Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kunonya Magelang Tempo Doeloe

14 Mei 2016   08:26 Diperbarui: 11 Juli 2019   01:23 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki wilayah Kota Magelang seperti memasuki kota di pegunungan. Bagaimana tidak, di wilayah kecil ini terdapat gunung yang menjadi pakuning tanah Jawa. Gunung Tidar, ya betul, gunung ini menjadi simbol pakuning tanah Jawa. Istilah ini digunakan sejak jaman penjajahan dulu. Konon, jika gunung ini bergerak, akan bergoyang seluruh Jawa ini. Simbol inilah yang kemudian dijadikan tema Magelang Tempo Doeloe tahun 2016. “The Spijker van Java”. Tema ini sebagai simbol tentang peradaban yang ada di tengah Pulau Jawa.

Pakuning Tanah Jawa. Foto: Panitia
Pakuning Tanah Jawa. Foto: Panitia
Magelang Tempo Doeloe yang diikuti kurang lebih 75 stand, baik pemerintah, BUMD, dan swasta telah dibuka oleh Wali Kota Magelang Bapak Sigit Widiyonindito. Upacara pembukaan yang diawali dengan tari gambyong dan limbukan juga dihadiri Gubernur Akmil. “Acara ini sebagai rangkaian perayaan ulang tahun Kota Magelang. Telah menjadi agenda tahunan yang dimaksudkan untuk nguri-nguri kabudayan serta salah satu usaha untuk mendatangkan wisatawan ke Kota Magelang,” ujar Wali Kota Magelang dua periode ini dalam sambutannya.
Walikota Kota Magelang saat memberikan sambutan. Foto: Dokpri
Walikota Kota Magelang saat memberikan sambutan. Foto: Dokpri
Usai pembukaan, wali kota beserta Gubernur Akmil didampingi Sekjend Magelang Tempo Doeloe, dan wakil wali kota beserta rombongan menyempatkan diri meninjau stand-stand pameran. Stand pameran yang beragam. Mulai dari mobil antik, uang kuno, sepeda onthel dan sepeda motor kuno. Untuk pameran foto ada foto kuno saat pernikahan Ratu Juliana di Belanda, namun diperingati oleh seluruh negara jajahan Belanda, termasuk Magelang wilayah Indonesia (Hindia Belanda). 

Pameran foto Ratu Juliana. Foto: Dokpri
Pameran foto Ratu Juliana. Foto: Dokpri
Ada juga stand kuliner yang menyajikan makanan lawasan seperti jadah bakar, jenang dan lain-lain. Tidak ketinggalan, kupat tahu magelang yang terkenal seantero negeri.

Mobil antik. Foto: Dokpri
Mobil antik. Foto: Dokpri
Spot Foto. Foto: Dokpri
Spot Foto. Foto: Dokpri
Motor Kuno. Foto: Dokpri
Motor Kuno. Foto: Dokpri
img-0773-jpg-5736768b90fdfd0f048b457f.jpg
img-0773-jpg-5736768b90fdfd0f048b457f.jpg
Stand mainan anak-anak jaman dulu ramai dikunjungi oleh para pengunjung malam tadi. Mulai dari yoyok kayu, gangsing dari bambu, hingga kerajinan kayu dan batok kelapa yang dijadikan alat dapur. Rata-rata mereka kagum dan mungkin asing dengan mainan-mainan tersebut. Amsalnya mainan-mainan itu jarang dijual di toko-toko mainan. Hanya muncul saat-saat pameran saja. Magelang Tempo Doeloe tentu menjadi ajang yang tepat untuk memperkenalkan kembali mainan-mainan lama ini kepada anak-anak. Generasi muda penerus budaya yang seharusnya tidak boleh tidak mengenal. Tergerus arus modernisasi dan teknologi yang semakin pesat.

Stand mainan. Foto: Dokpri
Stand mainan. Foto: Dokpri
Salah satu mainan anak. Foto: Dokpri
Salah satu mainan anak. Foto: Dokpri
Ada banyak stand BUMD yang menyajikan pameran dengan cara unik. Seperti Bank Jateng, untuk menarik perhatian, mereka menampilkan dua badut lucu. Sehingga banyak yang datang dan ingin berfoto bersama. Lain lagi dengan Museum Sudirman. Museum ini menyajikan batik khas Magelang. Di mana ada workshop membatik di sana, sehingga anak-anak (terutama) bisa berlatih menggoreskan malam dengan canting di kain, untuk membatik.

Beberapa stand menarik perhatian penonton yang suka membaca. Ada stand perpustakaan yang memamerkan buku Mahabharata dalam bentuk komik seri A sampai D. Ada buku kuno juga milik Ir. Soekarno. Surat-surat jaman dulu juga dipamerkan di sini. Stand lain yang memamerkan buku kuno juga banyak. Majalah-majalah lama seperti Kartini, Intisari, dll. Masih terlihat bagus dan dijual untuk pengunjung. Perangko lama, koin-koin kuno untuk mahar yang dijual kurang lebih Rp 20.000/buah ada juga. Untuk para jomblowan/wati boleh deh berburu koin untuk mahar. Cieee...

Namun ada yang menarik untuk saya perhatikan. Buku Ir. Soekarno yang justru bukan perpustakan yang memajang. Stand lain memamerkan buku presiden pertama RI ini. Masih bagus, hanya warnanya agak kekuningan.

Buku karya Ir. Soekarno. Foto: Dokpri.
Buku karya Ir. Soekarno. Foto: Dokpri.
Dari sekian stand pameran, ada satu stand yang menarik perhatian saya. Hampir setengah jam saya berada di stand ini. Stand yang mungkin luput dari ingar bingar dan gebyar sorot lampu. Stand pak Supardi, komikus lokal Magelang. Lelaki kelahiran Magelang tahun 1958 sebagai pemiliknya dengan bangga dan senyum tulus melayani pertanyaan saya dan pengunjung lain.

Ada sekitar 7 judul komik yang sudah beliau selesaikan. Dari buku yang dipamerkan, masih ada yang kosong dan goresan pensil. Ternyata, proses pembuatan komiknya dari sketsa pensil, setelah selesai ia tebali dengan pulpen dan spidol. Sungguh sangat tradisional, tanpa ada sentuhan teknologi sama sekali. Namun justru itulah yang menarik. Komiknya tidak pernah diterbitkan, tak ada niat juga darinya, sebagai hobi saja, tuturnya.

S. Pardi dengan karyanya. Foto: Dokpri
S. Pardi dengan karyanya. Foto: Dokpri
Selain membuat komik, kesehariannya dihabiskan untuk memenuhi pesanan pelanggan, baik gambar, topeng, juga menggambar di sekolah-sekolah. Seperti gambar tembok TK dan PAUD. Laki-laki yang murah senyum ini memiliki dua orang anak yang telah berkeluarga. Tulusnya dia dalam berkesenian tak sedikitpun ada keinginan secara materi dengan komiknya. Seniman sejati. Mungkin daerah yang bisa memberi ruang kepadanya agar lebih berdaya dan lebih semangat berkarya.

img-0713-jpg-57367b25b47e61e1081a3707.jpg
img-0713-jpg-57367b25b47e61e1081a3707.jpg
Pameran yang berada di area alun-alun Kota Magelang ini masih berlangsung hingga Minggu, 15 Mei 2016 besok. Segera datang ya. Masih banyak acara di sini. Banyak juga spot foto untuk narsis dan eksis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun