Mohon tunggu...
Sumarti Saelan
Sumarti Saelan Mohon Tunggu... Freelancer - FREELANCE

FREELANCE

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dampak Sosial dan Psikologis Penyakit TB

12 April 2015   23:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_360443" align="aligncenter" width="300" caption="TB bisa embuh dengan disiplin minum obat, ini lo obatnya (dok.pri)"][/caption]

Penyakit TB adalah salah satu yang mendapat perhatian serius dari pemerintah, karena masuk dalam golongan penyakit menular langsung. Sebenarnya tidak hanya pemerintah Indonesia, bahkan badam kesehatan dunia, WHO juga memberika perhatian khususpada penyakit yang banyak menyerang masyarakat negara berkembang ini.

Hal ini disebabkan pada dampak sosial dan psikologis kompleks yang ditimbulkan oleh penyakit TB. Beban yang harus ditanggung oleh lingkungan yang di dalamnya ada penderita TB sangat berat meski biaya pengobatan gratis. Karena tidak hanya pasien yang terkena imbasnya tapi juga orang-orang di sekitarnya.

Seseorang yang terinveksi TB, produktifitasnya otomatis akan terganggu. Dengan mudah mendapat diskriminasi dari lingkungannya. Seperti akan langsung dikeluarkan dari tempat kerja karena bos tidak mau karyawan lain tertular. Contoh nyata adalah keponakan saya yang tahun lalu langsung dipulangkan oleh sang bos dari Malaysia, padahal baru dua bulan berada di sana.

Mandor tempatnya bekerja di Malaysia tidak mau mengambil resiko karyawan lain tertular dan karena baru dua bulan bekerja, tempatnya bekerja juga menganggap tidak berkewajiban untuk membiayai pengobatannya hingga tuntas. Dan lebih memilih memulangkannya ke Indonesia.

Dampaknya? Biaya berangkat ke sana belum terbayar lunas karena baru kerja dua bulan, hasil yang didapat bahkan hanya cukup untuk menutup biaya makan dan pengobatan singkat yang dijalaninya selama di Malaysia. Sampai Indonesia, anaknya yang masih kecil terpaksa mengungsi ke rumah orang tua agar tidak tertular. Istrinya yang merawat, biaya kehidupan sehari-hari akhirnya menjadi beban orang tua dan keluarga besar.

Hal yang sam juga di ceritakan salah satu blogger yang ikut dalam acara workshop #LawanTB di Bandung, Shian Hwa yang pernah menjadi BMI beberapa tahun di luar negeri. Shian menceritakan salah satu sahabatnya juga harus menerima nasib dipulangkan langsung oleh majikannya karena terkena TB.

Saat saya masih duduk di bangku sekolah dan menjalani pengobatan TB, saya juga merasakan hal yang sama. Saya tahu bagaimana capeknya Ibu saya setiap saat mengantar saya periksa, bahkan saya ingat saat masih duduk di kelas 2 SD pernah mengalami selama 2 minggu berturut-turut saya setiap hari ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan dan rawat jalan.

[caption id="attachment_360444" align="aligncenter" width="300" caption="Pengobatan tersedia di hampir semua faskes, gratis pula (dok.pri)"]

1428857244925253083
1428857244925253083
[/caption]

Saya menderita TB setelah tertular dari Ibu saya yang juga seorang pasien TB. Karena saat itu posisi Ibu saya adalah perantau di Kota besar, dengan kemampuan ekonomi pas-pasan maka tidak punya biaya untuk membayar orang menjaga saya. Menitipkan saya ke kampung juga tidak Ibu saya lakukan, lebih memilih mengasuh saya sendiri dalam kondisi sakit. Tapi saya bersyukur Ibu adalah orang yang benar-benar patuh dan taat dokter.

Pengobatan saya dan Ibu berlanjut saat kami pindah ke salah satu Kabupaten di Kalimantan Selatan. Istilahnya dari RSUD Dr.Soetomo hingga berlanjut ke RSUD Boejashin Pelaihari, tetap diperjuangkan dan dijalani dengan disiplin oleh Ibu saya pengobatan untuk kami berdua.

Setiap saat Ibu harus meluangkan waktu mengambil obat ke rumah sakit yang cukup jauh. Saat saya SD hingga SMP puskesmas belum menyediakan obat TB, maklum kota yang kami tinggali saat itu adalah Kabupaten kecil yang memang belum begitu berkembang.  Mengontrol minum obat saya setiap hari dengan disiplin adalah kegiatan rutin Ibu saya.

Dan saya sebagai pasien harus benar-benar membatasi kegiatan saya. Tidak bisa terlalu aktif ikut ekskul seperti berkemah yang menjadi bagian dari kegiatan Pramuka. Karena akan langsung drop dan sakit. Tidak bisa makan sembarangan, tidak bisa terlalu capek. Hingga SMA baru kondisi tubuh saya mulai lumayan kuat. Saat itu pengobatan TB sudah mulai tersedia di Puskesmas. Obat yang yang saya minum waktu SMA adalah tablet dalam satu papan obat berisi 8 butir dengan kemasan berwarna merah yang harus diminum sekaligus selama 6 bulan. kemudian saya harus melanjutkan dengan kepingan papan obat berwarna biru muda yang berisi 3 butir. Itulah obat TB yang terakhir saya minum sekitar tahun 1999.

Dan masih melekat dalam ingatan saya setiap selesai mengkonsumsi obat-obat tersebut saya langsung lemas, mual dan terasa ingin muntah. Sehingga satu-satunya hal yang saya lakukan setelah minum obat adalah tidur. Rambut saya juga rontok selama 9 bulan mengkonsumsi rangkaian obat tersebut. Setelah minum obat dan tidur saya selalu merasa mimpi buruk, terkadang merasa seperti sedang berada di pinggir jurang dan berbagai bayangan mengerikan lain sering muncul. Yang ternyata belakangan saya tahu ini adalah salah satu efek dari meminum obat TB yang juga sering dialami pasien lain.

Tapi, alhamdulillah selesai pengobatan saya sembuh total hingga sekarang. Meski tetap harus berhati-hati dalam menjaga kesehatan karena memiliki riwayat TB, bisa saja suatu saat kalau teledor dengan mudah akan kembali tertular.

Saat workshop di Bandung, para peserta juga diajak bertemu beberapa pasien TB yang sudah sembuh dan yang masih menjalani pengobatan. Empat orang yang semua perempuan dihadirkan ke depan menjadi narsum untuk berbagi pengalaman mereka sebagai pasien TB yang sudah sembuh dan dua lainnya masih dalam menjalani pengobatan. Dari penuturan mereka, saya bisa merasakan sangat sakit dan melelahkannya menjalani oengobatan TB. Tapi semua harus dijalani dengan disiplin untuk mmenperoleh kesembuhan.

Ada seorang Ibu, sebut saja Bu Euis yang harus dipisahkan dari bayinya yang baru lahir hingga satu tahun lebih kemudian baru boleh menyentuh sang buah hati. Untuk mencegah buah hati tertulat TB MDR yang beliau derita dan terdeteksi saat beliau hamil. Selama pengobatan, setiap hari selama hampir dua tahun sang suami harus benar-benar fokus mendampingi beliau. Mengantar ke RS setiap hari yang jarak tempuhnya berjam-jam dari Kampung beliau untuk mencapai RS Hasan Sadikin Bandung.

Pasien lain, sebut saja Teh Titi, yang tergolong masih muda dengan berat hati mengundurkan diri dari pekerjaannya. Karena pengobatan yang membutuhkan konsentrasi penuh tidak mungkin bisa disambi. Sudah pasti akan mengganggu pekerjaan dan ke stabilan kantornya. Karena setiap selesai minum obat, benar-benar tidak bisa berkatifitas, tapi langsung tidur. Untuk menghindari rasa sakit yang menyerang, mual, lemas, halusinasi parah seperti ada yang “mengajak pergi ke tampat yang mengerikan” dan sebagainya sehingga Teh Titi memilih tidur.

Dan yang paling memprihatinkan adalah kisah salah satu dari 4 narsum ini yang sekarang sudah sembuh dan kegiatannya saat ini banyak dihabiskan memberi semangat dan mendampingi para pasien TB untuk menjalani pengobatan hingga sembuh, sebut saja Teh Wiwi yang terpapar TB-MDR. Saat menjalani pengobatan yang memakan waktu lama beliau mengalami keguguran. Belum hilang rasa sedihnya, sang suami meninggalkannya dan menggugat cerai karena alasan “Bosan melihat beliau tidak kunjung sembuh”. Tapi di sisi lain peristiwa ini akhirnya benar-benar membuat Beliau merasa mendapat banyak hikmah dan kekuatan untuk bisa membuktikan bahwa penyakitnya, TB-MDR bisa disembuhkan dan kehidupannya akan kembali normal seperti sediakala. Dan semua tercapai.

Ini adalah sekelumit kisah dampak sosial dan psikologis yang harus ditanggung pasien TB, dan tidak hanya berimbas pada dirinya sendiri tapi juga orang lain di lingkungannya. Bahkan menurut Dokter Marlene, yang bekerja di KNCV “TB tidak hanya memotong atau menghilangkan satu generasi, tapi satu keturunan akan hilang kalau tidak ditangani dengan benar”.

Belum diskrimanasi dan pandangan salah dari lingkungan, seperti pandangan bagai “kutukan yang harus dimusnahkan dan dijauhi”. Diskriminasi dan

Karena itu sangat dibutuhkan kepedulian kita semua untuk memahami dengan baik apa itu TB dan memberikan pemahaman yang benar kepada orang-orang di sekitar kita. Bahwa TB  bisa sembuh, pasien TB harus terus didukung dan bukan untuk dijauhi. Dengan pengobatan yang disiplin sesuai anjuran dokter, TB bisa sembuh. Berobatnya juga gratis di seluruh Faskes Pemerintah terdekat di sekitar rumah. Kelurahan, kecamatan. Kecuali untuk TB-MDR memang  baru tersedia di beberapa RS-RS tertentu.

Karena itu sebelum TB Reguler menjadi TB-MDR yang pengobatannya sulit, lama bahkan mengancam nyawa, maka disiplinlah saat berobat. Dan bagi yang terkena TB-MDR, percayalah, berobat disiplin dan taat, serta terus berdoa, Insya Allah akan ssembuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun