Mohon tunggu...
Eko Sumargo
Eko Sumargo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pantaskah Guru Sebagai PNS?

4 Mei 2018   04:27 Diperbarui: 4 Mei 2018   04:35 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tentara Nasional Indonesia bertugas menjaga kedaulatan negara di seluruh wilayah NKRI. Bidang kedinasannya jelas. Mereka harus profesional.

Polisi bertugas menjaga keamanan dan ketertiban negara. Bidang kedinasannya jelas. Mereka harus profesional.

Guru bertugas mendidik generasi bangsa. Bidang kedinasannya jelas. Mereka harus profesional.

Ada TNI. Tidak ada TNI honorer.

Ada Polisi. Tidak ada Polisi honorer.

Ada Guru. Banyak Guru honorer.

Mengapa bisa demikian?

TNI

Kriteria rekrutmen  calon TNI jelas. Pendidikan jelas. Penempatan jelas. Jenjang karir jelas.

Polisi

Kriteria rekrutmen calon polisi jelas. Pendidikan jelas. Penempatan jelas. Jenjang karir jelas.

Guru

Kriteria rekrutmen calon Guru? Pendidikan? Penempatan? Jenjang karir?

Karena serba tidak jelas ini maka profesionalisme guru, masalah guru monorer, kesejahteran guru, dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi taruhan.

Uraian diatas adalah gambaran saya dalam menyikapi undang-undang nomer 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menurut saya, idealnya konstruksi dasar profesi guru adalah ikatan dinas layaknya seorang Tentara atau Polisi bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti apa yang dipraktikkan sekarang ini. Dengan cara ini maka profesionalisme guru akan lebih terjamin. Mengapa bisa demikian?

Ada beberapa alasan yang bisa saya kemukakan. Diantaranya:

Kriteria rekrutmen calon guru

Tidak bisa dipungkiri bahwa guru yang profesional berasal dari siswa yang berprestasi. Oleh karena itu maka orang-orang yang direkrut sebagai calon guru harus berasal dari siswa-siswa pilihan. Mereka harus memenuhi kriteria tertentu seperti kemampuan akademik di atas rata-rata, bakat tertentu yang istimewa, keadaan mental dan psikologis yang stabil, tidak memiliki catatan pelanggaran asusila, serta didukung oleh kondisi fisik yang prima. Sayangnya kriteria rekrutmen calon guru belum tertuang dalam satu pasalpun di UU nomer 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Padahal hal ini sangat strategis untuk menghasilkan guru yang profesional. Modal kompetensi awal yang bagus akan banyak berbicara disaat yang bersangkutan mengabdi sebagai guru nanti. Ibarat menanam padi, untuk menghasilkan padi yang melimpah dibutuhkan benih padi yang istimewa.

Pendidikan dasar guru

Setelah didapatkan calon guru dari siswa berprestasi, mereka harus dididik di Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang profesional dan teruji. Sayang sampai saat ini belum ada LPTK yang mampu meluluskan guru profesional. Semua LPTK S-1 di Indonesia yang ada sekarang ini tidak bisa memberi sertikat pendidik secara langsung kepada wisudawannya. Untuk mendapat sertifikat pendidik, sarjana pendidikan harus menempuh kuliah profesi pendidik yang proses itu membutuhkan biaya yang besar yang belum tentu terjangkau oleh semua sarjana pendidikan. Setelah lulus dari pendidikan profesi, sarjana pendidikan belum tentu langsung terserap ke sekolah.

Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan polisi atau tentara, lulusan akademi kepolisian atau akademi militer dengan pasti bisa diangkat sebagai polisi atau tentara jika sudah lulus dari lembaga pendidikan. Sistem pendidikan dasar guru seharusnya mencontoh sistem pendidikan pada tentara dan polisi. Yaitu terpusat pada satu tempat, memiliki standar operasional yang baku, dan dididik oleh dosen yang profesional. Pasal 23 UU nomer 14 tahun 2005 ini sebenarnya sudah menyinggung sistem pendidikan guru ikatan dinas namun realisasi program ini belum nampak.

Penempatan guru

Karena konstruksi dasar profesi guru adalah ikatan dinas maka penempatan guru dalam bertugas adalah tugas ikatan dinas dan merupakan kewenangan LPTK. Sebelum guru ditempatkan di suatu wilayah, harus ada analisis kebutuhan guru di wilayah itu. berapa jumlahnya, apa bidang keahliannya, dan sekolah mana saja yang membutuhkan.  

Di dalam UU nomer 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 24 ayat 1, 2, dan 3 disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota seharusnya adalah sebatas memberi data jumlah kekurangan guru, bidangnya apa saja, dan sekolah mana yang membutuhkan. Kemudian data itu diserahkan ke LPTK untuk ditindaklanjuti. LPTK yang berwenang menyalurkan guru ke daerah tersebut. Bukan yang selama ini dipraktikkan dimana pemerintah daerah melakukan rekrutmen guru yang selanjutnya diangkat sebagai PNS.

Pengawasan guru

Selama ini pengawasan penilaian profesionalisme guru berorientasi kertas. Contoh tes UKG. Kembali ke pertanyaan mendasar, untuk siapa dihadirkan guru profesional? Jawabannya adalah untuk siswa. Maka penilaian profesionalisme guru ditentukan oleh penilaian siswa terhadap guru. Jika penilaian siswa terhadap seorang guru itu baik maka dapat dipastikan bahwa guru yang bersangkutan memang baik. Tidak mungkin siswa menilai baik seorang guru yang cara mengajarnya susah dipahami (kompetensi profesional), tidak disiplin (kompetensi kepribadian), tidak memahami perkembangan dan keadaan siswa (kompetensi pedagogik). Disamping itu, penilaian sesama guru, kepala sekolah, dan masyarakat juga perlu diperhatikan sebagai penilaian kompetensi sosial seorang guru. Di dalam UU nomer 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ini pada pasal 10 dijelaskan kompetensi yang harus dimiliki guru namun tidak dijelaskan cara mengukur kompetensi guru.      

Jenjang karir guru

Profesi guru perlu didinamisasi sedemikian hingga guru terpacu untuk berprestasi. Guru harus diberi reward dan punishment yang jelas dan tegas berdasarkan kinerja nyata selama mengabdi. Sebaiknya penilaian total guru dilakukan setelah yang bersangkutan sudah sepuluh tahun mengabdi. Ada empat katagori penilaian guru berdasarkan kinerjanya di lapangan. Katagori A adalah guru yang memiliki tingkat keilmuan dan pengalaman mengajar yang luar biasa di bidangnya. Guru seperti ini selanjutnya diangkat menjadi dosen di lembaga pendidikan guru. Katagori B adalah guru yang memiliki kemampuan struktural dan organisasi yang mumpuni. Guru seperti ini diangkat menjadi kepala sekolah, pengawas, kepala UPTD, kepala dinas, dan jabatan-jabatan struktural lain. Katagori C adalah guru yang memiliki keilmuan mumpuni namun yang bersangkutan masih setia sebagai guru dan tidak mau ditawari jabatan struktural atau dosen. Katagori D adalah guru dengan penilaian kurang baik atau biasa-biasa saja. Guru seperti ini akan diberhentikan dari kedinasannya untuk segera digantikan oleh guru yang lebih fresh graduate. Dengan sistem kedinasan ini maka dunia pendidikan akan diisi oleh orang-orang yang profesional.

Kesejahteraan guru

Karena sistem ikatan dinas ini secara sistemik akan menghapus kemunculan guru honorer maka kesejahteraan guru akan meningkat secara sistematis. Selama ini golongan guru yang belum sejahtera adalah mereka yang berstatus guru honorer.  

Demikian uraian singkat mengapa seorang guru seharusnya bukan seorang PNS. Jika langkah-langkah di atas dilakukan dengan benar maka permasalahan yang selama ini terjadi seperti profesionalitas guru, masalah guru honorer, kesejahteraan guru, dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia bisa terangkat secara sistematik.

Ditulis oleh:

Eko Sumargo, S.Pd.

Mahasiswa Manajemen Pendidikan

Pascasarjana UNESA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun