Mohon tunggu...
Sumrahadi Sumrahadi
Sumrahadi Sumrahadi Mohon Tunggu... -

Sejak kecil sampai dengan SMP sy tinggal di Kebumen, lalu meneruskan pendidikan SLTA di Yogyakarta dan perguruan tinggi di Jakarta. Masuk PNS di Ditjen Transmigrasi Tahun 1977. Aktifitas saya sekarang adalah sebagai penulis, praktisi pemberdayaan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahar Politik

14 Maret 2016   15:16 Diperbarui: 14 Maret 2016   15:36 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Akhir-akhir ini, media ramai ramai memberitakan deparpolisasi yang dipicu oleh pernyataan Gubernur DKI Basuki Cahaya Purnama (Ahok) bahwa mencalonkan diri sebagai gubernur DKI periode mendatang melalui jalur atau kendaraan partai politik memerlukan biaya yang cukup besar mencapai lebih dari 100 milyar rupiah sebagai mahar politik yang diperlukan untuk menggerakkan mesin partai sampai ke pimpinan cabang dan ranting. Oleh karena Ahok akan mencalonkan diri melalui jalur independen (jaringan teman ahok) meskipun dengan resiko yang cukup besar. Hal ini membuat elit politik terutama PDIP meradang, sehingga memicu pimpinan PDIP berkomentar bahwa deparpolisasi berbahaya dan akan membuat bangkrut partai politik.

Dalam sistem perpolitikan demokrasi di Indonesia, mahar politik faktanya memang ada dan terjadi dimana-mana. Seluruh partai melakukan hal itu karena memang partai memerlukan dana menggerakkan mesin partai, untuk kampanye, membuat atribut dan lain sebagainya, meskipun cukup sulit untuk dibuktikan. Partai politik secara sembunyi-sembunyi mengutip uang dari kader atau calon kepala daerah yang akan maju pilkada.

Sistem demokrasi seperti sekarang ini ternyata banyak kelemahannya dan yang paling menonjol adalah tumbuh suburnya perilaku korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Karena telah mengeluarkan dana yang cukup besar untuk menjadi kepala daerah, maka secara manusiawi (apalagi manusia yang lemah imannya) pasti akan berusaha untuk mengembalikan modal politiknya meskipun dengan cara-cara yang tidak benar yaitu korupsi.

Sistem demokrasi multi partai seperti sekarang ini juga pernah terjadi pada era presiden Soekarno dulu. Namun yang terjadi pada saat itu bukanlah mahar politik dan korupsi yang dominan tetapi pertikaian antar partai politik yang menyebabkan silih bergantinya kabinet dalam waktu singkat yang sangat mengganggu jalannya pemerintahan. Kondisi itu memicu kemarahan presiden Soekarno sehingga terlontar kata kata beliau dalam berbagai even kenegaraan yang intinya keinginan untuk mengubur partai politik sedalam-dalamnya. Berbeda dengan Soekarno sebagai bapaknya, sekarang Megawati sebagai anaknya justru meradang dengan deparpolisasi yang akan mengubur partai politik.

Sebagai rakyat yang awam dengan politik, yang saya tahu  politik itu banyak negatifnya antara lain menghalalkan segala cara, tidak konsisten (pagi delai sore tempe) pokoknya mana yang paling menguntungkan), tidak peduli teman atau lawan (pagi kawan sore lawan), dan sebagainya. Itulah yang saya tahu tentang politik dan partai politik, mungkin banyak juga positifnya tetapi saya sama sekali tidak melihat itu. Mungkin itu disebabkan oleh para pelaku politik dan politisi yang sekarang berkuasa di DPR, lembaga hukum, maupun di pemerintahan banyak sekali yang terlibat perbuatan korupsi yang menggerogoti uang rakyat alias tidak amanah.

Sebagai akhir dari tulisan ini saya berpendapat bahwa sistem politik di Indonesia perlu dirombak total. Kalaupun tidak melakukan pembubaran partai politik, dapat dilakukan dengan pembatasan jumlah partai politik (penyederhanaan) sehingga akan mengurangi dan kalau bisa menghilangkan mahar politik yang menimbulkan kegaduhan politik dan korupsi besar-besaran. Jika mahar politik terus dilakukan oleh partai politik, maka partai politik baik langsung maupun tidak langsung berperan besar dan berkembangnya tindakan korupsi di Indonesia. Jika ini dibiarkan terus maka tunggu saja kebangkrutan dan kehancuran bangsa Indonesia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun