Mohon tunggu...
Kaka Suminta
Kaka Suminta Mohon Tunggu... -

freelancer (Journalist)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebelas Tahun UU Pers, Sebuah Renungan

23 September 2010   10:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semangat kemerdekaan pers yang mengiringi reformasi dan tumbangnya rejim otoriter Orde Baru jelas tersurat dan tersirat dalam pembukaan dan isi Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers, yang dikeluarkan di masa pemerintahan transisi BJ Habibie. Jiwa dan isi undang-undang ini sangat sederhana dan lebih mengedepankan semangat jaman yang mengiringinya. Oleh karenya banyak hal yang tidak terpikirkan secara utuh atau setidaknya dengan sengaja dilewatkan karena yang dibutuhkan saat itu adalah semangat kejiwaan yang berkembang saat itu, yakni kebebasan pers sebagai antitesa atas kondisi pers di jaman Orba yang sangat dibatasi.

Sebelas tahun sudah kita menggunakan undang-undang ini sebagai landasan hukum pers, baik sebagai profesi maupun lembaga yang bergerak di dunia pers atau media. Pro kontra bahkan polemik hukumpun mengiringi suasa euporia kemerdekaan pers yang merasakan iklim kebebasan yang terjadi setelah lama berada dalam kungkungan. Hingar bingar sambutan atas hadirnya kemerdekaan pers tidak lama menjadi pesta pembukan alam demokrasi yang diiringi desentralisasi. Kecurigaan berbagai kalangan, terutama yang merasa bahwa kemerdekaan pers akan menjadi cermin yang manakutkan untuk wajah buruk aparatus pemerintahan, mendapatkan legitimasinya, karena penumpang gelap kemerdekaan pers berjejal di hampir semua lorong kantor pemerintahan sampai ke ruang gelap kehidupan pribadi pejabat.

Para penumpang gelap kemerdekaan pers sebenarnya adalah metamorfosa mereka yang di masa orba menjadi kepanjangan pemerintah untuk melegitimasi kebijakan-kebijakanya, mereka bermetomorfosa menjadi seolah-olah orang pers dan lembaga non pemerintah. Tanpa karya jurnalistik dan kontribusi terhadap perbaikan penyelenggaraan negara mereka merecoki keberadaan pers di pusat dan daerah, untuk beberapa pejabat keberadaan mereka menjadi penting, untuk dijadikan bumper atas penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang di satu sisi sekaligus sebagai pembenaran atas tudingan mereka bahwa kemerdekaan pers sudah kebablasan, padahal insan pers yang benar-benar mengabdi kepada kepentingan publik tetap bekerja dalam koridor kode etik jurnalis, sebagaimana tercantum dalam UU. Nomor 40 tahun 1999.

Kondisi seperti di atas tentunya bukan sesuatu yang asing dalam setiap perubahan era politik di sebuah negara, apalagi untuk negara berkembang. Tetapi efek dari kondisi tersebut menimbulkan kondisi yang sangat memprihatinkan bagi kehidupan pers di tanah air, banyak informasi yang penting bagi publik tidak terungkap ke permukaan, karena tertutup oleh pola kerja mereka yang bekerja seolah-olah sebagai fungsi pers, bahkan lebih sering mereka menutupi informasi tersebut, bahkan dengan melakukan negosiasi dan bila perlu intimidasi untuk menutupi berbagai penyimpangan yang dilakukan pejabat.

Banyaknya tudingan miring kepada pers akibat kondisi tersebut dan menimbulkan kondisi yang tidak nyaman buat keberadaan pers, penggunaan pasal - pasal kriminal dalam KUHP atas kerja dan karya pers seringkali dialamatkan kepada mereka yang sungguh-sungguh mendedikasikan dirinya untuk karya jurnalistik. Bahkan lebih daripada itu tudingan miring ini pula yang sering menjadi alasan pembenar penggunaan kekerasan yang dilakukan kepada pers, beberapa kasus kekerasan, mulai dari penganiayaan sampai penghilangan nyawa wartawan sudah sering kita dengar, kondisi ini juga menjadi peringatan bagi pers untuk selalu berhati-hati bahkan bisa menjadikan ketakutan untuk melakukan kerja jurnalistik secara benar.

Di internal tubuh pers sendiri kita mendapati kondisi yang tidak kalah memprihatikan, katakanlah masalah penghargaan dan kesejahteraan bagi insan pers, sampai saat ini belum dapat memberikan jaminan bagi pekerja media untuk dapat hidup layak sebagai profesional di dunia pers. Tumbuhnya media cetak dan elektronik di berbagai kota dan daerah tidak dibarengi dengan kelayakan penghargaan dan kesejahteraan yang diterima palaku media, bahkan muncul ironi bahwa pres yang sering menyuarakan kepentingan upah minimum bagi buruh, tak mampu memperjuangkan upah yang layak bagi dirinya sendiri, sudah menjadi rahasia umum bahwa uang honor atau kesejahteraan wartawan muda di daerah lebih kecil dari standar upah minimum yang berlaku di daerahnya, padahal sebagai wartawan, diperlukan kemampuan dan biaya operasional yang jauh leboih tinggi dari buruh pabrik. Kita tentu saja tak perlu membicarakan media yang tak menggaji wartawanya, bahkan membebankan wartawan juga sebagai penjual koran atau tabloid tempatnya bekerja.

Jika dilihat lebih jauh kita juga mendapati bahwa beberapa perusahaan media besar cetak dan elektronik tidak dibangun dengan semangat pers sebagaimana amanat undang-undang tentang pers, fungsi bisnis media lebih besar ketimbang sebagai fungsi media sebagai salah satu pilar demokrasi, bahkan lebih parah lagi jika kita saksikan bahwa media juga menjadi corong politik pemiliknya, sehingga ciri-ciri pers yang dianggap sakral, seperti profesionalisme, independensi dan kredibelitas pers jauh tertinggal di belakang terdesak oleh kepentingan bisnis dan kepentingan politik pemilik dan pengelolanya, dalam keadaan demikian, maka jang berharap pers bisa melakukan fungsinya sebagai anjing penjaga kepentingan publik.

Banyak pihak yang memeprmasalahkan Undang-undang pers sebagai penyebab dari semua permasalahn tersebut, sehingga muncul desakan untuk melakukan perubahan atau revisi atas undang-undang tersebut, desakan itu bukan hanya datang dari mereka yang alergi dengan kemerdekaan pers sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang, tetapi juga dari insan pers yang menilai bahwa undang-undang ini dibuat sangat terburu-buru, sehingga banyak hal yang tak diatur dengan memadai dalam udang-undang tadi. Padahal masalah sebenarnya bukan pada undang-undangnya, yang memang dirancang cukup sederhana dan terbuka, tetapi dengan semangat yang jelas untuk menunjang kemerdekaan pers.

Desakan untuk merevisi undang-undang tentang pers harus diwaspadai, karena pengalaman mengatakan bahwa bandul pendulum untuk mendukung kemerdekaan pers saat ini telah berpaling kepada upaya pengendalian pers, karena konsolidasi pihak-pihak yang alergi terhadap kemerdekaan pers telah menemukan titik temunya, baik di parleman, pemerintahan maupun pelaku bisnis. Beberapa ranjau untuk kebebasan pers telah disebar dalam berbagai aturan, misalnya dalam undang-undang tentang ITE, yang bisa menjerat karya jurnalistik bila melanggar peraturan dalam bidang ITE, dengan pasal-pasal yang tidak sesuai dengan semangat kemerdekaan pers.

Di samping itu, kita juga perlu waspada dengan proses legislasi pembentukan undang-undang yang selama ini jauh dari keterlibatan publik, sehingga dalam pembentukan beberapa undang-undang muatan-muatan kepentingan tertentu masuk menjadi nafas undang undang tersebut, misalnyan yang terjadi pada UU Migas, UU sumberdaya alam, nuansa kepentingan bisnis menjadi sangat mewarnai undang-dang tadi, sehingga berpotensi menegasi kepentingan publik atas berebagai sumberdaya yang dimiliki. Kekhawatiran seperti ini wajar dialamatkan kepada upaya revisi UU pers, sehingga perlu kehati-hatian kita semua sebelum memutuskan untuk merubahnya.

Dari uraian di atas, maka yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mengahdirkan kemerdekaan pers sebagaimana yang diamanatkan dalam semangat UU Pers, berabagai upaya terutama dari pemerintah harus dilakukan untuk menemparkan kemerdekaan pers sebagai lampu penerang bagi perbaikan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, sebagaimana alasan pembentukan undang-undang ini. Sementara itu upaya semua pihak terutama dari para pelaku pers, baik wartawan amupun pemilik dan pengelola media, keikhlasan untuk menjadikan pers sebagai lembaga publik yang harus mengabdi kepada kepentingan umum harus dikepadepankan dibandingkan kepentingan lainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun