Orang tua yang memiliki anak usia sekolah pasti tak melewatkan bulan Juli. Menyiapkan anak untuk masuk sekolah pada ajaran baru. Baik itu masuk sekolah pada jenjang baru maupun pada fase di atasnya. Tak pelak, persiapan seragam hingga peralatan tulis menjadi hal utama yang disediakan untuk anak-anak. Terkadang, anaknya santai saja saat akan memasuki tahun ajaran baru, orang tuanya yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Itulah fenomena yang terjadi saat bulan-bulan masuk sekolah.
Di sisi lain, orang tua hanya bisa marah dan memaki-maki anaknya yang tak mau menyiapkan keperluan pribadi mereka. Anak lebih banyak menggantungkan kebutuhan kepada orang tua mereka. Buku yang tersampul rapi, seragam yang sudah terlipat selesai di seterika, juga sepatu bersih lengkap dengan kaos kakinya. Orang tua akan merasa aman pikirannya ketika persiapan itu sudah dilakukan jauh hari, maksimal sehari sebelumnya sudah siap tanpa melibatkan anak.
Tanpa disadari, apa yang dilakukan oleh orang tua membentuk karakter dan pribadi anak. Bagaimana anak memiliki karakter suka bergantung pada orang lain. Kurang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Tidak terbiasa memutuskan sesuatu yang harusnya dia pilih. Terlebih lagi dia tak memiliki inisiatif untuk menentukan hak dan kewajibannya. Dia hanya tau, jika ada keperluan yang kurang, bertanya pada Ibu atau bapaknya. Jika diminta untuk menentukan pilihan, dia akan berpikir lama tidak segera menentukannya. Fenomena anak ini sebenarnya pengaruh sikap orang tua sendiri atau fenomena menyalahkan generasi yang marak disuarakan saat ini. Yang mana menyebut Generasi Z lebih banyak dipengaruhi oleh pandemi yang mendera. Dianggap sebagai generasi strawberry yang cantik di luar namun lembek di dalamnya.
Kesalahan Sikap Orang Tua
Tidak salah jika orang tua menginginkan anaknya menjadi murid yang baik dan cerdas di sekolah. Untuk mencapai itu, orang tua banyak menyiapkan segala kebutuhan anak. Alasan yang digunakan orang tua, dia tak mau ribet. Tidak mau ada drama pagi hari, anak yang sibuk mencari kaos kaki yang hilang atau bahan tugasnya belum selesai.
Jika kita menilik lebih dalam, dimungkinkan generasi yang lembek itu dimulai dari orang tuanya. Sebagai contoh, anak hanya diberi kesempatan untuk menurut. Anak tidak diberi keleluasaan untuk menyiapkan sendiri. Jangankan menyiapkan, memiliki ide saja tidak punya ruang untuk mengemukakan. Sehingga mereka menjadi anak yang pintar secara akademik tapi karakternya kurang terbangun dalam kemandirian dan tanggung jawab.
Mau atau tidak, orang tua tentu harus mulai introspeksi diri. Benarkah anak yang kurang mandiri karena anak tidak mau berusaha? Tidakkah kita sebagai orang tua mengakui kesalahan bahwa anak yang tidak mandiri disebabkan karena orang tua sudah membiasakan membantunya sejak dini? Tidak memberi ruang kepada mereka untuk melakukan segala sesuatu atas idenya sendiri atau inisiatif yang terbangun secara pribadi.
Tidak ada hasil yang cepat terlihat tanpa proses yang panjang. Hal itulah yang perlu disadari oleh orang tua ketika menginginkan anaknya memiliki karakter yang baik. Jika orang tua dulu menyalahkan kodok ketika anaknya jatuh, harus diubah. Bagaimana menumbuhkan anak yang kritis dengan mendiskusikan dengan mereka. Mengapa dia jatuh dan memberi kesempatan mereka untuk menyampaikan ide kritisnya.
Memberi kesempatan kepada mereka untuk membiasakan diri melakukan banyak hal sendiri. Bisa dimulai dari balita yang mengenakan celana sendiri, mengancingkan baju sendiri. Walau lama, orang tua harus cukup bersabar karena itulah proses untuk mencapai karakter kemandirian.
Anak diberikan ruang untuk menentuk pilihannya. Misalnya buku yang ingin digunakan, pensil warna yang dipilih, tas yang sesuai dengan keinginannya. Walau cukup alot proses memilih, orang tua harus bersabar menunggu mereka berlatih.