Mohon tunggu...
Sumbono Qomaruzaman
Sumbono Qomaruzaman Mohon Tunggu... -

Lulus dari Pesantren, sekolah Jurnalistik di Jogja, lalu bekerja pada harian Jogja Post, Bernas Jogjakarta. Kini, aktif di berbagai kegiatan sosial dan pendidikan di pedesaan. Dan, tetap menulis serta mengelola WarCom--sebuah wadah jejaring multi usaha di Banyumas-Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Merevolusi dari Desa

14 Mei 2015   08:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:04 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebudayaan menawarkan sisi orisinalitas  ke-sejatian diri manusia.  Budaya menjadi   guide  yang menuntun akal budi pada prosesi  mencapai humanisme, sentuhan antara alam dengan rasa manusia.

Di era global,  dimana negara terkuatlah yang membombardir  serangan lewat kebudayaan, meracuni generasi muda dengan produk kultur impor –internasionalis, sehingga,  masyarakat  terasing dengan kebudayaan  tradisi, yang telah melekat dalam jiwa .  Budaya sebagai akar  kebiasaan masyarakat dalam menghadapi tantangan kehidupan, terkadang dijadikan sebagai alat politik, nilai kuasa, atau bahkan sebagai panglima dalam proses pembangunan.

Sejak era industri, di berbagai wilayah di Indonesia bergulir, kebudayaan terasa terpinggirkan, ekonomi –materialistic sebagai orientasi utama proses penyempurnaan manusia.  Kota yang dianggap sebagai sentral keadaban, segalanya telah menyebarkan spirit  baru yang  terkadang class dengan kultur atau alam perdesaan.

Efek samping dari  era industri adalah, tampilnya, generasi muda, yang jauh dari ke-sejatian diri sebagai manusia. Tokoh-tokoh animasi , kartun asing, film asing, yang muncul sebagai resiko pergaulan dunia, telah  mengalahkan produk asli, lokal, yang juga sarat dengan nilai. Seni tradisional dinggap kurang bersahabat dengan generasi muda, karena terasa  kurang menarik bagi generasi saat ini.

Upaya mengejar keutungan materi tanpa disertai kesimbangan spiritual, telah merusak alam dan kepribadian yang miskin dari prinsip dan nilai luhur.  Atau bahkan melupakan peran murni manusia untuk memelihara alam. Gunung,  sungai,  tanah  lapang sebagai anugerah, telah  dihancurkan untuk sebuah dalih peningkatan pendapatan asli daerah. Kekayaan alam, sebagai asset daerah, mata air, sungai telah diprivatisasi..

Resiko, model seperti inilah, yang berhilir pada persoalan moralitas, kebudayaan, dan kerusakan pada spirit- ruhani masyarakat.

Prosesi indsutrialisiasi  hingga ke jantung perdesaan dan spirit manusia, telah melukai, komunitas adat, tradisi, bahkan keyakinan sebuah aliran yang menebar di bumi Nusantara. Situs-situs sejarah, penuh dengan ajaran, wejangan, dan kisah hebat, seperti Situs Majapahuit Trowulan, pun dihadapkan pada kepentingan industri.

Rencana pembangun pabrik baja di kawasan ini, dianggap akan merusak dan mengorbankan Trowulan. Sampai saat ini, pemerintah pun, belum bersikap tegas, terhadap upaya perlindungan Situs Majapahit Trowulan di Mojokerto.

Kabupaten Mojokerto kaya dengan situs peninggalan bersejarah era Majapahit. Peninggalan pusat pemerintah Majapahit  ini,  terdapat sekitar 400 situs sejarah yang telah terselamatkan dari upaya marginalisasi hingga penghapusan atas nama pembangunan ekonomi, dan industri.  Sampai saat ini,  elit pusat belum juga bersikap tentang kepentingan nasonal trehadap peninggalan Majapahit.

Perlahan tapi pasti, sepertinya hasil kebudayaan lokal, mencapai kelangkaan karena sikap elit yang kurang peduli.  Ideologi  politik ekonomi yang menekankan atau bahkan menuhankan materi  telah melupakan sejarah, peran dan fungsiutama kebudayaan. Kebijakan  presiden terhadap situs-situs peninggalan bersejarah,   belum jelas.  Situasi ini,  menjadi  faktor pendorong sejumlah elit lokal  untuk  berkreasi dan mengambil inisiatif  menyelamatkan situs Trowulan, sebagai cagar budaya nasional.

"Saya orang asli Mojokerto dan sepenuh hati mencintai Majapahit karena mereka nenek moyang kita," ujarnya. Bahkan ia menuturkan dirinya telah melakukan pelestarian aset seni dan budaya di 400 tempat di Mojokerto selain di Trowulan. "Semua saya biayai pribadi,"  kata Mustofa Bupati Mojokerto, suatu ketika  pada media.

Mungkin, sulitnya menitipkan agenda pada pemerintah pusat sekelas presiden, membuat budayawan atau seniman lokal memilih bersikap memperjuangkan kelestarian budaya dengan terjun ke kancah politik. Atau paham formalistic keagamaan yang menjadi faktor menafikan budaya dan peninggalan bersejarah. Lalu, lewat jalan kekuasaan, kebijakan yang bersandar pada kebudayaan dan kebudayaan yang bersandar pada nilai-nilai agama, bisa menjadi jalan hidup masyarakat, tanpa kehilangan jati diri.

Sosok dalang Edan Ki Enthus Susmono, menjadi bukti atas upaya untuk menampilkan kembali seni tradisional wayang. Seniman wayang yang menjadi Bupati Tegal ini langsung, membangun konsorsium wayang, menyelenggarakan Sinden Idol di Jawa Tengah, dan mengalokasikan 30 persen dari 1,3 triliun APBD Tegal, untuk kegiatan seni dan budaya.

Figur kepemimpinan dalang edan ini, berupaya menampilkan wayang tradisi dari Pantai Utara, sebagai upaya tandingan, atau penyeimbang  terhadap pengembangan budaya asing. Ki Enthus, sepertinya menyadari betul,  proses marginalisasi budaya  oleh serbuan budaya pop  yang digandrungi  muda-mudi. Kuliner, fashion, film, life style  impor lebih disukai ketimbang  produk daerah .  Gaya tarian Korea,  American Idol,  wayang  Mahabarata India, dan tayangang impor  lainnya  juga telah menggeser seni tradional jawa—khazanah cultural keindonseiaan.

Bahkan untuk mencari pesinden  muda, di Jawa sudah menjadi barang langka. “Kalo sinden diambil alih, diakui oleh orang lain negara lain, baru ribut,”  ujar Enthus. Langkahnya, membuat berbagai kreasi daerah sebagai solusi yang real terhadap  fakta sebuah kebudayaan asing lebih disukai dan menguasai generasi muda.

Konsorsium wayang di rumahnya dibangun sebagai solusinya atas kemiskinan kebijakan tentang pengembangan budaya. Setidaknya, wayang sebagai budaya  tetap terpelihara.

Langkah politik dalang Edang, tentu  bukan jurus politik  dari revolusi kebudayaan ala Mao di China, yang merevolusi kebudayaan dengan mengorbankan rakyatnya.   Atau menjadi mendiang Presiden  Soeharto  yang selalu berpijak pada kebudayaan Jawa sebagai sumber inpirasi nilai kepemimpinan dan kebijakan . Setidaknya,  Ki Enthus sedang, meyakinkan rakyatnya, agar kembali pada budaya –jati diri budaya yang sarat dengan nilai dan moral mulia.

****

Lewat seni tradisonal wayang, Ki Enthus memamparkan-ngudar piwulang tentang banyak hal.  Life style, Ki Entus pun menampilkan fashion, logat bicara yang membumi dnegan kukltur Jawa,  ruh kepmimpinan juga jawa tradisional yang berpijak pada nilia-nilai mahabarata-ramayana.

Enthus menguraikan program unggulannya yang dinamakan empat cinta. Yakni, cinta pelayanan publik, cinta produk lokal, cinta desa, dan cinta budaya.

Masih dalam lintasan Pantura, Purwakarta, salah satun Kota Pasundan, Jawa Barat sebagai salah satu basis Sunda Wiwitan juga tengah bergiat kembali berorientasi pada  budaya Sunda sebagai falsafah hidup dan sumber kebijakan. Kang Dedi, yang juga dikenal sebagai budayawanpenyair, kembaliconcern  dengan budaya sunda, sebagai kultur tanah air.

Kang Dedi yang dinobatkan sebagai pejuang  revolusi budaya  karena jasanya dalam mengembalikan gairah budaya sunda.  Jati diri tanah air Sunda mulai dari pakaian (fashion), kuliner, dan nilia-nilai yang mesti dianut kembali. Atau boleh jadi, sedang melakukan re-aktualisasi  Sunda, sebagai pilar-pilar kebudayaan di Jawa Barat.

Kang Dedi,  telah mengganti salam islami dengan salam cultural. Tepat pada hari  pendidikan nasional. Kang Dedi, menyampaikan salam sunda, pada anak-anak pelajar sekolah.  Mungkin,   Kang Dedi tengah mencoba berusaha mengembalikan  jati diri “manusia purwakarta” pada  sisi manusia sunda seutuhnya.  Secara pelan tapi, pasti,  cultural sunda mulai dibangkitkan lewat gaya hidup—life style Kang Dedy.  Kuliner, fashion,  hobi, tari, semua serba sunda.

Sunda, sebagai konsepsi “falsafah universal rasa” dijahit kembali lewat  jalan politik local.  Kekuatan politik  Kang Dedi menjadi  energi yang menyengat  nyetrum ke berbagai sisi kehidupan sunda.  Moment reformasi, dan spirit otonomi daerah, adalah kesempatan bagi kepala daerah,pemimpin lokal untuk bisa berkespresi  secara bebas sampai pada label “bupati-bupati nyentrik” dan label serta identitas serba lokal.

Meski, bukan seniman wayang, Kang Dedi komitmen pada dunia wayang. Ki Enthus membangun konsorsium wayang, Kang Dedi membangun simbol-simbol tokoh-tokoh  wayang.  Patung Arjuna,  Bima,  Yudhistira, atau Dharmakusuma atau Samiaji, Gatotkaca,Semar,Bima. Semua itu, melambangkan tata nilai peradaban yang masih  adaptif dengan perubahan  zaman. Wayang golek, wayang kulit  Sunda lebih dapat diterima oleh mind sett dan trend masyarakat yang terus mengalami modernisasi. Tetapi secara nilai,  prinsip dan ajaran masih relevan, sebagai prinsip-prinsip kebijakan pada era transisi industrialisasi di Purwakarta.

“Budaya bukan hal yang harus dilestarikan tetapi budaya harus menjadi sistem nilai kebijakan. Di Pemkab Purwakarta sendiri itu relatif sedikit demi sedikit sudah mulai diterapkan dalam sistem nilai kebijakan, walaupun pada awalnya banyak mengalami perbedaan pemahaman tetapi setelah diterapkan selama  4 tahun ini pemerintah menjalankannya secara komprehensif ternyata sistem kebudayaan itu diwujudkan dalam sistem pemerintahan, bisa melahirkan pelayanan pemerintahan yang baik." ujar Kang Dedi.

Seruan kembali pada  jati diri Sunda, mengingatkan akan teori class of civillizion (benturan peradaban) Samuel Hungtinton. Setidaknya, budaya  bisa dijadikan sumber-sumber spirit baru sebagai solusi keadaban masyarakat, bukan ?  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun