Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Borobudur, Sejarah dan Keajaiban Dunia

7 Maret 2018   05:00 Diperbarui: 7 Maret 2018   05:08 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Borobudur. Foto: Ummi Azzura

Arupadhatu

Berbeda dengan lorong-lorong Rupadhatu yang kaya relief. Mulai lantai kelima hingga ketujuh, dinding pada tingkatan Arupadhatu tidak berelief. Hal ini mengandung pengertian, bahwa Arupadhatu tidak berwujud. Tingkatan Arupadhatu melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.

Pada pelataran lingkaran terdapat 72 stupa kecil berterawang yang tersusun dalam 3 barisan yang mengelilingi 1 stupa besar sebagai stupa induk. Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar.

Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud di mana arca Buddha itu ada, namun tidak terlihat.

Selain ketiga tingkatan di muka, Candi Bhumisambhara memiliki tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud sempurna dengan dilambangkan stupa terbesar dan tertinggi. Stupa tersebut pula digambarkan polos tanpa lubang-lubang.

Di dinding Candi Bhumisambhara pada setiap tingkatan, kecuali pada teras-teras Arupadhatu, dipahatkan panel-panel bas-relief. Relief dan pola hias bergaya naturalis dengan proporsi ideal dan berselera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap paling anggun dalam kesenian Buddha. Relief ini juga menerapkan disiplin seni rupa India, seperti berbagai sikap tubuh yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. (Ummi Azzura Wijana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun