Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Majapahit Berakhir di Pantai Ngobaran

10 April 2018   03:33 Diperbarui: 10 April 2018   04:13 1299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan atau Majakerta (Jawa Timur) berakhir pada pertengahan abad 15. Lemahnya pemerintahan memicu runtuhnya kerajaan. Dibarengi dengan berdirinya kerajaan Islam di pesisir utara Pulau Jawa. Kerajaan Islam tersebut adalah Kesultanan Demak Bintara yang dipimpin oleh Raden Patah (Sultan Jin-bun) putra Prabu Brawijaya V. Pesatnya perkembangan Kesultanan Demak Bintara, mendesak Prabu Brawijaya, yang memerintah waktu itu, bersama salah seorang putranya hidup berpindah-pindah.

Untuk bersembunyi dari kejaran pasukan Kesultanan Demak Bintara, Prabu Brawijaya V berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, hingga berakhir di daerah Gunungkidul. Tepatnya di Pantai di ujung barat yang berbatasan dengan Yogyakarta. Bersama dengan salah seorang putranya, Pangeran Kejawan (Bondan Kejawan), Prabu Brawijaya bertahan di desa pinggir pantai tersebut.

Muasal Pantai Ngobaran

Sebelum kedatangan Prabu Brawijawa dan Pangeran Kejawan, pantai ini tak bernama. Hingga suatu hari, Prabu Brawijaya dan Putranya itu terpojok. Diburu dan akhirnya dikepung pasukan dari Kesultanan Demak Bintara. Posisi Prabu Brawijaya yang sudah berada di pinggir laut tak dapat menyelamatkan diri. Daripada menyerah begitu saja lebih baik ia membakar diri.

Pada waktu sebagai pelarian, Prabu Brawijaya pula membawa kedua istrinya, Bondang Surati (istri pertama) dan Dewi Lowati (istri kedua). Kepada kedua istrinya, Prabu Brawijaya bertanya, "Sebesar apa cintamu kepadaku, Surati?"

"Sebesar gunung, Kangmas Prabu."

"Lantas..., sebesar apa cintamu kepadaku, Lohwati?"

"Sebesar kuku hitam, Kangmas Prabu,"

"Apa maknanya?"

"Bila dipotong pagi, kuku akan tumbuh sore hari. Bila dipotong sore, kuku akan tumbuh pagi hari. Cintaku pada Kangmas Prabu abadi. Tak hanya di alam fana, tetapi di alam kelanggengan."

Tanpa berpikir panjang, Prabu Brawijaya menarik tangan Lohwati, menceburkan diri ke dalam kobaran api. Karena Prabu Brawijaya menganggap cinta Lohwati adalah abadi. Tidak sebagaimana cinta Bondang Surati yang akan digerus waktu hingga punah pada akhirnya.

Dari peristiwa cinta sehidup semati antara Prabu Brawijaya dan Lohwati yang berakhir di tengah kobaran api inilah kemudian memunculkan nama Ngobaran. suatu nama yang berasal dari kata "kobar" atau api yang berkobar. Tempat Prabu Brawijaya mengakhiri hidupnya bersama Lohwati dengan cara pati obong. 

Penganut Kejawan

Bicara Kejawan, Pantai Ngobaran digunakan oleh masyarakat penganut kepercayaan sebagai tempat peribadatan. Tempat ini digunakan sebagai tempat peribadatan bagi mereka juga tidak terlepas dari sejarah pelarian Prabu Brawijaya V dan Pangeran Kejawan. Kala itu, Prabu Brawijaya penganut Hindu tidak ingin diIslamkan oleh Raden Patah hingga akhirnya menyingkir sampai Gunungkidul tepatnya di Pantai Ngobaran.

Pangeran Kejawan, sang pangeran sering melakukan semedi di tempat itu. Bermula dari situlah akhirnya muncul kepercayaan masyarakat yang dinamai penganut kepercayaan Kejawan. Hingga sekarang tempat itu digunakan sebagai pemujaan oleh masyarakat Kejawan pada malam Selasa dan Jumat.

Terlepas dari sejarah Prabu Brawijaya V tersebut, Pantai Ngobaran yang sepaket dengan Pantai Ngrenehan dan Nguyahan bisa dikatakan Balinya Jawa. Karena, pantai yang berada di wilayah Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta ada suatu pura yang mirip dengan pura di Tanah Lot di atas batu karang yang berada di bibir pantai. 

Bukan sekadar pemanis pantai, tapi pura ini juga digunakan oleh para penganut agama Hindu untuk beribadah. Di pantai ini pula, Umat Hindu melakukan upacara Galungan pada setiap purnama. Selain itu juga melakukan upacara Melastri yang merupakan rangkaian dari upacara Galungan.

Di tepi pantai Ngobaran juga terdapat tempat ibadah berbentuk stupa. Tempat ibadah ini digunakan oleh umat Buddha untuk melakukan peribadatan. Tempat peribadatan ini tertutup oleh pagar namun bisa dilihat dari luar. Hanya dibuka ketika akan digunakan untuk beribadah.

Stupa di tepi Pantai Ngobaran. Foto: Ummi Azzura
Stupa di tepi Pantai Ngobaran. Foto: Ummi Azzura
Ada juga bangunan masjid yang lain dari biasanya. Masjid yang biasanya menghadap ke timur, masjid ini menghadap ke selatan, ke arah pantai. Namun untuk kiblat tetap ke arah barat seperti biasanya. Pembeda lain, masjid ini dibiarkan tanpa lantai yang dikeraskan dengan ubin. Lantai masjid dari pasir, jika ingin menggunakan harus diberi alas tikar.

Banyak orang mengatakan, Panti Ngobaran ini sebagai lambang kebhinekaan Indonesia. Semua agama dapat beribadah berdampingan di Pantai Ini. (Ummi Azzura Wijana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun