Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menjelajah Jejak Pangeran Diponegoro di Puncak Kleco

15 Februari 2017   19:19 Diperbarui: 17 Juni 2019   22:53 3132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Kleco. Foto: Umi Azzurasantika

Menyebut Pangeran Diponegoro, seperti melempar ingatan kita pada ratusan tahun silam. Saat Pangeran Diponegoro dengan segala daya upayanya menentang penjajah. Bergerilya dari satu tempat ke tempat lain. Yogyakarta, tepatnya Tegalrejo yang menjadi tempat tinggalnya bukan menjadi tempat tinggal tetap baginya. Bersama rakyat yang simpati yang mendukung perjuangannya, melawan Belanda.

Pada tanggal 20 Juli 1825 meletus Perang Jawa (Java Oorlog). Kala itu atas saran pamannya, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Diponegoro bergerilya ke Goa Selarong. Perlawanannya terhadap Belanda diberi nama Perang Sabil. Perang melawan kafir Belanda waktu itu. Hal itu dilakukan Pangeran Diponegoro karena beliau lebih senang mendalami bidang agama yang menyatu kepada masyarakat dan menolak untuk diangkat menjadi raja. Tersebab beliau merasa hanya sebagai putra garwa ampil bukan putra dari permaisuri raja.

Perang Sabil dimulai dari Tegalrejo, Selarong, kemudian bergerak ke barat ke arah Kulon Progo. Markas Pangeran Diponegoro waktu itu tidak hanya satu tempat. Salah satunya adalah di Goa Sriti. Arah utara Gamping, sebelah barat Sleman jika arah dari timur. Sedangkan jika dari arah Magelang berada di sebelah selatan wilayah Kedu paling selatan tepatnya daerah Muntilan.

Di tempat ini Pangeran Diponegoro oleh pengikutnya diangkat sebagai raja dengan gelar Sultan Herucakra Senopati Hing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Pengangkatan ini dilakukan di Dekso pada tahun 1826. Perjuangan Pangeran Diponegoro semakin kuat dengan dibantu oleh putranya Ki Sodewo atau Bagus Singlon yang semasa kecilnya diasuh oleh orang kepercayaan ayahandanya, Ki Tembi.

Jika kita menjelajah jalanan Dekso, Kalibawang, kemudian Samigaluh, akan banyak ditemukan jejak-jejak sejarah Pangeran Diponegoro. Di lereng Menoreh ini banyak perbukitan yang merupakan rute gerilya pejuangan putra sulung Hamengkubuwono III, Raja Mataram, yang lahir 11 November 1785. Pejuang pantang menyerah putra seorang perempuan bernama R.A. Mangkarawati yang berasal dari Pacitan.

Jalan lurus yang bisa ditempuh dari Candi Mendut, Magelang ke arah selatan. Rute juga bisa dari arah Klangon, pertigaan dari jalan utama Kulon Progo-Yogyakarta. Di sana kita akan bertemu perempatan Dekso. Jejak sejarah di perbukitan gunung Menoreh bisa dimulai dari Samigaluh yang berada di barat perempatan Dekso kurang lebih berjarak dua kilo meter. Di sana akan ditemui ketinggian, salah satu rute dan tempat Pangeran Diponegoro menyusun strategi melawan penjajah Belanda.

Tersebutlah Puncak Kleco. Daerah perbukitan yang berada di Duwet, Purwoharjo, Samigaluh. Perbukitan yang awalnya merupakan bukit berbatu dan dipenuhi pepohonan tinggi. Hanya dihuni oleh 8 kepala keluarga yang letaknya saling berjauhan. Suasana tenang dan damai melingkupi daerah ini. Sarat dengan kekhasan masyarakat pegunungan, ramah dan santun. Dedikasi tinggi dengan semangat luar biasa. Desau angin dari rerimbunan pohon membuat suasana semakin syahdu.

Masyarakat Duwet yang Ramah dan Penuh Kekeluargaan. Foto: Umi Azzurasantika
Masyarakat Duwet yang Ramah dan Penuh Kekeluargaan. Foto: Umi Azzurasantika
Untuk mencapai puncak Kleco, sesampainya di kaki bukit kita harus sedikit hati-hati. Ketika yakin dengan kondisi sepeda motor, puncak Kleco dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 5 menit.

Namun jika tidak yakin, kita bisa jalan kaki menuju puncak yang berjarak kurang lebih 1 km dengan rute menanjak tingkat kemiringan 700. Pun jika itu masih khawatir tidak sampai puncak, pemuda yang mengelola Puncak Kleco siap mengantar pengunjung sampai rumah penduduk paling bawah. Kemudian perjalanan menuju paling puncak dilanjutkan dengan jalan kaki yang jaraknya tak seberapa jauh.

Spot Out Bound dan Campign Ground. Foto: Umi Azzurasantika
Spot Out Bound dan Campign Ground. Foto: Umi Azzurasantika
Puncak Kleco yang awalnya merupakan perbukitan dengan pohon-pohon, saat ini telah menjadi tempat wisata alam sekaligus tempat mengenang sejarah Pangeran Diponegoro. Tempatnya telah ditata rapi dengan jalur pendakian yang telah diatur sedemikian rupa. Meskipun baru dibuka kurang lebih 4 bulan terakhir, namun fasilitas pendukung telah ada di sana. Ada area campign ground, home stay, free photo spot, dan wifi. Selain itu kamar mandi, mushola telah tersedia di tempat ini. Warung-warung yang menyediakan jajanan khas daerah setempat juga ada.
Fasilitas yang disediakan oleh Pengelola Puncak Kleco. Foto: Umi Azzurasantika
Fasilitas yang disediakan oleh Pengelola Puncak Kleco. Foto: Umi Azzurasantika
Guna meresmikan Puncak Kleco ini sebagai destinasi wisata baru, Memetri Bhumi Menoreh, yang diprakarsai oleh para pemuda dan masyarakat sekitar telah dilaksanakan. Tepatnya Jumat (10/2) lalu resmi dibuka oleh Kepala Desa Purwoharjo. Menampilkan kirab budaya dan sebelumnya dibuka dengan tarian angguk modern serta jathilan.

Dihadiri oleh perwakilan Dinas Pariwisata Kabupaten Kulon Progo, pecinta sastra dari Yogyakarta, Kendal, Magelang, dan Semarang, serta masyarakat sekitar yang sangat antusias untuk menyaksikan daerah mereka dibuka untuk umum sebagai tempat wisata.Dinas Pariwisata Kulon Progo menjanjikan, Puncak Kleco akan masuk dalam agenda tahunan Pariwisata DIY, karena tempat yang indah dan sarat sejarah. Khususnya sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro. "Duwet, yang memiliki Puncak Kleco ini diharapkan akan menjadi daerah yang mandiri”, ungkap Ari Wibowo, Kepala Desa Purwoharjo meyakinkan. Tahun 2017 ini, dukungan desa akan diwujukan dalam bentuk bantuan sarana prasarana. Salah satunya penyempurnaan pagar pengaman menuju puncak Kleco agar sesuai standar keamanan internasional di tempat wisata alam, tambahnya.

Ade Wahyuni, perwakilan dari Paguyuban Alas Mentaok Yogyakarta, mengharapkan ada peningkatan fasilitas dan pelayanan di Puncak Kleco. Suatu saat nanti akan menjadi Desa Wisata yang mampu bersaing dan sama majunya dengan desa wisata lain yang telah dimulai lebih awal. 

Sinergi dengan gagasan Kepala Desa, pengelola Puncak Kleco diprogramkan akan diberikan pelatihan kepariwisataan, pengelolaan homestay, dan akan dibentuk kelompok sadar wisata. Seluruh anggaran akan dibebankan pada dana desa. Demi kemajuan Puncak Kleco sebagai bagian dari wilayah desa Purwoharjo, kecamatan Samigaluh, Kulon Progo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun