Sejak terjadi tawuran yang memakan korban beberapa waktu lalu di Jakarta, dunia Pendidikan Indonesia kembali diributkan dengan berbagai opini. Mulai dari pakar Pendidikan, pemerintah, praktisi Pendidikan, guru-guru dan masyarakat luas.
Dari semua opini dan pendapat yang beredar akhirnya menghasilkan sebuah rencana baru yang muncul menjadi berita diberbagai media dan kembali menarik banyak perhatian dan opini dari berbagai kalangan. Yaitu akan kembali dirubahnya kurikulum yang ada oleh Pemerintah melalui Dinas Pendidikan.
Karena banyak kalangan yang menyuarakan pendapatnya bahwa salah satu penyebab tawuran adalah kurangnya Pendidikan akhlak dan Pancasila yang bisa didapat melalui pelajaran agama dan PPKn yang sekarang porsinya sangat sedikit diberikan pada siswa dalam satu minggunya. Tapi benarkah demikian?
Sekali lagi aku tekankan, disini aku hanyalah seorang masyarakat biasa yang memiliki sedikit pemikiran dan opini yang mungkin juga tidak sepenuhnya benar menurut orang lain. Pemikiran ini timbul dari melihat kondisi dilingkungan aku sendiri.
Bolos sekolah, geng-gengan hingga berakhir tawuran sebenarnya tidak hanya terjadi di kota besar seperti Jakarta saja. Yang bisa dibilang godaan gaya hidupnya lebih banyak dan kuat. Tapi juga terjadi di daerah-daerah kecil di pelosok Indonesia.
Dimana aku tidak hanya sekedar sebagai penonton yang menyaksikan kejadian tersebut dari berita berbagai media atau cerita orang lain. Aku pernah mengalami langsung sebagai orang terdekat dari pelaku-pelaku tidakan negatif tersebut. Beberapa keponakanku yang berdomisili di desa yang ada disalah satu kabupaten di Jawa Timur mengalami putus sekolah saat mereka menginjak bangku SMA. Kejadian awal bermula dari seringnya bolos, ikut bergabung dalam geng anak-anak PUNK. Merubah penampilan sesuai geng yang diikuti. Sering nongkrong ditempat tidak semestinya. Seperti kedai "kopi malam". Mulai bisa merokok, minum minuman keras, berujung pada tawuran di sekolah dan lingkungan luar sekolah dan kegiatan buruk lainnya. Saat keadaan sudah memburuk, seperti pemanggilan orang tua ke sekolah dan di rumah keponakanku dicecar seluruh keluarga tentang tingkah lakunya, dan dinasehati untuk berubah, kembali ke jalan yang lurus, dengan santainya keponakanku menjawab dia bosan sekolah.
Jawaban yang cukup memprihatinkan. Bosan sekolah, bosan dengan pelajaran yang sulit, bosan dengan guru-guru yang mengajar dengan monoton. Yang lebih memprihatinkan lagi, dia memiliki semangat yang nyeleneh. Yaitu mau kerja saja. Toh sekolah ujung-ujungnya juga untuk kerja. Cari uang untuk keperluan hidup. Banyak orang lain yang tanpa berpendidikan tinggi bisa bekerja dan punya kehidupan baik. Bisa punya rumah, kendaraan dan cukup makan sehari-hari. Keponakanku memberi contoh orang-orang dilingkungan tempat tinggal keluargaku di desa yang tanpa pendidikan tinggi bisa bekerja ke luar nbegeri dan menghasilkan uang yang lumayan.
Bahkan saat salah satu gurunya datang kerumah merayunya kembali ke sekolah karena merasa ponakanku memiliki kemampuan otak lumayan, dia tetap kukuh tidak mau melanjutkan sekolahnya. Akhirnya setelah melalui perdebatan dan kemarahan keluarga menyerah. Pendidikan formal pun akhirnya berhenti. Dan kegiatan selanjutnya adalah kerja serabutan. Dari buruh tani, buruh bangunan dan kerja serabutan lainnya. Tapi tanpa rencana masa depan. Uang dapat saat itu dan habis saat itu pula untuk kesenangan sesaat. Yaitu masih dengan warung kopinya, masih dengan minuman kerasnya dan terkadang berakhir tawuran ditempat-tempat hiburan sesaat tersebut.
Kasus lain adalah keponakan perempuan yang juga putus sekolah. Tapi dengan alasan biaya. Tapi saat gurunya berjuang membantu dengan cara mencarikannya beasiswa karena tahu kemampuan otaknya yang diatas rata-rata dan setelah berhasil mendapatkan beasiswa tersebut dan menunjukannya ke si anak, jawaban kekecewaan. Si anak menolak, alasannya adalah sekolah menghabiskan biaya. Setelah lulus belum tentu bisa dapat kerja yang sesuai harapan. Dan keponakan perempuanku yang didukung oleh keluarga dengan tegas mengatakan ingin bekerja saja. Sejak SD dia sudah tergiur melihat tetangga-tetangga yang lain yang terlihat sukses mendulang uang di luar negeri. Dan dia sudah daftar melalui seorang "sponsor" yang akan membawanya ke sebuah PJTKI di Surabaya. Dan si guru pun harus benar-benar menelan kekecewaannya. Sedangkan contoh lain saat mudik ke Kalimantan adalah masalah gaya hidup. Betapa kagetnya saat aku tahu beberapa teman keponakanku yang tinggal di satu kabupaten kecil di Kalimantan Selatan kenal dan punya beberapa foto bersama beberapa selebritis ternama tanah air. Dan foto-foto yang terpampang menunjukan lokasi di dalam sebuah klub malam atau ruang disko.
Dan dari cerita keponakanku, temannya itu memang sebulan 2-3 kali selalu meluangkan waktunya untuk menjelajah beberapa dikotik ibukota untuk mencapai satu status "anak gaul". Tanpa perduli nilai-nilai sekolahnya merosot dan mendapat "perhatian" khusus dari para guru. Yang penting happy, fun dan gaul. Dari sini aku menarik kesimpulan, permasalahan terbesar remaja-remaja tersebut adalah kurangnya mereka memiliki motivasi dan tidak punya inspirasi. Hanya sebagian orang tua yang mendukung anaknya dengan motivasi. Sebagian lagi kita tahu hanya penuh penuntutan.
Penuntutan mendapat nilai tinggi, menjaga nama baik keluarga dengan kata-kata ancaman. Menuntut hasil baik tanpa peduli proses. Jadi sangat biasa melihat orang tua sekarang sibuk pontang-panting mencari bahan tugas prakarya anaknya atau mengerjakan semua PR anaknya, sedangkan disaat yang sama anaknya asyik bermain. Dan alasannya selalu sama, kalau dikerjakan sendiri nanti hasilnya jelak nilainya rendah.
Inspirasi, hal penting yang bisa didapat dari lingkungan. Dari lingkungan keluarga di rumah dan luar rumah. Dari berbagai media yang menampilkan sosok dan cerita inspiratif. dari buku, film, acara Tv dan lain-lain. Tapi mengharap remaja sekarang hobi membaca semua itu sulit. Bahkan hobi membaca kini sudah mulai tergerus teknologi digital. Berharap dari TV, sekarang sangat jarang acara TV berisi tontonan yang mendidik. Dari tokoh Nasional, sekarang sangat sulit menemukan tokoh yang bisa dijadikan panutan. Orang tua dan keluarga, nyatanya sangat banyak yang kecolongan.
Karena itu sekolah sebagai salah satu tempat remaja mendapatkan pendidikan formal merupakan salah satu faktor penting membentuk karakter seseorang. Mulai dari tingkat dasar hingga ke jenjang yang tinggi bangku pendidikan adalah salah satu faktor penting. Tapi sudah sangat jarang menemukan guru yang benar-benar "Pendidik" sekarang ini. Yang banyak adalah guru yang hanya sebagai "pentransfer" isi tek buku kepada murid-muridnya.
Aku mendambakan kurikulum Motivasi dan Inspirasi bisa diberikan sejak di bangku pendidikan dasar. Dimana guru tidak hanya bertanya "apa citai-cita kalian?" Dan akan berkata "anak pintar" saat mendengar jawaban bagus dan lucu dari murid. Tapi lebih pada memberi motivasi dan dorongan bagaimana agar cita-cita itu bisa terwujud. Dan memberikan cerita inspiratif melalui perkataan, melalui media tugas dan ain-lain. Bukan sekedar datang untuk memenuhi tanggung jawab sebagai guru karena sudah mendapat gaji dari dari pemerintah.
Aku jadi ingat, dari kecil sekolah hingga lulus SMA dan hampir 17 mengenyam pendidikan hanya satu kali aku mendengar guruku memberi motivasi. Saat di kelas 2 SMP. Yang mana guru PPKn ku yang seorang pria berkata "bagi wanita, raihlah pendidikan setinggi mungkin. Karena meski akhirnya tidak berkarir, dalam beberapa tahun kedepan yang mana jaman semakin moderen dalam rumah tangga seorang ibu dengan pendidikan tinggi pasti memiliki kwalitas rumah tangga yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan tinggi".
Sebuah nasehat motivasi yang terus ku ingat hingga sekarang. Dan aku yakin bila tiap minggunya minimal satu kali dari tingkat dasar (TK) seorang anak terus diberi motivasi dan inspirasi, aku yakin mereka akan mamiliki cita-cita dan keinginan yang tinggi pula dalam hidupnya. Karena akan timbul pikiran akan rasa iri. Iri pada kesuksesan, iri pada penghargaan orang lain dan hal-hal baik lainnya.
Sekali lagi kita tahu, bahwa pendidikan adalah salah satu faktor penting yang menentukan kemajuan suatu bangsa dan negara. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat di sebuah Negara maka akan semakin maju pula negara tersebut. tapi sayangnya masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak berfikir penting tentang pendidikan. Bahkan menganggapnya nomer kesekian. Karena rendahnya motivasi dan minimnya inspirasi yang ada disekitar mereka. Yang ada hanyalah godaan materi.
Begitu pula masalah yang terjadi pada anak-anak perkotaan yang sebagian besarnya adalah anak orang mampu secara ekonomi dan bisa membeli apapun fasilitas penunjang pendidikan terbaik dan berkwalitas tapi ternyata terlibat banyak masalah, baik disekolah maupun lingkungan masyarakat. Karena kurangnya motivasi yang mereka miliki dalam menuntut ilmu dan tidak berpikir bahwa hidup mereka tidak hanya hari ini tapi juga ada hari esok yang masih panjang. Salah satu hal penting yang harus juga disusun oleh mereka sejak dini. Mereka yang terbiasa mendapatkan materi dengan mudah dari orang tuanya dengan mudah pula menyepelekan hal-hal lainnya. Karena menganggap segalanya mudah pula. Termasuk masalah pendidikan. Hingga hilanglah motivasi mereka. Inspirasi yang seharusnya bisa menuntun mereka juga tidak mereka dapatkan. Yang ada hanya diri mereka sendiri dengan segala pikiran egois dan labilnya sebagai seorang anak-anak dan remaja hingga mudah terjerumus dalam hal-hal yang negatif.
Dengan memberikan motivasi kepada anak-anak usia sekolah dari TK hingga SMA minimal satu hingga dua kali dalam seminggu saya yakin itu sudah cukup lumayan. Seaperi yang kita tahu selama ini acara seminar motivasi yang menciptakan inspirasi selalu diadakan untuk para orang dewasa. Jika ada untuk anak-anak mayoritas hanya anak-anak orang mampu yang bisa menikmatinya karena biayanya yang lumayan mahal. Tapi jika dijadikan salah satu kurikulum tentu setiap anak akan bisa menikmatinya meski orang tuanya tidak begitu mampu secara ekonomi.
Karena dengan motivasi dan inspirasi, akan menjadikan seorang anak lebih kritis dan memiliki semangat lebih baik dan tinggi dalam menyingsong masa depannya yang lebih baik. Sebagus apapun infrastruktur yang ada, setinggi dan sebanyak apapun gelar yang dimiliki seorang guru bial tidak bisa memberikan motivasi dan inspirasi bagi seorang anak tentu akan sia-sia. Meski sekali lagi, semua adalah tanggung jawab bersama. tidak hanya pihak sekolah tapi juga engan dukungan penuh keluarga, masyarakat, dengan lingkungan yang nyaman, tentu semua akan lebih baik lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI