Sewaktu kecil, saat puasanya lancar, tidak ada yang bolong, selalu diberikan hadiah. Baik berupa uang maupun baju, sepatu, atau sandal. Hal itu sebagai bentuk motivasi orang tua kepada anaknya yang masih kecil untuk berpuasa. Selain itu sebagai bentuk penghargaan atas usaha keras yang dilakukan anak dalam menjalankan ibadah puasa selama bulan ramadhan.
Pemberian hadiah tersebut baru sebatas hadiah duniawi. Karena tataran anak kecil baru sampai di situ tahapannya. Namun bagaimana dengan orang yang sudah dewasa? Apakah hadiah berupa barang merupakan satu hal yang dinantikan saat lebaran tiba?
Masih mengharap baju baru saat lebaran. Mukena yang masih 'mambu china', istilah barang baru bagi orang Jawa. Atau hadiah THR yang besar di akhir bulan ramadhan, sehingga bisa digunakan untuk membeli segala macam kebutuhan. Kemudian mengharap pujian atas segala ibadah yang dilakukan. Juga segala sesuatu yang dikenakan dan disuguhkan kepada tamu sekadar mengharap pujian dan ucapan terima kasih.
Sebagai ummat muslim yang sudah dewasa dengan tataran keimanan lebih tinggi dibanding anak-anak tentu memiliki mindset sendiri mengenai hadiah lebaran. Bukan lagi berharap hadiah berupa barang, namun hadiah indah yaitu kadar keislaman dan keimanan yang lebih baik dan lebih tinggi.
Takwa Hadiah Lebaran Terindah
Hadiah lebaran selalu diidentikkan dengan barang yang indah pemberian orang lain kepada kita. Hadiah tersebut diberikan saat lebaran tiba. Tentu sangat senang sekali jika hadiah tersebut diberikan oleh orang terkasih kita. Misalnya dari orang tua kepada anaknya. Dari cucu kepada nenek atau kakeknya. Dari anak yang merantau kepada orang tuanya. Dari sahabat kepada kita, dan lain sebagainya. Kebetulan, sesudah dewasa, saya tak pernah mendapat hadiah lebaran itu.
Bagaimana jika hadiah itu diberikan oleh yang maha kasih, yaitu Allah SWT. Allah yang mencintai dan menyayangi kita. Sungguh akan sangat bahagia bukan? Hadiahnya adalah ketakwaan. Hadiah yang dinantikan, termasuk saya adalah hadiah yang dijanjikan oleh Allah SWT, yaitu "la'alakum tattakuun" pada saat selesai menjalankan ibadah ramadhan.
Predikat takwa ini adalah hadiah terindah yang diberikan kepada kita saat mampu melewati bulan ramadhan. Lulus dengan segala godaan selama menjalankan ibadah puasa. Kesannya klise, tapi itulah sebenarnya. Tujuan ibadah ramadhan adalah untuk mendapat hadiah berupa ketakwaan. Bentuknya tak nyata, pun tak diberikan dalam bentuk barang atau terlihat oleh mata. Diberikan kepada ummat muslim yang amanah, mampu menjaga ketakwaan itu sendiri.
Ketakwaan itu sendiri merupakan tanda keberhasilan dan kemenangan di dunia dan akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapatkan kemenangan. Takwa memiliki makna yang sangat mendalam. Untuk memahami takwa itu sendiri dapat dimaknai dengan menjabarkannya berdasar huruf di dalamnya. Jadi, kata takwa dalam bahasa arab memuat tiga huruf Ta, Qof, dan Wau. Ta berarti Tawadhu', Qo berarti Qonaah, dan Wau berarti Wara'.
Tawadhu'Â adalah rendah hati terhadap sesama/orang yang beriman. Seseorang yang tawadhu selalu menerima kebenaran dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Tidak memiliki sifat sombong kepada siapapun, termasuk kepada Allah SWT sebagai penciptanya. Tawadhu' akan semakin sempurna jika seseorang telah menghilangkan kesombongannya. Semakin kecil kesombongannya, semakin tinggi tingkat ketawadhu'annya. Semakin kecil kesombongan dalam diri seseorang, semakin sempurnalah ketawadhu'annya dan begitu juga sebaliknya.
Tawadhu' ini diterangkan dalam Kitab Ihya 'Ulumuddin, Al Ghazali. Ahmad Al Anthaki berkata: "Tawadhu' yang paling bermanfaat adalah yang dapat mengikis kesombongan dari dirimu dan yang dapat memadamkan api (menahan) amarahmu". Yang dimaksud amarah di situ adalah amarah karena ke-pentingan pribadi yang merasa berhak mendapatkan lebih dari apa yang semestinya diperoleh, sehingga membuatnya tertipu & membanggakan diri.