Ketakaburan ini pada akhirnya akan menjadikan seseorang tidak pandai bersyukur. Sombong dengan segala apa yang dimiliki. Seakan segala yang dimiliki adalah milik diri sepenuhnya. Menjadikan orang tidak mau berbagi dengan sesama maupun kepada orang yang tingkat keberadaannya berada di bawahnya. Cinta dunia tanpa berpikir apa yang dimiliki adalah karunia Tuhan dan nantinya akan dipertanggung jawabkan.
Diibaratkan dalam lagu ini, 'wakul glimpang segane dadi salatar'. Apa yang dimiliki jika tidak disyukuri akan tidak bermanfaat. Hanya seperti nasi yang di bakul tumpah di halaman tanpa faedah yang bisa diambil.
Makna Filosofi Ditinjau dari Ilmu Sosial
Gundhul-gundhul Pacul lagu Nusantara ciptaan R.C. Hardjosubroto, guru, ahli seni tembang dan seni karawitan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jika dimaknai dari sudut agama pertama sekali lagu ini menyebut 'gundhul' atau kepala. Kepala ini memiliki 4 indra yaitu hidung, mata, telinga, dan mulut. Artinya kepala adalah pemimpin dari bagian tubuh. Sebagai pemimpin memiliki yang empat, yaitu telinga untuk mendengar, hidung untuk memahami rakyat, mata untuk melihat keberadaan rakyat, dan mulut untuk memberikan wejangan kepada rakyatnya.
Nah, 'gembelengan' di sini maksudnya adalah kesombongan. Kesombongan itu akan muncul saat yang empat di dalam kepala tadi hilang. Jadi 4 sifat yang seharusnya dimiliki pemimpin sudah tidak ada lagi. Mengedepankan jabatan yang disandang yang seharusnya menjadi amanah.
Kemudian 'nyunggi wakul' diibaratkan seorang pemimpin itu menjunjung tinggi amanah rakyatnya. Diangkat tinggi-tinggi. Kalau amanah ini tidak dijalankan dengan baik maka amanah ini akan 'glimpang', tumpah ke pelataran.
Tumpahnya 'sega dadi salatar' yaitu amanah rakyat tidak bisa dipegang oleh pemimpin. Maka saat suatu daerah atau negara yang pemimpinnya tak memegang amanah akhirnya nilai kemaslahatannya tidak ada. Hingga banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan amanah yang berupa tangung jawab. Maraknya korupsi uang negara dan uang rakyat. Seperti yang saat ini sering kita lihat banyak pemimpin daerah yang korupsi tak memegang amanah yang diberikan oleh rakyatnya.
Setiap manusia adalah pempimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban. Jadi sudah sewajarnya menjaga amanah yang diberikan. Baik itu sebagai pemimpin diri sendiri maupun pemimpin wilayahnya, daerah maupun negara. (Ummi Azzura Wijana)
Daftar bacaan:
Achmad, Sri Wintala. 2018. Etika Jawa. Pedoman Luhur dan Prinsip Hidup Orang Jawa. Yogyakarta. Araska Publisher.