Hanya pajangan yang tak berfungsi, dok. Sumarti Saelan
Saat memutuskan merantau ke Jakarta salah satu yang terbayang dalam pikiran adalah kota metropolitan yang padat penduduknya, perumahan padat yang berdempet dan saling himpit. Lahan kosong yang minim, pepohonan yang minim.
Diantara berbagai bayangan tantangan hidup yang berat, salah satu yang terlintas adalah tentang lingkungan tempat tinggal. Kalau melihat kawasan tempat saya tinggal saat ini, yang mayoritas adalah menengah ke bawah tentu bayangan tersebut benar. Tidak ada lagi halaman luas, hampir semua full bangunan untuk tempat tinggal. Bahkan rumah pribadi sekalipun jarang yang memiliki taman atau halaman luas.
Balai Rw pun, kecil hanya ngepres bangunan saja. jadi jangan membayangkan Balai RW halamannya bisa untuk anak-anak main bola, untuk main kelereng saja tidak bisa :P
Pemandangan berbeda tentunya saat kita melintasi kawasan Menteng, Pondok Indah, Kelapa Gading dan kawasan menengah atas lainnya. Tentu yang bisa kita lihat adalah pemandangan sebaliknya. Bahkan di beberapa Kawasan regional dengan type rumah Clusster dan sebangsanya, mereka mengelola sendiri taman yang masuk dalam fasilitas umum perumahan. Dan biasanya biaya perawatan dari penguni perumahan.
Keberadaan lahan untuk beraktifitas santai berupa taman, ruang terbuka hijau sangat penting terutama untuk perkembangan anak. untuk bermain, rekreasi dan berkreasi sesuai usianya dan yang terpenting lahan hijaunya yang sangat bermanfaat untuk lingkungan sekitarnya. Untuk kesehatan lingkungan dan jiwa-jiwa penghuninya. Kembali ke pelajaran SD tentu ingat apa fungsi pohon, tumbuhan dan hijaunya dedaunan yang ditopang akar-akar kuat.
Secara tidak langsung keberadaan lahan terbuka hijau atau bahasa kerennya Ruang Publik Kota ditambah fasilitas umum penunjang menurut saya merupakan bagian penting dalam menunjang kualitas perkembangan SDM. Dengan efek domino, SDM berkualitas tentu akan mampu menggerakan sebuah bangsa menjadi maju.
Kalau membicarakan kawasan tinggal menegah keatas tentu tidak terlalu mengkuatirkan, karena mereka memiliki dana untuk menciptakan ruang publik yang layak. Terutama di perumahan biasanya hal ini salah satu yang menjadi bahan promo pihak pengembag menarik pembeli. Tapi bagaimana dengan kalangan menegah ke bawah?
Salah satu tugas pemerintah adalah memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk menyediakan kebaradan ruang publik yang aman, nyaman, terjangkau dan mudah diakses. Karena tinggal di Jakarta, bicara tentang ruang publik tentu tak jauh-jauh dari mebahas keberadaan taman kota. Di tiap keluaran di Jakarta sebenarnya hampir semua memiliki taman kota sebagai ruang publik.
Tapi berdasarkan pengalaman saya, ternyata masih banyak hal yang harus diperbaiki. Hampir 10 tahun tinggal di Jakarta sudah pasti banyak taman kota yang sudah saya datangi. Mulai dari yang terdekat di sekitaran Tanjung Priok sampai yang jauh di Jakarta Pusat, Timur.
Dan menurut saya ini tantangan serta permasalahan yang masih sangat mencolok dan perlu banyak perbaikan :
Taman Elite & Non Elite
Mungkin ini terdengar kasar tapi inlah kenyataannya. Taman yang berada di sekitar kawasan elite dan utama seperti Taman Menteng, Suropati, Sukabumi, Proklamasi yang semua berada di kawasan elite Menteng Jakarta Pusat cenderung terawat dan selalu mendapat perhatian.
Tapi apa kabar Taman Lalu Lintas Tanjung Priok yang ada di Jalan Enim? Taman yang seharusnya jadi tempat santai warga mengajak keluarganya refresing menghirup udara segar, atau joging sore di track joging yang tersedia ternyata jauh dari realita dan harapan. Jalur-jalur joging dipenuhi pedagang, penyewa mainan anak, apalagi kalau weekend dan tanggal merah. Di jamin Taman Lalu Lintas atau yang dikenal oleh warga dengan sebutan Taman Segi Tiga bakal seperti pasar tumpah. Bahkan untuk berjalan saja susah.
Mulai pedagang makanan, jajanan anak, baju, mainan, penyedia mainan sewa semua tum[ah di sana. Jadi jangankan bisa meghirup sejuknya udara yang bercampur bau lembab tanah, atau olahraga ringan lari. Untuk jalan saja susah.
Bahkan bisa dibilang pasar serba ada, karena tukang obat tradisional yang jualannya pake atraksi sulap pun terkadang juga buka lapak di taman ini.
Dan hari senin lalu saya sengaja ke sana untuk mengambil dokumentasi, ternyata pedagang sedang tidak boleh masuk jadi mereka berjejer di pinggir jalan di luar taman. Tapi penyewaan mainan anak-anak tetap ada dan memakan lahan kosong yang ada di dalam. bahkan berhimpitan dengan mainan anak-anak yang tersedia di taman, seperti ayunan, besi panjat gantung. Jadi anak-anak hanya bisa bermain di satu sisi. Dan saya sempat melihat seseorang berseragam satpam menerima (meminta) uang dari pemilik mainan. Masalah yang sangat klasik, tapi terus berulang dan butuh perhatian khusus.
Taman bukan lahan bisnis orang-orang tertentu, tapi untuk dinikmati semua orang sesuai dengan fungsinya. Tapi 9 tahun saya jadi warga Tanjung Priok, hal ini tidak ada perubahan sama sekali.
Kondisi ini menjadikan saya bertanya-tanya, apa hanya taman yang banyak dihuni pejabat dan orang elite yang harus diperhatikan dengan seksama? Padahal kalangan menegah ke bawah justru yang paling membutuhkan. Dengan tempat tinggal minim, tanpa taman, pepohonan, ke taman adalah salah satu solusi merefresh diri. Mengobrol santai, menemani anak melihat bermacam bunga, pohon rindang yang tak ada di rumahnya.
Saya pernah melihat pembacaan puisi dan dongeng di Taman Suropati, dan saya berharap juga bisa melihat hal yang sama di Taman Lalu Lintas, mungkinkah?
Bayangkan saat anak-anak menengah ke bawah bisa tahu indahnya puisi atau dongeng yang mungkin jarang mereka dengar karena orang tuanya sibuk berjibaku dengan pencarian nafkah, pulang ke rumah sudah capek. Ruang terbuka publik sebenarnya salah satu yang bisa diberdayakan dengan pengelolaan dan pengawasan yang baik. Saat libur akhir pekan bisa memanfaatkan taman sebagai ruang publik untuk mengakrabkan diri dengan buah hati.
Kalau tamannya berubah fungsi jadi pasar serba ada, bukannya akrab yang ada anak tantrum karena baru sampai taman sudah geger minta jajan, beli mainan, beli baju baru. Kalau sudah begini yang ada orang tua malas mengajak anak ke taman. Apalagi saat akhir bulan.
Saat hal ini tak terkendali, maka biasanya akan merembet ke masalah kebersihan. Sampah di mana-mana, dari pedagang, pengunjung dan tak terkendali. Rumput-rumput dan bunga rusak.
Padahal sesuai namanya, taman ini sebenarnya memiliki fasilitas edukasi tentang berlalu lintas yang bisa dipergunakan untuk memberi pelajaran pada anak tentang tata tertib lalu lintas. Namun sayang tidak berjalan sesuai fungisnya, tertutup oleh alih fungsi yang salah kaprah.
Taman lain pernah saya lihat di kawasan Bulak Rantai Jakarta Timur. Tidak ada pengunjungnya, rumputnya tinggi, suram. Lima tahun kakak saya tinggal di sana dan sebulan dua hingga tiga kali saya pasti ke sana. Selama itu pula tidak ada perubahan. Karena tidak di kawasan utama kota Jakarta? Sehingga tidak penting untuk diperhatikan?
Gelora Sunter ini akses susah, kalau tidak punya kendaraan sendiri. Karena belum ada trayek angkutan umum lewat sini. Dan dibanding Taman Lalu lintas yang berada di tengah pemukiman masyarakat, Gelora Sunter agak ini lebih jauh jaraknya dari Warakas.
Saya beruntung bisa mengajak Alisha seminggu hingga dua minggu sekali ke Gelora, tapi bagaimana dengan yang lain? Bahkan ada seorang teman Alisha yang berkata dia belum pernah sekalipun menginjak Taman sunter. Karena kata mamanya jauh dan ongkosnya mahal. Harus naik ojek. Dan mustahil bukan setiap kali orang ingin menikmati ruang publik yang layak harus jalan dulu jauh. Kalau hanya sesekali tidak masalah. Tapi kebutuhan refresing bukankah harus bisa dinikmati dengan segera dengan mudah?
Dan di Hari Habitat Dunia yang mengangkat tema “Public Spaces for All” kali ini, saya mengharapkan perhatian lebih akan hal ini, melalui media ini saya ingin suara saya didengar dan diperhatikan. Karena semua lapisan masyarakat berhak bahkan wajib menikmati Ruang Publik yang nyaman untuk perkembangan jiwa dan raga yang baik. Terutama anak-anak, di lingkungan mananpun mereka tinggal, status mereka sama. Sama-sama penerus bangsa di masa depan. Dan pertumbuhan mereka secara layak tidak hanya tanggung orang tuanya, tapi tanggung jawab semua pihak termasuk kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H