Mohon tunggu...
Suna Drajat Adiwira
Suna Drajat Adiwira Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Alam menginspirasi,Manusia berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Book

Mencari Keadilan dalam Kegelapan: Penghilangan Paksa dalam Novel "Laut Bercerita"

7 Maret 2024   08:28 Diperbarui: 7 Maret 2024   08:29 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghilangan paksa adalah fenomena yang telah lama menjadi bagian dari sejarah manusia dan seringkali menjadi topik yang dibahas dalam berbagai bentuk sastra. Penghilangan paksa merupakan salah satu praktik yang melanggar hak asasi manusia dan memiliki dampak yang merusak baik pada individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Dalam esai ini, akan di bahas bagaimana penghilangan paksa digambarkan dalam berbagai karya sastra dan bagaimana sastra dapat digunakan sebagai alat untuk memahami dan mengkritik praktik ini.

 Dalam novel "Laut Bercerita" karya Leila S. Chudori menghadirkan dua sudut pandang yang berbeda untuk menggambarkan peristiwa penghilangan paksa. Biru Laut Wibisono, seorang mahasiswa dan aktivis, mengalami penyiksaan dan penghilangan paksa menjelang era reformasi. Sedangkan adiknya, Asmara Jati, berusaha mengungkap jejak-jejak sang kakak dan aktivis lainnya yang menghilang. Melalui sudut pandang ini, penulis menggambarkan secara mendalam pengalaman trauma dan ketidakpastian yang dialami oleh keluarga korban.

 Novel ini juga mengangkat tema perjuangan keluarga korban dalam mencari keadilan. Meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan dan sistem yang korup, mereka tidak pernah menyerah dan terus berjuang untuk mengungkap kebenaran serta mendapatkan keadilan bagi orang-orang yang telah "dihilangkan".

 Penghilangan paksa seringkali digambarkan dalam sastra sebagai tindakan kekerasan yang brutal dan tidak manusiawi, yang mewakili penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak berwenang dan pelanggaran hak asasi manusia yang paling dasar. Dalam konteks ini, sastra berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan dan memahami pengalaman manusia dalam menghadapi kekerasan dan ketidakadilan.

 Sebagai contoh, dalam novel "1984" oleh George Orwell, penghilangan paksa digunakan oleh pemerintah totaliter sebagai alat untuk mengendalikan dan menakut-nakuti populasi. Dalam novel ini, orang-orang yang dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah secara rutin "dihilangkan" tanpa penjelasan atau proses hukum yang adil. Ini menciptakan suasana ketakutan dan ketidakpastian yang melumpuhkan, di mana siapa pun bisa menjadi target berikutnya.

 Namun, sastra juga tidak hanya menggambarkan penghilangan paksa sebagai tindakan kekerasan, tetapi juga sebagai peristiwa yang menyayat hati bagi mereka yang ditinggalkan. Dalam banyak karya sastra, keluarga dan teman-teman dari mereka yang telah "dihilangkan" harus berjuang dengan ketidakpastian dan kehilangan, seringkali tanpa harapan akan penyelesaian atau keadilan.

"Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan". (Hal. 256 ; Laut Bercerita ) 

 Dalam kutipan tersebut, penulis dengan cermat menggambarkan pengalaman keluarga dan individu yang terkena dampak penghilangan paksa. Ia menggambarkan secara detail ketidakpastian yang melanda mereka, kehilangan yang mendalam, dan perjuangan yang tak kenal lelah dalam mencari keadilan dan kebenaran.

 Misalnya, dalam puisi "Desaparecidos" oleh Juan Gelman, penulis menggambarkan penderitaan dan keputusasaan orang tua yang anaknya telah "dihilangkan" oleh rezim militer di Argentina. Melalui puisi ini, Gelman tidak hanya mengkritik praktik penghilangan paksa, tetapi juga menunjukkan bagaimana praktik ini memiliki dampak yang mendalam dan menghancurkan pada keluarga yang ditinggalkan.

 Dalam karya sastra, penghilangan paksa digambarkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan dan menghancurkan, serta menyoroti ketidakadilan sistematis yang terjadi dalam proses hukum. Sastra juga memberikan suara kepada mereka yang telah menjadi korban penghilangan paksa, menggambarkan dampak emosional dan psikologis yang mendalam yang dialami oleh korban dan keluarga mereka.

 Selain itu, sastra juga digunakan sebagai alat untuk mengkritik praktik penghilangan paksa. Penulis menggunakan karya mereka untuk mengekspos ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, dan impunitas yang sering terjadi setelah penghilangan paksa. Mereka membangkitkan kesadaran dan empati, serta mendorong pembaca untuk melihat dan mengkritik praktik ini.

 Dalam novel "The Disappeared" oleh Amy Lord, Novel ini menggambarkan perjuangan seorang perempuan yang mencari saudaranya yang hilang secara paksa. Amy Lord menyoroti dampak emosional yang dialami oleh keluarga korban, serta perjuangan mereka untuk memperoleh keadilan. Novel ini memberikan dukungan kepada korban penghilangan paksa dan mengeksplorasi tema keadilan dan kebenaran.

Dalam konteks ini, sastra tidak hanya berfungsi sebagai cerita yang menghibur, tetapi juga sebagai alat yang kuat dalam membawa kesadaran dan perubahan sosial. Melalui penggambaran yang mendalam, sastra mampu menggugah emosi, mempertanyakan otoritas, dan mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang praktik penghilangan paksa. Sastra memberikan suara kepada korban, mengingatkan kita tentang pentingnya menghormati dan melindungi hak asasi manusia, serta mengajak kita untuk berperan aktif dalam memperjuangkan keadilan, menuntut pertanggungjawaban, memastikan bahwa pelaku penghilangan paksa tidak luput dari hukuman yang pantas dan dapat memerangi ketidakadilan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun