Ibarat pertandingan sepakbola, kini Partai Golkar sedang menguasai bola di lapangan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Skandal Bank Century DPR. Mau digiring ke mana, mau digolkan ke gawang lawan, mau ‘digoreng’ dulu, atau bahkan mau diciptakan gol bunuh diri, semua itu terserah Golkar. Ibarat bermain kartu, Golkar kini benar-benar memegang kartu As. Betapa tidak?
Kalau dalam permainan bola atau film pada menit-menit terakhir biasanya terjadi puncak ketegangan atau klimaks, di Pansus Century ini yang terjadi justru sebaliknya: antiklimaks. Lihat saja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang semula berteriak lantang mengusulkan pemecatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan pemakzulan Wakil Presiden Boediono, bahkan sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kini teriakan itu mulai mengendur dan terdengar samar-samar. Bahkan Ketua Fraksi PKS Mustafa Kamal menyatakan, desakan pemakzulan Boediono dan SBY bagai mimpi di siang bolong. Nah, lho!
Padahal, sikap kritis PKS di Pansus sempat menimbulkan “perseteruan internal”, antara Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta yang juga Wakil Ketua DPR dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring yang juga bekas Presiden PKS. Anis Matta menyuarakan kemungkinan pemakzulan sebagai konsekuensi atas skandal Bank Century yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp6,7 triliun. Sementara selaku pembantu Presiden, wajib hukumnya bagi Tifatul untuk membela mati-matian SBY, sehingga ketika ada orang-orang dari internal partainya bersuara keras, Tifatul pun merasa posisinya terancam. Ia jengah. Apalagi ketika berembus kabar bakal ada reshuffle cabinet. Ini wajar saja, sesuai “asas manfaat”.
PKS bahkan bukan sekadar melunak, melainkan berbalik arah. Wakil Sekretaris Jenderal PKS Fahri Hamzah yang juga anggota Pansus Century dan suka bersuara lantang dalam rapat-rapat Pansus, membantah partainya mewacanakan pemakzulan. Menurutnya, sampai saat ini tidak ada alasan untuk memakzulkan SBY ataupun Boediono. “Soal pemakzulan, PKS enggak pernah ngomong. Bagi PKS, syarat pemakzulan itu bila melanggar article of impeachment saat menjabat,” ujarnya dalam diskusi di ruang wartawan DPR, Jakarta, Rabu (3/2/2010).
Melanggar article of impeachment saat menjabat? Padahal, kasus ini terjadi tahun 2008 lalu, ketika Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI), sebelum menjadi wapres. Bila demikian adanya, berarti pintu PKS untuk memakzulkan Boediono sudah tertutup rapat, apalagi bagi SBY.
Gayung pun bersambut. Seperti paduan suara yang nadanya sudah di-“stem” dulu, Golkar pun mulai menurunkan tensi politiknya, dari semula getol menuntut Sri Mulyani dan Boediono mundur, kini partai berlambang beringin ini mengaku tidak sampai hati mendesak Boediono dan Sri Mulyani mundur. Bambang Soesatyo, anggota Pansus Century dari Golkar, yang selama ini bersuara lantang, bahkan sempat berseteru dengan Sri Mulyani, pun mulai kikuk menghadapi perubahan sikap partainya ini.
“Kami tidak sampai hati dan tidak enak hati untuk meminta kedua pejabat itu mundur. Ya, kami titip supaya baik-baik saja kepada Hanura,” ujar Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/2/2010).
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung pun mengaku tidak pernah terpikirkan jika partainya akan melakukan pemakzulan terhadap SBY. “Golkar tidak pernah ada pikiran untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden,” kata Akbar usai diskusi di Megawati Institute, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Rabu (3/2/2010).
Hanura yang dimaksud Priyo adalah Partai Hati Nurani Rakyat yang sampai sekarang masih konsisten meminta Sri Mulyani dipecat, serta mendesak agar Bodiono dan SBY dimakzulkan. PDI Perjuangan pun masih tetap konsisten, kendati lebih lunak dan tidak menyebut nama.
Bahkan PDI Perjuangan masih berharap pada PKS dan Golkar untuk menjaga konsistensi sikapnya. “Saya berharap betul pada PKS dan Golkar, karena melihat kekritisan dua partai itu selama ini,” kata anggota Pansus Century dari PDI Perjuangan Maruarar Sirait dalam diskusi bertajuk “Jelang Rekomendasi Pansus Century” di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (3/2 2010).
Dari total 30 anggota Pansus, PDIP sudah memetakan komposisi kekuatan di Pansus. “Kami melihat dari pandangan-pandangan yang ada, komposisinya akan 16:14 jika dilakukan voting,” ujarnya. Selain dari Gerindra, Hanura, dan PDI Perjuangan yang jelas-jelas memosisikan diri sebagai oposisi, suara berjumlah 16 itu diharapkan datang dari PKS dan Golkar. Jumlah anggota Pansus dari Golkar adalah terbanyak kedua setelah Partai Demokrat.
Bisakah Golkar dan PKS diharapkan? Dalam dunia politik, tidak ada yang namanya konsistensi. Yang ada adalah inkonsistensi. Yang konsisten adalah inkonsistensi itu sendiri. Tak ada lawan atau kawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Inilah adagium yang berlaku di dunia politik. Maka kemudian wajar jika tensi politik Golkar pun menurun dalam menghadapi skandal Century.
Tentu, penurunan tensi politik Golkar ini bukan tanpa sebab. Pasti ‘ada udang di balik batu’. Simak saja statemen Priyo Budi Santoso selanjutnya. Katanya, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie disarankan lebih berhati-hati mengikuti pertemuan antar-parpol. Bila ada lobi parpol untuk membahas masalah Century, Ical disarankan tidak hadir, kecuali diundang khusus oleh SBY. “Saya sudah sarankan ke Pak Aburizal, jika ada pertemuan parpol maka tidak perlu datang, kecuali jika undangan itu dari Pak SBY langsung,” ujar Priyo yang juga Wakil Ketua DPR RI.
Priyo menilai, pemakzulan belum perlu dilakukan karena Golkar belum mendapat fakta-faktanya. Apalagi ongkos politik pemakzulan itu mahal.
Diakui Priyo, Aburizal dan SBY sudah ada komunikasi intensif. “Sampai hari ini kami harus mengakui Presiden dan Ketua Umum kami benar-benar ada komunikasi intensif,” kata Priyo.
Bola memang bundar, sehingga wajar jika sulit dikejar. Begitu pun bola politik, yang kadang kala justru menjadi bola liar. Apakah yang dimaksud Priyo sebagai “komunikasi intensif” itu adalah deal-deal politik untuk mengantisipasi bilamana kelak Boediono benar-benar jatuh? Rumor ini sudah lama beredar, bahkan lebih gamblang lagi dikatakan, sudah ada deal-deal politik antara Aburizal dan SBY untuk mengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Boediono, kendati rumor ini dibantah, baik oleh pihak Golkar maupun pihak Istana.
“Benar bahwa terjadi lobi-lobi baik di tingkat lapangan, tengah, ataupun tinggi,” kata Priyo lagi.
Pertanyaannya, apakah lobi-lobi itu akan berujung pada politik transaksional, siapa memberi apa dan siapa mendapatkan apa? Kita tidak tahu. Yang jelas, kini bola Pansus ada di tangan Golkar. Bukankah Golkar selama ini biasa bermain dengan dua kaki? Dengan permainan yang cantik pula, karena didukung pengalaman panjang.
“Bila skenario pemakzulkan gagal, saya kira Golkar telah menyiapkan skenario lanjutan untuk mewacanakan reshuffle kabinet,” kata pengamat politik dari Charta Politika Arya Fernandes.
Ada yang mengintai di pojok sana kalau-kalau ada bola yang tiba-tiba muntah. Bola muntah itu ialah jatuhnya Boediono dari kursi wapres. Akankah Golkar menyarangkan bolanya ke kursi wapres, atau cukup ke kursi menteri? Bola politik memang bundar, bisa lari ke mana saja sehingga sulit dikejar, bahkan kadang kala menjadi bola liar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H