“Tapi...”
“Ssstt...!”
“Cukup” sergah Pongo.
“Kita harus terus bersyukur, Tuhan telah memberikan hidup, umur hingga kita 50 tahun”.
Pandangan Pongo lurus ke depan, dadanya naik turun. Dia menyadari, diapun sangat kangen dengan anaknya. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya pada Pygi istrinya. Tidak ingin membuat perempuan terkasihnya semakin terpukul.
“Turunlah sayang, ayo kita cari Pinggo!”
Rona bahagia tiba-tiba memenuhi wajah Pygi. Tanpa pikir panjang ia langsung meloncat. Tidak berpikir panjang lagi. Ia ingin segera bertemu putri tercintanya.
“Kraaakkkkk!”
“Bluuum...”
“Gruuuuummmpphhhh!” suara keduanya melengking bersamaan. Seolah dunia berhenti berputar. Seluruh isi belantara berpaling menatap keduanya yang saling berpelukan. Di bawah dahan seukuran manusia dewasa yang menimpa mereka. Mata mereka telah tertutup. Jiwa mereka berayun-ayun. Melayang ke petala langit pekat. Langit penuh asap. Asap yang mereka nikmati setiap tahun, sepanjang tahun, sepanjang mereka hidup di rumah mereka sendiri. Tinggal kenangan. Tinggal nama.
“Pinggo, ayah dan ibu pergi. Menantimu di pintu surga sayang”.