Pemerintah mulai menggalakan kembali gerakan nasionalisme. Dari mulai pemerintah pusat, DPR, MPR, dan sampai pemerintahan daerah dengan berbagai jenis program. Pada setiap daerah Kabupaten/Kota diharuskan memiliki Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK) yang diisi oleh berbagai komponen masyarakat.Â
Asalnya lembaga penjaga wawasan kebangsaan dan nasionalisme secara mutlak milik pemerintah seperti BP7 di era Orde Baru. Presiden Jokowi pada tahun 2017 ini, juga meresmikan lembaga Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang diketuai oleh Yudi Latief.
Mengapa nasionalisme penting bagi bangsa Indonesia? Hasil penelitian ISSP (International Social Survey Programme) yang berbasis di Norwegia pada tahun 1995 (melibatkan 23 negara) dan 2003 (melibatkan 34 negara) menunjukkan terdapat korelasi positif antara semangat kebangsaan dan tingkat kemakmuran sebuah bangsa. Artinya bahwa semangat kebangsaan, rasa memiliki akan bangsanya, dan berperilaku menujukkan kesadaran akan bangsanya akan menjadi faktor penentu kesejahteraan dan kejayaan sebuah bangsa.Â
Akan tetapi potret wawasan kebangsaan bangsa Indonesia, tahun 2015 Indonesia menempati urutan ke 95 dari 106 negara yang disurvei. Berdasar pada data ini, pantas bangsa Indonesia masih memiliki berbagai masalah yang serius terkait kesejahteraan warganya.
Perusak Nasionalisme
Tatanan kehidupan di daerah menujukkan pemahaman dan pengamalan yang baik akan nilai-nilai kolektif sebagai bangsa dan negara. Tetapi ada sejumlah masalah yang dapat merusak tatanan nasonalisme yang telah terbangun di tengah-tengah masyarakat. Menurut penelitian dan pengembangan Kompas (Jajak Pendapat, 15/8/2016) merilis hasil surveinya faktor-faktor yang dapat merusak nasionalisme di antaranya: membudayanya ketidak jujuran atau korupsi, kurangnya penegakan hukum, minimnya keteladanan pemimpin sehingga muncul rasa tidak puas pada pemerintahan, minimnya rasa persatuan, sikap fanatik kelompok dan SARA, lunturnya minat budaya dan produk lokal, kondisi perekonomian, dan individualisme atau gotong Royong memudar.
Tingkat korupsi yang tinggi (dengan OTT di dimana-mana banyak kepala daerah tertangkap), keteladanan yang rusak dari pemimpin, dan kurangnya penegakkan hukum menjadi faktor yang merusak nasionalisme. Indonesia masih menduduki tingkat korupsi yang memprihatinkan, yaitu sampai saat ini Indonesia menempati urutan yang 88 dari 168 yang diukur tingkat korupsinya (Corruption Perception Index, 2015, TI).Â
Rilis Kejaksaan Agung (data tahun 2015) korupsi di lingkungan pejabat publik Indonesia di daerah yaitu sebanyak 331 orang Kepala daerah, 3.169 orang anggota DPRD, dan Pegawai Negeri sipil 1.211 orang. Termasuk 19 menteri dan pejabat lembaga negara masuk kubangan masalah korupsi. Secara khusus, kementerian dalam negeri memiliki data yang lebih banyak dibanding dengan Kejaksaan Agung tentang kepala daerah yang tersangkut korupsi yaitu 343 orang. Artinya sekitar 70 persen Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah terjerat kasus korupsi baik yang ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Tingkat korupsi yang tinggi dilakukan oleh sebagaian besar kepala daerah dan atau wakil kepala daerah menujukkan bahwa mayoritas kepala daerah memiliki daya rusak yang dasyat dan masif terhadap nasionalisme. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melaporkan 20 rekening gendut kepala daerah pada penegak hukum sejak tahun 2015. Rekening gendut dimiliki oleh para kepala daerah bupati/wali kota dan gubernur. 10 rekening sedang ditelusuri oleh KPK sisanya oleh kejaksaan agung.Â
Korupsi kepala daerah bersumber pada dua lahan basah, yaitu eksploitasi APBD dalam berbagai proyek pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Oleh karena itu Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan di beberapa daerah di Tatar Priangan dan Indonesia jangan sampai pemimpin yang terpilih adalah kepala daerah perusak nasionalisme yang memiliki daya destruktif pada masa depan bangsa.
Berguru Nasionalisme dari Pedesaan