Mohon tunggu...
SUMARLIN ZBUTIARAHMAN
SUMARLIN ZBUTIARAHMAN Mohon Tunggu... Dosen - analis hukum

Analis Hukum, Rimbawan, Pemerhati Lingkungan, Dosen

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pemecatan ASN yang Berlaku Surut dan Konsekuensinya terhadap Keterlanjuran Pembayaran Gaji dan Hak Lainnya

9 Juni 2022   08:54 Diperbarui: 2 September 2022   19:10 1623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh SUMARLIN UTIARAHMAN

 

Pada akhir tahun 2018, dunia birokrasi di Indonesia dihebohkan dengan terbitnya Surat Keputusan bersama antara  Mendagri, Menpan-RB dan Kepala BKN Nomor : 182/6597/SJ, Nomor : 15 Tahun 2018, dan Nomor : 153/KEP/2018 tanggal 13 September 2018 tentang Penegakan Hukum terhadap PNS yang telah dijatuhi hukuman berdasarkan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama tersebut Pemberhentian dilakukan terhitung mulai tanggal incracht putusan pengadilan atau dengan kata lain Surat Keputusan tersebut haruslah berlaku surut.

Selanjutnya menindaklanjuti Surat Keputusan Bersama tersebut, Badan Kepegawaian Negara melalui surat Nomor : K.26-30/V.139.-8/99, Tanggal 2 Oktober 2018 telah menyampaikan data PNS yang dihukum penjara atau kurungan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan kepada seluruh Pejabat Pembina Kepegawaian baik yang  berada didaerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) maupun yang berada di pusat (Pimpinan kementerian dan lembaga non kementerian) untuk segera diberhentikan dengan tidak hormat tanpa hak pensiun paling lambat bulan Desember 2018. Surat tersebut juga dilengkapi dengan lampiran Format SK yang wajib diikuti yang terdiri dari :

  • Format 1, Keputusan Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS yang melakukan Tindak Pidana Korupsi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
  • Format 2,  Keputusan Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS yang melakukan Tindak Pidana Korupsi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tetapi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017
  • Format 3, Keputusan Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS yang melakukan Tindak Pidana Korupsi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017.

Ketiga format itu pada konsideran MEMUTUSKAN pada DIKTUM KESATU mewajibkan TMT berlakunya SK haruslah berlaku surut menyesuaikan incrachtnya  putusan yang ditetapkan terhadap oknum PNS dimaksud. Artinya jika PNS bersangkutan divonis oleh pengadilan dengan keputusan yang telah incracht misalnya pada tanggal 1 Januari 2014, maka sekalipun SK Pemberhentian dengan tidak hormat tanpa hak pensiun baru diterbitkan Desember 2018, maka pada kolom terhitung mulai berlakunya pemberhentian tersebut ditetapkan sejak tanggal 1 Januari 2014. Surat Keputusan Bersama 3  Pimpinan Lembaga Tinggi negara pada DIKTUM KEDUA huruf b juga memuat tentang adanya sanksi terhadap PPK (Pejabat Pembina Kepegawain) jika mengabaikan SKB dimaksud.

UNDANG UNDANG OMNIBUSLAW (Sub Cluster Tata Ruang)

membuat surat dinas yang baik dan benar

Pemanfaatan Limbah Cair Kelapa Sawit Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Serta Potensi Pendapatan Asli Daerah

Memahami Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara

Ancaman penjatuhan sanksi atas pengabaian perintah diatas membuat PPK (Gubernur, Bupati, Walikota, Menteri, Pimpinanan lembaga tinggi) merespon  cepat dengan menerbitkan SK Pemberhentian sebagai langkah aman yang walaupun sebenarnya kekuatan SKB dalam produk hukum tata negara kita tidaklah memiliki posisi yang kuat dalam hal pemberian sanksi atas pengabaiannya, dan apalagi ancaman penjatuhan sanksi pada Diktum Kedua huruf b tidak jelas bentuknya.

Terhadap permasalahan diatas, penulis mencoba mengangkat 2 masalah dalam kajian ini, yang pertama Surat Keputusan PPK yang berlaku surut dan  yang kedua konsekwensinya terkait keterlanjuran pembayaran gaji dan hak lainnya terhadap PNS yang diberhentikan pada jeda waktu antara antara TMT Surat Keputusan  Pemberhentian dengan tidak hormat tanpa hak pensiun dengan waktu diterbitkanya SK Pemberhentian dengan tidak hormat tanpa hak pensiun.

Untuk memahami persoalan yang pertama kita dapat merujuk pada perkara yang pernsh diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra ke Makamah Konstitusi terkait status Jaksa Agung Hendarman Supanji. Hendarman Supanji dilantik oleh Presiden SBY pada Tahun 2004, masa jabatan Presiden adalah 5 Tahun yang artinya jabatan Jaksa Agung berakhir pada tahun 2009 seiring berakhirnya masa jabatan Presiden. Namun tanpa ada SK pelantikan baru Hendarman tetap melanggeng menjadi Jaksa Agung hingga statusnya digugat oleh Yusril.

MK yang saat itu dikomando oleh Mahfud MD, memeriksa dan memutus perkara itu yang amar putusannya antara lain,  "terhadap jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji, terhitung keputusan ini dibaca, Rabu, 22 September 2010  pukul 14.35, Hendarman tak sah lagi mengemban jabatan Jaksa Agung.  

Secara substansi MK ingin menyampaikan bahwa sebenarnya Hendarman Supanji sudah tidak sah lagi menjabat sebagai Jaksa Agung sejak berakhirnya Kabinet Indonsia Bersatu Jilid 1 pada Tahun 2009, Namun dalam hal penerapan hukum tidaklah hanya berpegang pada asas legalitas, asas keadilan dan asas kemanfaatan juga harus menjadi bahan pertimbangan. 

Jika Mahfud MD menyatakan tidak sahnya jabatan agung sejak berakhirnya kabinet jilid 1 sejak tahun 2009, permasalahan yang akan muncul adalah bagaimana implikasinya terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh Hendarman Supanji antara berakhirnya jabatan kabinet Indonesi bersatu jilid I hingga dibacakannya keputusn ini.

 Penandatangan surat-surat, penggunaan anggaran, penerbitan aturan, kegiatan seremonial, dan lain sebagainya yang mengatasnamakan Jaksa Agung. Tentulah implikasinya akan sangat luas.

 

Sekalipun antara kasus Hendarman Supanji dan Perintah SKB 3 pimpinan lembaga tinggi negara berlatarbelakang kasus hukum yang berbeda, namun secara substansi kita dapat menarik benang merah kesamaan dari kedua kasus itu. Diantara PNS yang diberhentikan dengan tidak hormat tanpa hak pensiun terdapat beberapa diantaranya yang telah diaktifkan kembali dan telah bekerja sebagaimana mestinya. 

Dengan pemberlakuan berlaku surut, timbul persoalan baru, bagaimana keabsahan dari perbuatan hukum dan tindakan adminsitrasi yang terlanjur dilaksnakan oleh PNS dimaksud.  Apakah kemudian hasil pekerjaan yang telah selesai dan melibatkan pihak-pihak lain kemudian menjadi batal demi hukum ? 

Selanjutnya secara yuridis, berdasarkan ketentuan, Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali sebagaimana dimaksud pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang  Hak Asasi Manusia

Pernyataan tersebut secara tegas menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah bagian dari Hak Azasi Manusia yang setara dengan hak asasi lainnya. Dalam hirarki sistem hukum di Indonesia, berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa UUD Tahun 1945 merupakan produk hukum tertinggi dan haruslah menjadi acuan dalam penyususunan seluruh produk hukum yang berada dibawahnya. Artinya seluruh produk hukum yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam UUD tahun 1945.

Selanjutnya pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan "Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada"  dan pada ayat (2)  "Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwah diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya".

Ketentuan pada pasal 1 ayat (1) tersebut mengandung makna bahwa hukum tidak boleh diberlakukan surut, dan jika terjadi perubahan pada peraturan perundang-undangan maka terhadap pelakunya diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. 

Artinya sekalipun gugatan pemberhentian tidak dengan hormat tanpa hak pensiun yang berlaku surut tersebut tersebut ditolak oleh MK, maka pemberlakuan pada aya (2) haruslah di akomodir dengan tidak lagi membebani PNS bersangkutan mengembalikan gaji dan hak lainnya yang telah diterima. Hal lain yang juga patut menjadi pertimbangan bahwa gaji yang telah dibayarkan bukanlah digunakan untuk menumpuk aset tetapi digunakan untuk menghidupi anak/isteri/suami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Selanjutnya pada angka 124, angka 132, angka 150, angka 156 huruf (a) dan angka 157 pada lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang pada intinya menyatakan larangan pemberlakuan hukum yang berlaku surut terhadap perbuatan pidana dan pembebanan biaya. Ketentuan tersebut kembali menegaskan ketentuan-ketentuan sebelumnya tentang larangan pemberlakuan hukum yang berlaku surut.

Pada Undang-undang lain, Pasal 58 ayat (6) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Negara, menyatakan "Keputusan tidak dapat berlaku surut, kecuali untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan /atau terabaikannya hak warga masyarakat. PNS yang telah diberhentikan dengan tidak hormat adalah  warga masyarakat yang harus dijamin hak-haknya.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SKB 3 Menteri, Surat BKN tentang pelaksanaan SKB 3 Menteri tentang Pemberhentian dengan tidak hormat tanpa hak pensiun haruslah memenuhi unsur BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ( pasal-pasal yang telah diuraikan diatas)

Namun nasi telah menjadi bubur, seluruh PPK (karena "terpaksa" akibat adanya tekanan) baik ditingkat pusat maupun didaerah telah mengeksekusi SKB 3 Menteri dan Surat BKN,  persoalan baru yang kemudian muncul adalah bagaiamana konsekwensi keterlanjuran pembayaran gaji yang telah dilaksanakan pada jeda waktu antara antara TMT Surat Keputusan  Pemberhentian dengan tidak hormat tanpa hak pensiun dengan waktu diterbitkanya SK Pemberhentian dengan tidak hormat tanpa hak pensiun.

Dengan mempertimbangkan alasan yuridis diatas, keterlanjuran pembayaran gaji yang telah dibayarkan bukanlah kesalahan PNS, namun lebih disebabkan oleh carut marut sistem administrasi negara yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku.  Maka Berdasarkan uraian tersebut, menurut pendapat Penulis, sudah selayaknya pemberlakuan pemberhentian PNS dalam penerapannya tidak berlaku surut. 

Selanjutnya karena SK pemberhentain telah diterbitkan oleh PPK dengan TMT berdasrakan incrahnya keputusan pengadilan maka untuk menghindari semakin besarnya kerugian tehadap PNS yang telah diberhentikan, maka sudah sepatutnya penagihan atas keterlanjuran pembayaran gaji PNS tidak perlu dilakukan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun