Mohon tunggu...
Suman HaES
Suman HaES Mohon Tunggu... -

Aku akan melangkah hingga meraih harapan tak berbatas. jika gagal aku akan melangkah lagi dan melangkah lagi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Akar Persoalan Kerusuhan Tumenggung , Siapa Untung Siapa Buntung (2)

10 Maret 2011   08:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Suman HS & Arif R. H

JIKA kita memahami akar persoalan Tumenggung sesungguhnya. Sebenarnya berawal dari penyebaran selebaran yang menghina sebagian kepercayaan  atau tradisi umat Islam.  Kasus penyebaran selebaran ini menimbulkan kemarahan massa.  Kemudian orang yang menyebarkan selebaran di amankan dan di vonis bersalah oleh pengadilan, kurang lebih lima tahun. Massa di Tumenggung tidak puas dengan vonis pengadilan, berlanjut pada pengrusakan rumah-rumah ibadah  disekitarnya.  Ini sesungguhnya persoalan Tumenggung.

Berangkat dari persoalan ini, kita menganalisa secara cerdas dan jujur dengan kerangka sosiologis . Satu agama atau aliran kepercayaan yang sudah diyakini kebenarannya akan sulit diubah oleh orang lain yang mungkin juga punya kepercayaan yang berbeda. Karena itu dalam kerangka perbandingan agama, kita tidak akan bisa berdebat untuk mendapatkan kebenaran, kecuali kita mencari  nilai-nilai persamaan dalam aspek eksistensi manusia.

Karena itu kita harus meyakini bahwa menyebar suatu agama kepada orang yang sudah beragama sesungguhnya akan menimbulkan konflik. Kita juga harus sepakat bahwa menganggap agama kita paling benar dan menyalahkan agama lain adalah salah, dan akan berbuntut pada kemarahan massa. Karena tidak seorang pun di dunia ini minta di lahirkan dalam agama tertentu. Saya lahir mungkin karena orangtua saya muslim, karena itu saya menjadi seorang muslim. Sahabat saya, kebetulan dia penganut Katolik karena dilahirkan oleh orangtua yang juga penganut Katolik. Kenalan saya, adalah penganut Protestan, karena ia dilahirkan oleh orangtua yang beragama Protestan. Demikian juga, sahabat –sahabat saya yang beragama yang lainnya, Hindu maupun Budha.

Kami teringat akan bukunya Ahmad Wahid, seorang aktivis HMI dalam bukunya Islam Soliter. Dia memberikan pertanyaan yang menggelitik kepada kita semua, andaikan di hari akhirat nanti ada satu agama yang paling benar maka ketika Tuhan bertanya, mengapa kau menganut agama “A” sedangkan agama “B” yang benar. Manusia itu akan menjawab, dengan mengkritik Tuhan. Kalau Tuhan tahu bahwa agama “B” yang benar mengapa Tuhan menciptakan saya melalui orantua saya yang penganut agama “A” ? Tuhan mungkin tersipu malu dengan pertanyaan balik hambaNya.

Kita menganut satu agama, pertama karena kita dilahirkan. Ini menjadi keharusan dan tidak bisa di hindari. Kemudian dalam perjalanan sesorang mungkin merasa agama lain lebih benar atau dapat memberi keuntungan baik,  dunia maupun akhirat, maka orang itu akan mungkin berpindah ke agama lain dengan kesadaran yang sungguh-sungguh.  Atau agama warisan orangtuanya di yakini memberikan keselamatan dan dikaji dengan kesadaran intelektual. Penganut ini disebut dengan penganut moderat.

Sementara orang beragama karena orangtuanya disebut penganut tradisional.  Penganut di tingkat ini emosional dekat. Jika kepercayaannya merasa diganggu atau dihina orang lain. Penganut itu mudah terprofokasi untuk melakukan pembalasan.  Bahkan, pengrusakan rumah ibadah ataupenganut agama lain yang dianggap mengganggu ketenangannya.

Belajar dari kasus Tumenggung, masyarakat NTT harus lebih mawas diri dan melihat suatu kasus dengan pisau intelektual yang cerdas, sehingga kita bisa  menempatkan mana yang harus dikerjakan dan mana yang harus di tinggalkan. Sebuah kesadaran kolektif bagi masyarakat NTT bahwa kita adalah satu. Kita memang berbeda dari agama, dari suku, dan dari pulau. Perbedaaan itulah membuat kita satu. Jika ada peristiwa yang terjadi di luar itu adalah peristiwa mereka bukan peristiwa kita. Sebagai manusia mungkin kita ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Bukan berarti, apa yang mereka rasakan harus kita lakukan. Karena itu perasaan berkabung adalah sikap impati yang tepat sedang kan sikap provokatif adalah suatu sikap negative yang merusak. Kita mau merusak saudara-saudara kita di NTT yang setiap hari kita bertegur sapa, saling mengunjungi. Karena itu benang-benang pergaulan tidak boleh akan kusut karena persoalan orang lain di luar sana. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun