Menjadi guru harus bisa memainkan peran di depan murid. Seburuk apapun kondisi pikiran, perasaan, maupun fisik hari itu, guru harus bisa tersenyum dan menampakkan bahagia. Itulah kalimat-kalimat yang selalu terdengar, meluncur dari sebagian guru. Tidak semua, tapi lebih banyak menyampaikan hal tersebut ketika mereka dimintai pendapat, 'Seperti apa peran guru di depan kelas'.
Hal tersebut menjadi pertanyaan besar yang harus ditelurusi. Juga menemu jawab, mengapa demikian. Apakah guru seorang aktor yang harus selalu memainkan peran? Apakah guru harus menampakkan wajah 'seolah-olah bahagia' di depan muridnya. Ataukah benar, guru mengamoflase perasaan, sikap, dan wajahnya di depan murid-muridnya?
Mengapa guru tidak benar-benar bahagia menjalani hari-harinya. Mengapa guru tidak tersenyum tulus dari hati yang paling dalam saat berada di depan kelas? Apakah menjadi suatu kenaifan jika guru benar-benar bahagia setiap saat?
Stressing Penyebab Kepura-puraan
Beberapa faktor yang memungkinkan guru tidak bahagia adalah stress. Tidak dipungkiri, stress merupakan bagian alami dari seseorang. Suatu reaksi baik fisik maupun psikis yang ditimbulkan dari perubahan lingkungan yang terjadi pada seseorang. Akan menjadi suatu yang biasa jika reaksi tersebut biasa dan dirasa tidak berat dirasakan. Namun jika reaksi yang ditimbulkan mengakibatkan beban berat bagi seseorang akan mengganggu kesehatan orang tersebut.
Sebenarnya kondisi stress yang mungkin dialami oleh seorang guru jamak terjadi; digeneralisasikan untuk saat ini. Padahal sesungguhnya masih banyak guru yang bahagia hidupnya. Hingga mengakibatkan guru sekadar pura-pura bahagia di depan muridnya. Tidak menampakkan bahagia yang sebenarnya.
- Tidak Menekuni Profesi Secara Utuh
Banyak guru yang mengatakan, "saya terjerumus di jalan yang benar." Kalimat seperti ini cukup menggelitik. Terjerumus tapi pada jalan yang benar. Di mana dimungkinkan, seseorang yang terjun di dunia Pendidikan sebagai guru bukan atas dasar keinginan sendiri. Tidak sengaja menjadi guru, atau karena kondisi 'turunan' yang diwariskan oleh orang tuanya.Â
Atau justru menjadi pilihan pekerjaan terakhir di antara pekerjaan yang diimpikan.
Kondisi yang demikian bisa menyebabkan seorang guru mengalami stress. Sebab guru tidak menjadi dirinya sendiri namun menjadi orang lain. Sehingga guru 'pura-pura bahagia' untuk membuat murid-muridnya terlihat bahagia.
- Pengembangan Profesi Tidak Relevan
Pada saat guru kurang utuh dalam menjalani profesi, sering terjebak pada pengembangan diri pada hal selain mengajar. Pada saat sudah merasa nyaman dengan pengembangan diri lainnya membuat mengajar menjadi hal yang kurang menyenangkan. Itulah sebabnya, beberapa guru menjalani aktivitas mengajar menjadi pekerjaan kedua bukan lagi pekerjaan utama.
- Kurangnya Dukungan Rekan Kerja
Tuntutan pekerjaan guru saat ini dirasa berat oleh sebagian guru. Baik itu pekerjaan administratif maupun tuntutan kurikulum yang dirasa membebani guru. Membuat guru menjalani pekerjaan sebagai 'budak korporat'; meminjam istilah Gen Z. Terpaksa menjalani pekerjaan yang memberatkan. Rela menghabiskan waktu melebihi jam kerja demi memenuhi tuntutan pekerjaan.Â
Mengorbankan kepentingan dan kebebasan pribadi. Â Untuk mendapatkan performa terbaik. Namun hal tersebut mengakibatkan seseorang menjadi egois, mementingkan kepentingan sendiri. Tak memedulikan sekitar, apalagi rekan kerja. Di mana sebenarnya mereka butuh dukungan atas tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan.Â
Hal tersebut akhirnya memicu stressing seseorang dalam menjalani pekerjaan sebagai seorang guru. Seharusnya bisa membagi beban serta cerita mengajar dan anak didik, namun tak tersisa waktu untuk membicarakan hal tersebut.
- Kurikulum Berubah-ubah
Sering kali kita mendengar, ganti Menteri= ganti kurikulum. Hal tersebut bisa jadi benar bisa jadi tidak. Mengapa demikian, sebab hal tersebut tergantung bagaimana guru menyikapi perubahan. Jika guru tidak reaktif atas suatu perubahan, namun ditelaah dengan baik, suatu perubahan akan dijalani dengan baik. Bisa jadi, perubahan itu sekadar ganti istilah, tidak ganti kurikulum secara esensi.Â
Sebagai contoh, saat ini kurikulum yang dijalankan adalah Kurikulum Merdeka. Jika ditelaah dengan baik, kurikulum itu hampir sama dengan kurikulum terdahulu, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Di mana pembelajaran berpusat pada murid. Sama prosesnya, sekadar beda istilah atau nama kurikulum.
Pun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat jika tidak disikapi dengan bijak akan menyebabkan stressing bagi guru. Akan terjadi kepanikan atau susah move on dari kurikulum sebelumnya. Selain itu reaktif akan menyebabkan kepanikan sehingga tidak bisa menyesuaikan perkembangan yang ada.
Masih ditambah pula dengan pressure struktural dari atasan, di mana semakin ke bawah semakin besar daya tekan. Sehingga guru mengalami kepanikan luar biasa. Konsentrasi pada pemenuhan kurikulum dan adminsitrasi, lupa pada esensi guru yang harus mengajar murid sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat mereka.
Guru, Mengajarlah dengan Bahagia
Sudah seharusnya guru mulai dari dirinya sendiri untuk bahagia. Menjalani profesinya dengan baik guna memenuhi kebutuhan batin guru itu sendiri. Guru harus Merdeka sesungguhnya sebagai manusia. Terlebih guna memenuhi kebutuhan belajar muridnya.Â
Mengapa harus dimulai dari diri guru terlebih dahulu. Sebab, guru harus menyadari bahwa kunci kebahagiaan yang sesungguhnya dimulai dari guru, setelah itu siswa akan merasa bahagia.
Guru yang telah selesai dengan dunianya, maka dia akan bahagia lahir batin. Secara psikologis ia akan memiliki afirmasi positif. Di mana seseorang memiliki emosi positif berupa kepuasaan hidup, pikiran, dan perasaan positif akan kehidupan yang dijalaninya. Lalu bagaimana menciptakan hal tersebut?
- Tulus dan Ikhlas
Ilmu Ikhlas adalah pelajaran yang tak pernah usai. Sebab pelajarannya sepanjang hidup. Namun untuk mencipta bahagia, guru harus Ikhlas dalam menjalani profesinya dalam mendidik murid-murid. Mendidik bukan sekadar mengajar.Â
Bukan sekadar transfer ilmu, lalu sudah. Namun bagaimana mendidik murid menjadi pribadi dengan akhlak mulia. Untuk menghasilkan murid yang semacam itu diperlukan Ikhlas yang tiada batas. Sabar tiada akhir. Sebab hasil didikan itu tidak akan muncul satu atau dua tahun ke depan namun bisa jadi lima atau sepuluh tahun yang akan datang.
Melalui Ikhlas lahir batin inilah, seorang guru akan menemukan bahagia lahir batin pula. Tidak lagi mencipta senyum palsu untuk anak didiknya, namun senyum tulus yang benar-benar ingin ditebar bagi mereka seperti anak sendiri.
- Kasih Sayang dan Cinta
Kata yang ringan untuk dikatakan namun berat untuk diterapkan dalam kehidupan. Bagaimana menerapkan kasih sayang penuh kecintaan pada murid, bukanlah tugas yang mudah. Jika tidak dilandasi keikhlasan, kasih sayang dan cinta tidak akan menguar begitu saja.Â
Sebab kasih sayang dan cinta bukan dicipta namun dijalani dan dirasakan. Murid-murid akan merasakan betapa gurunya menyayangi dan mencintai mereka saat hal tersebut tulus berasal dari hati terdalam seorang guru. Jika hal tersebut dilakukan dari hati, tidak hanya murid yang akan bahagia, gurupun akan merasakan kebahagiaan.
 Sebab apa yang dilakukan tanpa beban. Bukan transaksi jual beli, di mana guru memberikan kasih sayang dan cinta, maka sudah seharusnya murid memerlakukan hal yang sama. Bukan. Namun apa yang diberikan Ikhlas tanpa mengharap balasan apapun.
Tentu sikap dan perilaku di atas tak semudah membalikkan tangan dalam menjalaninya. Namun dengan kesadaran diri, bahwa tugas guru adalah mendidik bukan sekadar mengajar akan ringan dilaksanakan. Kebahagiaan diri sendiri terpenting. Merdeka untuk diri sendiri dengan menjalani kehidupan penuh keikhlasan adalah harga mati.Â
Senyum yang diberikan bukan lagi senyum palsu. Kasih sayang dan cinta yang diberikan bukan lagi transaksional, namun betul Ikhlas yang dilakukandan diberikan dengant tulus. Untuk itulah, sudah saatnya guru tak lagi pura-pura bahagia. Namun menciptakan bahagianya sendiri untuk kebahagiaan murid selayaknya memberikan kasih sayang dan cinta kepada anak kandungnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H