Mohon tunggu...
Sumayyah
Sumayyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Sastra Arab UGM

Pembelajar seni hidup disayang Allah, berkah, dan bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Beauty Privilege", Benarkah Orang Cantik Lebih Beruntung?

7 Desember 2021   18:35 Diperbarui: 12 Desember 2021   19:31 4053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Enak ya jadi cantik, hidup jadi terasa mudah!"
"Pantas lah, dia kan cantik!"

Beauty privilege muncul sebagai istilah untuk menggambarkan seseorang yang dianggap hidupnya lebih beruntung dan lebih lancar dibandingkan orang lain, karena terlahir dengan rupa yang menawan. 

Sering kali orang menganggap bahwa menjadi cantik itu akan lebih banyak disukai orang, lebih mudah diterima, mudah mendapat pekerjaan, mudah mendapat cuan, dan juga lebih diistimewakan dibanding orang lain yang dianggap tidak lebih cantik. 

Hal ini akhirnya menghasilkan suatu sistem ketidaksetaraan dalam sosial. Ketika ada pihak yang diuntungkan, maka secara otomatis akan ada pihak yang dirugikan. 

Namun, benarkah beauty privilege itu ada?

Berbicara mengenai ada atau tidaknya beauty privilege itu, maka jawabannya adalah ya, beauty privilege memang ada, tapi tidak semua orang cantik mendapatkan keistimewaan-keistimewaan atau seberuntung apa yang kita pikirkan, juga tidak semua orang cantik itu senang dengan adanya beauty privilege.

"Sesuatu" itu pastilah mempunyai sisi positif dan negatifnya. Mungkin kita memang sering melihat orang-orang cantik itu lebih banyak followers-nya di media sosial karena penampilannya lebih menarik, orang-orang cantik lebih beruntung dalam karirnya, dan orang-orang cantik lebih ringan beban hidupnya. 

Itu semua sebenarnya adalah stereotype yang muncul dari apa yang kita lihat di media sosial. Karena kita sering melihat media sosial, maka kemudian muncul anggapan-anggapan tersebut yang akhirnya membuat seseorang cenderung membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain yang terkesan lebih beruntung. 

Tapi pada kenyataannya, tidak sedikit orang cantik yang tidak bahagia, sedih, tertekan, dan bahkan depresi, karena merasa hidupnya diatur oleh perspektif orang lain.

Bukankah cantik itu relatif?

Tidak sedikit kita melihat orang-orang sukses memiliki rupa yang menawan, dan kemudian dengan mudahnya kita bilang "enak ya jadi cantik, karirnya menjulang tinggi, beban hidupnya ringan, setiap hari senang-senang terus, aku kok gini-gini aja?". 

Lantas kita merasa insecure ketika melihat kehidupan orang lain di media sosial ataupun secara langsung, mengapa begitu, bukankah cantik itu relatif?  Ketahuilah, tidak ada sukses yang dicapai secara instan, dengan berleha-leha dan tanpa kapabilitas diri. 

Kita tidak tahu pengorbanan apa yang telah mereka lakukan, dan seberat apa ujian yang telah mereka lalui, sehingga mencapai kesuksesannya. Hanya saja, mereka tidak menampakkan itu semua menjadi konsumsi publik. 

Tapi, orang-orang yang rupanya tidak secantik mereka pun ada yang sukses, kehidupannya tidak jauh dengan kehidupan mereka. Lalu, mengapa kebanyakan orang sukses itu cantik-cantik? 

Karena pastilah mereka adalah orang-orang yang berpendidikan, mereka tahu cara merawat diri, dan tahu cara berpenampilan yang menarik. 

Berbicara tentang hal itu, setiap orang memang punya preferensi masing-masing dalam memandang orang yang menarik bagi dirinya. Namun, standar kecantikan terkadang menjadi acuan seseorang untuk menilai penampilan orang lain.

Seperti apa standar kecantikan wanita Indonesia?

Standar kecantikan di Indonesia pada umumnya adalah berkulit putih, bersih, dan halus; tubuh langsing; rambut panjang dan hitam. Beberapa tahun terakhir, media juga mendukung reprentasi kecantikan yang telah disebutkan ini. 

Seperti iklan-iklan atau sinetron-sinetron yang menampilkan wanita-wanita yang memenuhi standar kecantikan tersebut. Terlepas dari itu semua, menurut saya cantik adalah menjadi diri sendiri. 

Dengan fokus terhadap diri sendiri, menghargai potensi diri kita, dan tidak membanding-bandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Karena cantik itu relatif, cantik itu beragam, dan cantik itu adalah diri kita sendiri. Bukan diri kita yang palsu, yang ingin sama dengan orang lain.

Bagaimana menyikapi hal ini?

Terlahir cantik memang karunia Tuhan, kita tidak bisa memilih atau ikut campur dalam menentukan hal tersebut. Keberuntungan pun adalah hadiah dari Tuhan.

 Namun, kesuksesan, keberhasilan, dan kehidupan yang lebih baik adalah hak setiap manusia yang masih bisa kita usahakan. Nasib buruk, kegagalan, kemiskinan, masih bisa kita ubah, dengan upaya-upaya yang bisa menuntun kita kepada hal yang lebih baik. 

Beauty privilege memang ada, dan ketika kita insecure melihat orang-orang yang memiliki privilege tersebut, harusnya kita bisa mengubah insecure itu menjadi trigger untuk berusaha lebih keras, dan memperbaiki diri, bukan hanya tampilan luar saja, tetapi tampilan dari dalam atau inner beauty. 

Ketika inner beauty kita baik, maka aura yang keluar dari diri kita pun akan positif. Kurangi melihat kehidupan orang-orang di media sosial yang hanya akan membuat kita iri, cukup fokus pada diri kita, mengembangkan potensi dan kapabilitas diri, berdamai dengan diri sendiri, dan yang terpenting adalah jadi diri kita sendiri. 

Kita punya versi cantik masing-masing, dan kita akan cantik di mata orang yang tepat. Masalah kemudahan, keberhasilan, dan keberuntungan dalam karir atau hal apapun, itu akan sebanding dengan usaha kita, dengan tetap diiringi doa dan bertawakkal.

So.....

Privilege tidak selalu membuat orang bahagia. Di satu sisi memang mereka yang memilikinya merasa diuntungkan. 

Namun, di sisi lain juga ada jiwa-jiwa yang resah, tidak tenang, sedih, tertekan, bahkan depresi. Karena apa? Karena mereka seolah-olah dituntut untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Mereka harus selalu mengikuti standar menurut stereotype orang lain. 

Mereka seolah tidak bisa bebas, kehidupannya diatur, setiap hal buruk sekecil apapun yang ada pada mereka akan menjadi besar di mata para followers (misalnya), dan yang lebih menyakitkan, mereka tidak bisa menjadi diri mereka sendiri. 

Jadi, tidak benar jika kita menganggap orang yang punya privilege itu selalu beruntung. Semua tergantung pada kita menyikapinya seperti apa, tergantung pada pilihan-pilihan yang kita ambil, dan tergantung pada apa yang hari ini kita usahakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun