Duh, Gusti. Batin saya. Tapi masih ingat takut, saya lari lagi. Sudah tidak peduli dengan sandal, ataupun mukena dan sajadah yang jatuh. Saya bangun masih sambil teriak-teriak memanggil Bapak.
Bapak saya baru keluar rumah setelah saya hampir mendekati rumah. Saya langsung masuk rumah, ndlosor terduduk. Bapak sama Ibu saya malah cengar-cengir setelah saya ceritakan kalau saya takut bayangan hitam yang sebenarnya hanya ada dalam bayangan. Dalam angan-angan tak muncul nyata.
Akhirnya, malam-malam saya harus mandi. Mukena, sajadah, sandal yang tertinggal baru diambil keesokan harinya. Akhirnya setiap berangkat ke masjid kami diantar Bapak sampai jembatan kayu kecil, di sana sudah agak terang.
Masih jelas dalam ingatan saya, dulu jalan gelap tersebut kira-kira 100 meter, berada di pinggir pematang ladang. Ada banyak pohon jati tinggi dengan daunnya yang rimbun. Juga terdapat pohon Asem yang tingginya 20 meter dengan diameter cukup besar. Jika dipeluk lengan orang dewasa tak cukup. Daunnya juga rimbun, menambah suasana tambah serem. Tapi karena tekad kami ke masjid sangat besar, rintangan itu setiap malam kami lewati.
'Dolanan Long Bumbung'
Jika saya ingat-ingat, ternyata teman saya waktu kecil lebih banyak teman laki-laki daripada perempuan. Teman perempuan biasanya teman sekolah. Kebetulan kakak kedua saya laki-laki sering bawa temannya, begitu juga adik laki-laki saya. Tetangga paling dekat juga laki-laki.
'Brrrrrr', slet, duar!