Setiap tanggal 8 Maret dunia memeringati Hari Perempuan Sedunia. Hal ini dimulai sejak diadakannya International Woman's Conference pada tahun 1910 di New York. Sejak saat itulah ditetapkan sebagai International Women's Day. Banyak perempuan yang menjadikan hari ini sebagai hari libur, meskipun tak semua. Termasuk saya, tetap harus beraktivitas seperti biasanya.
Meskipun dunia telah menetapkan hari perempuan sedunia, sampai saat ini kepentingan perempuan belum dapat terakomodir dengan baik. Untuk urusan "dalam negeri" saja masih didominasi oleh perempuan. Masih menjadi pemandangan yang jamak dilihat, saat pagi hari menjelang aktivitas harian, seorang perempuan terutama ibu akan lebih beraktivitas menyiapkan segala keperluan keluarganya. Keperluan suami, anaknya, dan keperluan dirinya sendiri. Mulai dari mencuci, membereskan rumah, memasak, dan menyiapkan bekal anak dan suaminya.
Di sisi lain anak dipersilakan menyiapkan diri sendiri karena dianggap belum cukup dewasa untuk menyiapkan keperluan keluarga. Orang tua memberi kebebasan dengan anggapan tanggung jawab anak hanya belajar supaya pintar dan sukses di kelak kemudian hari. Laki-laki (baca: suami) pun dianggap lebih tinggi posisi di dalam rumah tangga sebagai kepala rumah tangga. Tugasnya mencari nafkah dan menghidupi keluarga.
Namun masih banyak perempuan yang memegang kendali keluarga dalam segala hal pekerjaan rumah tangga namun tetap bekerja. Sehingga seorang ibu (istri) memiliki beban ganda (double burden) yang harus dipikul. Hal ini menjadi tradisi yang turun menurun sehingga dinikmati begitu saja. Namun jika disadari oleh semua anggota keluarga, beban ganda yang dimiliki seorang ibu ini bisa dibagi pada seluruh anggota keluarga. Untuk itu butuh penyadaran akan tugas keluarga adalah tanggung jawab bersama.
Suami tak harus jaga image untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang 'dianggap' sebagai pekerjaan perempuan. Seperti mencuci baju, menyapu, memasak, dan mencuci piring. Bukankah tidak akan turun derajat dengan mengerjakan pekerjaan semacam itu? Nah, sekali lagi, disitulah butuh pengertian dan kerjasama antara suami dan istri.
Anak-anak juga perlu diberi kesadaran akan tugas masing-masing tanpa membedakan gender. Misalnya seorang anak laki-laki tak harus selalu bermain layang-layang dan sepeda. Anak laki-laki bisa saja melakukan aktivitas menanam bunga, membantu ibu memasak, menyapu, dan lain sebagainya. Tak beda dengan anak perempuan, dia bisa mengerjakan pekerjaan apa saja termasuk pekerjaan yang 'dianggap' sebagai pekerjaan laki-laki. Misalnya mencuci sepeda dan sepeda motor, bermain bola, dsb.
Kenapa hal ini perlu dilakukan. Banyak hal yang perlu diperhatikan. Saat ini banyak laki-laki yang tak siap menghadapi pekerjaan rumah atau kehidupannya sendiri secara umum ketika ditinggal perempuan. Coba kita lihat rumah yang ditinggal ibunya satu atau dua hari saja, pasti akan berantakan dari segi pengaturan rumah dan pola makan. Tidak memasak dan hanya makan yang instan bahkan makan di luar. Hal ini terjadi karena kekurang siapan anggota keluarga yang lain ketika tidak ada ibu di rumah. Namun jika sejak awal pekerjaan tidak mengenal gender, dalam kondisi ada ibu atau tidak, dalam kondisi di manapun dan bagaimanapun siap menjalani.
Ada juga seorang laki-laki banyak yang tidak siap ketika ditinggal oleh istrinya. Misalnya terjadi perceraian baik perceraian mati atau hidup. Suami akan bersusah payah menjadi seorang ibu dan seorang perempuan. Ayah dan ibu sekaligus bagi anak-anaknya. Hal ini terjadi karena sebelumnya tidak dibiasakan untuk berbagi tugas dengan istri. Jadi ketika ditinggalkan, laki-laki akan mengalami stress berat akibat beban hidup tanpa istri. Ada pula seorang anak laki-laki tidak bisa menghadapi kehidupan dewasa secara mandiri ketika berpisah dengan ibunya. Akibat dari kekurangpahaman anak laki-laki terhadap tugas dan tanggung jawabnya dalam sebuah keluarga.
Tapi beda dengan perempuan. Dalam kondisi apapun, dia akan lebih kuat dibanding laki-laki. Banyak kasus perempuan yang ditinggal mati atau cerai oleh suami dia akan survive menghadapi kehidupannya yang baru. Hal ini terjadi karena sudah terbiasa sejak awal. Mengurus rumah tangga, sebagai ibu rumah tangga, dan bekerja. Di sinilah hebatnya perempuan. Jadi harus diakui ya, perempuan memang lebih kuat dari laki-laki. Tak hanya fisik lo, psikisnya juga.
Sebenarnya antara laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kebutuhan yang sama dalam menghadapi hidup. Keduanya jangan sampai mengalami 1) Kekerasan fisik. Meski hal ini perempuan yang sering mengalami. Dianiaya oleh laki-laki. Meskipun ada beberapa kasus laki-laki dianiaya perempuan.
2) Kekerasan psikis. Kekerasan psikis ini akibatnya justru lebih menyakitkan. Karena dengan psikis yang mengalami kekerasan, fisikpun akan ikut mengalami akibatnya. Â Kekerasan bentuk ini bisa dengan perlakuan dan perkataan-perkataan yang menyakitkan. Lebih baik berkata baik dan memerlakukan istri/suami dengan baik, bukan? Supaya keduanya tak mengalami cedera psikis hingga jiwanya sakit.
3) Kekerasan seksual. Dalam berbagai kasus, perempuan lebih banyak mengalami kekerasan seksual. Misalnya pemerkosaan, pemaksaan, dll. Laki-lakipun bisa saja mengalami kekerasan seksual. Ketidakmampuan laki-laki menjalankan kewajibannya kemudian dilecehkan perempuan. Hal ini adalah kekerasan seksual perempuan terhadap laki-laki.
4) Kekerasan Ekonomi. Nah ini adalah biang dari semua permasalahan yang kadang berakhir dengan percekcokan di dalam rumah tangga. Kekerasan ini bisa terjadi jika suami mengabaikan kebutuhan ekonomi keluarga padahal suami mampu melakukannya. Istri memegang penuh kendali keuangan tanpa memikirkan kebutuhannya. Hal itu juga merupakan kekerasan ekonomi.
Peran Masyarakat dalam Pengarusutamaan Gender
Istilah gender bukan hanya untuk perempuan. Gender adalah perbedaan yang lebih didasarkan pada aspek sosiologi dan kultural. Jadi dalam hal ini tak ada kaitannya dengan alat reproduksi yang membedakan jenis kelamin.
Agar tidak terjadi bias gender di dalam masyarakat, peran masyarakat sangat penting. Pelayanan masyarakat terhadap pengarusutamaan gender harus lebih ditingkatkan. Misalnya dengan memberikan pelayanan khusus terhadap perempuan menyusui, perempuan hamil, dan libur bagi perempuan yang bekerja. Memberikan keleluasaan bagi laki-laki bekerja untuk memberikan waktu lebih kepada istrinya dalam membantu urusan rumah tangga. Dalam hal pelayanan, saat ini sudah mulai menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Seperti disediakannya tempat khusus untuk meyusui di berbagai fasilitas umum.
Jangan sampai jenis kelamin mengkotak-kotakkan pekerjaan. Jika ada sopir truk perempuan dianggap tak lazim. Jika ada suami yang jadi bapak rumah tangga, istri bekerja dianggap tak lazim pula. Hal ini peran pengaturan masyarakat dalam hal persepsi sangat membantu pengarusutamaan gender tanpa menyalahi kodrat. Karena kodrat hanya dalam urusan reproduksi.
***
Oleh karena itulah responsif gender dengan cara menyusun langkah-langkah yang bertujuan terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dapat terwujud. Namun dalam hal ini, jangan sampai menjadi responsif gender yang 'kebablasan'. Karena ingin menjujung hak-haknya sering mengabaikan adat ketimuran, di mana sudah selayaknya perempuan menghormati laki-laki. Sebaliknya laki-laki juga tetap harus menghargai perempuan dengan segala bentuk pengabdiannya pada keluarga, suami dan anak-anaknya. (Ummi Azzura Wijana)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H