemewahan lain sepertinya ada yang sudah didukung oleh brand ternama lewat endorse.
Pada suatu waktu semua konten pamer kemewahan mewabah hingga para penonton tidak peduli mana konten pamer kemewahan yang  bertujuan untuk mendapatkan profit saja atau sekaligus memberikan edukasi, motivasi atau inspirasi. Saking banyaknya konten-konten tersebut,  sulit menemukan siapa pionir sang pemer (pelaku pamer) konten kemewahan ini. Tetapi realita dunia digital pada media sosial sekarang, sebagian besar kontennya mempertontonkan kemewahan yang tidak terindikasi memiliki tujuan edukasi, motivasi atau inspirasi.
Konten-konten pamer kemewahan tersaji mulai dari saling tawar-beli, jual-beli atau barter barang-barang mewah seperti mobil, motor, rumah, jam tangan dan lainnya. Lalu berseliweran konten-konten saling kunjung-mengunjungi rumah tinggal para selebriti yang membahas barang-barang dan berbagai fasilitas mewah berharga fantastis.
Tampil juga konten-konten pamer kemewahan lewat pemberian hadiah, baik hadiah ulang tahun, hari kelahiran anak, pernikahan dan lainnya. Ada juga konten pamer kemewahan dengan menampilkan jumlah saldo rekening di suatu bank. Pamer kemewahan lainnya berisi review kuliner mahal. Belakangan pamer kemewahan ini melahirkan istilah crazy rich atau sultan yang diikuti dengan lokasi tinggalnya. Pertanyaan yang kemudian timbul, apakah netizen menyukainya?
Ada seorang tokoh yang pernah mengulas konten pamer kemewahan beberapa pemer. Ulasan itu kemudian sempat menjadi perdebatan di media sosial. Perdebatan terkait topik pamer kemewahan itu menimbulkan pertanyaan, siapa yang salah?
Menurut Deddy Corbuzier, karena penonton di Indonesia suka hal-hal seperti itu. Jutaan netizen menonton konten seperti itu. Sementara kreator kontennya cari duit bukan pamer. Masih menurutnya, yang salah adalah penonton dan pola pendidikan di Indonesia. Kemudian pendapatnya mengerucut pada mindset. Â
Bila merujuk pada jawaban Deddy Corbuzier, indikasi pamer kemewahan yang dikreasikan ke dalam konten oleh kreator konten bertujuan cuan. Sehingga upaya adanya edukasi, motivasi atau inspirasi kreasi konten berdasar konteks  pamer kemewahan patut dipertanyakan.
Kembali ke pertanyaan tentang siapa salah siapa benar ketika didiskusikan di kedai kopi dan tidak menemukan jawaban, biasanya akan ada celetukan gurauan yang akan menunjukkan siapa salah. Celetukan gurau itu berbunyi, "salah maling".Â
Tapi pastinya, dalam kondisi apapun perbuatan maling memang salah karena mengambil hak orang lain dan melanggar hukum. Hanya saja, bukan pada topiknya menyalahkan maling untuk pertanyaan siapa yang salah dalam perdebatan pamer kemewahan.
Pamer yang berkaitan dengan kemewahan atau kekayaan bila mengambil makna dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akan mengarah pada pendefisinian berikut; menunjukkan (mendemonstrasikan) sesuatu berupa materi yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri.
Jika makna ini yang dimaksud maka pamer bukan suatu kesalahan karena kesombongan tidak mengambil hak orang lain atau melanggar hukum. Meski barangkali bagi sebagian besar pendapat, kesombongan dinilai amoral, melanggar norma, adab, nilai atau etika. Oleh karena pamer kemewahan dapat mengusik rasa, derita, status sosial atau strata sosial orang lain.