Setiap sore mulai jam 3, jembatan Babarsari mulai menampakkan "kehidupan". Diramaikan kalangan muda penggiat kegiatan outdoor. Satu persatu muncul dengan membawa peralatan.
Tali kernmantel, webbing, carrabiner, figure of eight, tepung magnesium dan matras merupakan hal yang biasa dilihat.
Tidak lupa membawa kopi yang sudah diseduh dari kost. Tali mulai direntangkan ke bawah. Diikat pada pembatas tiang jembatan.
Kegiatan pun dimulai dari dinding samping sungai. Dengan bermodalkan kaki kosong tanpa sepatu, pijakan pertama dicari tempat yang halus. Bagi yang bersepatu, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke atas jembatan bisa lebih cepat.
Dinding pondasi jembatan babarsari dari dulu merupakan tempat latihan pecinta panjat tebing. Tiap pondasi mempunyai tingkatan kesulitan sendiri.
Maka sebab itu pula, tiap jalur panjat dinding dinamakan sesuai tingkat kesulitannya. Jalur panjat sisi utara dari barat ke timur Pariwisata 3, Jummin, Cartenz, Fuckin, Pariwisata 1.
Sedangkan nama jalur sisi selatan dari barat ke timur yaitu Sinetron, Slab, Keyakinan, Extreme, Pariwisata 2. Penamaan jalur tersebut diberikan oleh para senior pecinta olahraga panjat tebing karena disini menjadi tempat latihan, nongkrong serta tempat camping. Entah apa yang dipikirkan oleh orang yang memberi nama jalur panjat.
Selain itu menjadi nongkrongnya komunitas penggiat aktivitas outdoor. Dibawah jembatan merupakan camping ground tak resminya teman-teman penggiat alam terbuka. Areanya pun tak luas seperti camping ground pada umumnya.
Disamping jembatan di lewati pula jalur selokan mataram. Selokan yang membentang sejauh 30 kilometer lebih tersebut menghubungkan Sungai Progo di sebelah barat dan Sungai Opak di bagian timur Yogyakarta.Â
Di situ pula jadi tempat latihan lainnya. Selain panjat dinding, jembatan Babarsari dan jalur selokan Mataram juga sering dijadikan tempat latihan SAR.
Dipilihnya jembatan Babarsari atas dasar kemiripan dengan tebing karena tersusun dari batu-batu yang disemen.
Selain itu, dengan tinggian sekitar 15 meter mengundang adrenalin yang besar karena pegiat alam di Jogja adalah anak muda besar.
Kebiasaan di sabtu sore, sudah dibuka tenda untuk bermalam. Menuju sore kayu kering mulai di kumpul. Selepas magrib, mulai dinyalakan api unggun. Setelah makan bareng, gitar pun mulai dimainkan.
Lagu-lagu lawas adalah pilihan untuk dinyanyikan. Beranjak malam, panci mulai diisi oleh air. Memanaskan air untuk menyeduh kopi. Diselingi curhat dan cerita-cerita lucu. Kadang tawa, wajah serius menanggapi sebuah cerita. Tak jarang pula doktrin untuk para junior, untuk tetap semangat menjalani hidup.
Ketika gempa tahun 2004, pada ujung barat selokan yang bersebelahan dengan jembatan patah. Tempat paling ujung tersebut sering menjadi tempat nongkrong pada sore hari. Sembari menyeruput kopi, melihat aktivitas pecinta panjat tebing mengasah kemampuannya "meremas" dengan kuat batuan dinding jembatan.
Saya teringat di tahun 2005, mencoba peruntungan mengikuti sebuah kompetisi panjat dinding di kampus STTNas (sekarang ITN). Lomba tersebut dihelat oleh Mahasiswa Pecinta Alam kampus tersebut. Tipe perlombaan panjat yang saya ikuti adalah bouldering, yaitu panjat di sebuah  dinding yang berukuran lebih pendek dari papan panjat dinding.
Saya ikuti lomba tersebut tanpa persiapan dan pengetahuan yang minim tentang ilmu panjat. Ternyata bouldering membutuhkan stamina dan teknik yang khusus. Jadilah saya peserta yang begitu konyolnya tanpa persiapan berani menantang papan panjat. Alhasil belum sempat 1 menit sudah drop alias gugur.
Selepas dari lomba itu, saya pun selalu melintasi jembatan Babarsari hanya sekedar melihat orang-orang latihan.
Tampak tangan yang kuat mencengkram batuan yang menonjol. Dengan persiapan dan peralatan standar panjat yang harus disediakan.
Kadang bersama teman-teman juga mencoba "meremas" batuan yang jadi pijakan untuk sekedar uji nyali. Tapi sering pula gagal karena pemanasan dan teknik yang kurang dikuasai.
Alhasil, jadilah kami membentangkan tali untuk mencoba jalur adrenalin lain. Rapeling juga asyik untuk dinikmati.
Selain panjat dinding, jembatan dan jalur Selokan Mataram pun dipakai untuk turun dengan tali dari atas jembatan ke bawah dan
Jembatan Babarsari ini untuk para penggiat alam jadi tempat latihan panjat tebing dan latihan SAR (Search And Rescue).
Komunitas, sekolah maupun kampus latihan di sini. Jadi tempat ini memiliki daya tarik tersendiri. Rasanya ada yang kurang kalau belum mendatangi tempat ini di sore hari.
Sekitar Jembatan Babarsari saat ini  sudah ramai oleh bangunan perumahan. Kos-kosan dan tempat tongkrongan sepanjang selokan Mataram menjadikan Jembatan Babarsari menjadi tren baru masyarakat.Â
Atau bisa dikatakan ikon wisata alam ditengah kota. Meskipun secara administratif masuk ke kabupaten Sleman, kami tetap menyebutnya bagian dari kota Jogja.
Memang, Jogja menyimpan SEMANGAT yang tak akan pernah habis.
Never Ending Story, dimana akan diingat  suatu kenangan yang tak akan hilang tercoret oleh waktu.
Dompu, Agustus 2021
#katonbagaskara
#yogyakarta
#attributeforPatrapala
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H