Peran Bapas Dalam Sistem Peradilan Pidana
(Oleh: Sumadi,S.H.,M.H JFT PK Muda di Bapas Kelas I Tangerang)
Â
Pendahuluan
Generasi muda merupakan elemen vital dalam kelangsungan kehidupan manusia serta kemajuan suatu bangsa dan negara. Sesuai dengan Konstitusi Indonesia, peran strategis anak telah diakui dengan tegas oleh negara, yang menjamin hak-hak mereka terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak-anak tidaklah sekadar replika dari orang dewasa, oleh karena itu, perlakuan yang berbeda perlu diberikan untuk memenuhi kebutuhan khusus mereka. Tujuannya adalah melindungi dan mengayomi anak-anak agar mereka dapat mempersiapkan masa depan mereka dengan baik. Potensi yang dimiliki oleh generasi muda saat ini dapat menjadi kekuatan dalam mempercepat pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Untuk memastikan pertumbuhan mereka, baik secara mental maupun fisik, serta interaksi mereka dalam masyarakat, anak-anak memerlukan perhatian khusus. Selain itu, perlakuan terhadap mereka harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan konseptual, sehingga potensi yang terpendam dalam diri anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara seimbang. Anak-anak adalah individu yang memiliki perasaan, pikiran, keinginan, dan harga diri. Oleh karena itu, mereka harus diberi kesempatan untuk didengar dan dihargai pendapat mereka dalam hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan mereka. Perkembangan dunia yang begitu cepat tidak lain merupakan hasil dari perkembangan pemikiran manusia, baik yang memberikan dampak positif maupun dampak negatif (Susilowati, Upaya Meminimalisasi Penggunaan Pidana Penjara Bagi Anak, (Semarang, Universitas Diponogoro, 2008). Hlm 9)). Mental anak yang masih dalam tahap pencarian jati diri, kadang mudah terpengaruh dengan situasi dan kondisi lingkungan di anak berada tersebut buruk, dapat terpengaruh pada tindakan yang dapat melanggar hukum. Hal itu tentu saja dapat merugikan dirinya  sendiri dan masyarakat. Tidak sedikit tindakan tersebut akhirnya menyeret mereka berurusan dengan aparat penegak hukum (sumber dari: Novie Amalia Nuraheni, Sistem Pembinaan Edukatif Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana (Semarang : Universitas Diponogoro, 2009), hlm 1
Di Indonesia, masalah anak yang berkonflik dengan hukum mempunyai kecenderungan semakin meningkat. Catatan kriminalitas terkait anak di Indonesia seperti yang diungkapkan oleh  Direktur   Bimbingan   Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan data bahwa anak yang berada di lingkungan rutan dan lapas berjumlah 3.812 orang. Anak yang diversi sebanyak 5.229 orang, dan total   sekitar 10 ribu anak termasuk mereka yang sedang menjalani asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti jelang bebas http://www.pikiran-rakyat.com/bandungraya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-anak-kiniberhadapan-dengan-hukum, diakses tanggal 26 Oktober 2017. Data tersebut menunjukkan jumlah anak yang berkonflik di Indonesia cukup banyak.
Maraknya kasus hukum yang menimpa anak- anak di Indonesia, bukan berarti mereka sama seperti orang dewasa yang sudah mempunyai akal dan pengalaman. Perilaku ironi anak-anak lebih banyak disebabkan lingkungan sosial, keluarga dan gagalnya tanggung jawab negara untuk memenuhi hak-hak mereka. Posisi anak-anak dalam instrumen HAM nasional dan internasional ditempatkan sebagai kelompok rentan yang harus diberlakukan istimewa, dan negara mempunyai tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak- hak istimewa tersebut.
Pasal 40 Konvensi Hak Anak sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak-hak Anak) memberikan definisi yang dimaksud dengan "Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana" (Pasal 40 ayat (1) Konvensi Hak Anak). Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikan anak yang berkonflik dengan hukum "a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence. (General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985).
Salah satu hak istimewa anak ketika berhadapan dengan hukum adalah dalam penanganan kasus hukumnya harus diberlakukan berbeda dengan orang-orang dewasa. Pada Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan "Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, Penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan". Ayat (2) menyatakan "Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, dan tenaga ahli lainnya".
Perlakuan istimewa terhadap anak yang berkonflik dengan hukum telah dijamin dalam instrumen-instrumen hukum HAM nasional dan internasional, baik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan atau instrumen hukum HAM internasional seperti Konvensi tentang Hak-Hak Anak, Peraturan-peraturan Minimum Standar PBB Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (Beijing Rules) dan Pedoman PBB dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Anak (The Riyadh Guidelines). Namun, sampai saat ini, pelanggaran hak anak yang bermasalah dengan hukum masih berlangsung. Penanganan terhadap anak bermasalah dengan hukum tidak jauh berbeda dengan penanganan kasus yang dihadapi orang dewasa.
Perlakuan istimewa dituangkan dalam Prinsip Juvenile Court di Amerika Serikat. Sebagaimana dicatat oleh Green Wood, antara lain:
Pertama, menjunjung asas praduga tidak bersalah, dengan menyatakan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan seorang anak bukan sebagai kejahatan melainkan sebagai perilaku delinkuensi yang merupakan perwujudan dari belum mampunya seorang anak untuk bertanggung jawab.
Kedua, penempatan anak dalam lembaga bukan sebagai penghukuman melainkan untuk mendapat pembinaan dan resosialisasi sementara pada orang dewasa vonis.
Ketiga, dalam proses persidangan anak bersifat tertutup, artinya hanya diketahui oleh keluarga dan pihak-pihak yang terlibat dalam peradilan, sementara pada orang dewasa persidangan bersifat terbuka untuk umum.
Keempat, pada peradilan anak hadir seorang pekerja sosial yang memberikan social report guna memberikan rekomendasi bagi hakim mengenai penempatan.
Kelima. Masa pembinaan anak dalam lembaga lebih singkat daripada orang dewasa.
Keenam, dituntut adanya pemisahan antara pelaku delinkuensi dan pelanggaran dewasa baik selama dalam proses peradilan hingga menjalani hukuman.
Ketujuh, dalam menangani kasus delinkuensi harus diputuskan lebih cepat dari kasus orang dewasa dan disposisi atau penempatan hakim harus bervaria.
Oleh karenanya pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan  mempunyai  tujuan   akhir yaitu terciptanya kemandirian warga binaan Pemasyarakatan atau membangun manusia mandiri. Sistem Peradilan pidana dalam kerangka merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka menegakkan hukum pidana dan menjaga ketertiban sosial, dilaksanakan mulai kerja polisi dalam melakukan penyidikan peristiwa pidana, penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, pemeriksaan perkara di pengadilan dan pelaksanaan hukuman di Lapas, Rutan dan Cabang  Rutan. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut harus saling mendukung secara sinergis sehingga tujuan dari Sistem Peradilan Pidana tersebut dapat tercapai. Salah satu kegiatan dalam rangkaian kegiatan sistem peradilan pidana tersebut dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang merupakan bagian dari kegiatan sub sistem pemasyarakatan narapidana atau sub-sub sistem peradilan pidana. (Gunarto, Peranan Bapas Dalam Perkara Anak, diunduh dari http://bangopick.wordpress.com/2008/ 02/09/peranan-bapas-dalam-perkara-anak /diakses tanggal 26 Oktober 2017)
 Kedudukan hukum dalam peraturan perundangan Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka 4 di rumuskan bahwa Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Adapun Klien Pemasyarakatan dirumuskan sebagai seseorang yang berada dalam bimbingan BAPAS (Pasal 1 Angka 9). Peran BAPAS tersebut dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 Angka 6, Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembimbingan klien pemasyarakatan disebut sebagai pembimbing Kemasyarakatan. Dengan demikian dalam tugasnya melakukan pembimbingan terhadap klien pemasyarakatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka  hal yang perlu dikaji adalah mengenai aspek hak asasi manusia dalam peran BAPAS terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam rangka kepentingan terbaik bagi anak melalui penguatan kelembangan. Tujuannya adalah untuk mengindentifikasi perlindungan hak anak yang berkonflik dengan hukum dalam tugas dan fungsi yang dilakukan BAPAS.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak membuat pembimbing dan pendampingan kemasyarakatan mempunyai dasar hukum yang kuat dalam tugasnya membuat litmas, hadir dalam sidang sebagai anggota sidang anak dan membimbing klien (anak yang berkonflik dengan hukum). Selain itu BAPAS mempunyai peran dan fungsi dalam melaksanakan penelitian kemasyarakatan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Penyidik dalam proses diversi di tingkat kepolisian, maupun ketika proses diversi di tingkat pengadilan.
Selain itu laporan penelitian kemasyarakatan digunakan pula sebagai salah satu bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara anak yang berkonflik dengan hukum, sebagaimana tercantum dalam Pasal 60 Ayat (3) Undang-Undang  Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan oleh hakim, maka terdapat implikasi yuridis berupa putusan batal demi hukum (Pasal 60 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Seperti yang dijelaskan juga oleh Sambas bahwa Anak berkonflik dengan hukum yang melewati tahapan- tahapan pengadilan tanpa kehadiran pendamping atau salah satunya BAPAS cenderung untuk terjerumus kembali kedalam pelanggarannya baik itu dengan kasus yang sama ataupun dengan kasus yang berbeda.
BAPAS adalah salah satu pihak yang terlibat selama proses peradilan Anak yang berkonflik dengan hukum dari awal anak ditangkap hingga anak menyelesaikan masa hukumannya. Hal ini membuat BAPAS memiliki peran yang penting dalam proses peradilan Anak yang berkonflik dengan hukum. Secara umum peran BAPAS dalam proses peradilan Anak yang berkonflik dengan hukum terbagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap sebelum sidang pengadilan (pra adjudikasi) yakni penyidikan, tahap saat sidang pengadilan (adjudikasi) yakni pendampingan di persidangan dan tahap setelah pengadilan (post adjudikasi) yakni pengawasan dan pembimbingan bagi Anak yang berkonflik dengan hukum.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka dapat dikemukakan bahwa peran dan fungsi  BAPAS dalam menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum sangat penting demi tercapainya tujuan dari sistem peradilan pidana anak.
Karena dengan adanya laporan penelitian kemasyarakatan, diharapkan keputusan yang diambil oleh hakim tidak melukai rasa keadilan dan dapat terwujud sistem peradilan pidana yang menjamin perlindungan kepentingan  terbaik bagi anak, sehingga stigma negatif terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dihindarkan. Dalam penjelasan umum Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana dijelaskan bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana anak adalah untuk mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.
Konsep Bapas dalam pendampingan dan pembimbingan Anak Berkonflik Dengan Hukum
Sistem Peradilan Pidana Anak, Hakim Anak dalam mengambil serta membuat keputusan tentu dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah Laporan Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS yang sangat membantu hakim dalam memutus suatu perkara anak dengan melihat latar belakang anak dan motif anak melakukan kejahatan. Membuat laporan kemasyarakatan merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 13 huruf (b) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bahwa BAPAS wajib membuat laporan penelitian pemasyarakatan. Sedangkan Pembimbing Kemasyarakatan adalah BAPAS yang berdasarkan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 mempunyai tugas melakukan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap anak serta membuat Laporan penelitian kemasyarakatan digunakan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
Hal senada dikatakan oleh Gultom bahwa hakim dalam mengambil keputusan terkait perkara anak, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hakim salah satunya adalah laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS yang dalam laporan tersebut dijelaskan mengenai latar belakang dan keadaan anak. Selain itu pertimbangan terkait dengan psikologi anak tetap harus diperhatikan oleh hakim dalam mengambil keputusan. Hal tersebut semata-mata untuk kebaikan anak itu sendiri. Penanganan yang salah dalam proses pengadilan anak, dapat menimbulkan pertumbuhan mentalitas atau kejiwaan anak negatif dan berbahaya bagi penciptaan generasi muda untuk masa mendatang.
Laporan Pembimbing Kemasyarakatan untuk kepentingan persidangan mencakup hal-hal sebagai berikut :
- Data pribadi anak, keluarga, pendidikan, dan kehidupan sosial;
- Latar belakang dilakukanya tindak pidana;
- Keadaan korban dalam hal ada korban dalam tindak pidana terhadap tubuh atau nyawa;
- Hal lain yang dianggap perlu;
- Berita acara diversi; dan
- Kesimpulan dan   rekomendasi dari pembimbing kemasyarakatan.
Pasal 60 Ayat (3) Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan putusan perkara. Apabila hakim tidak mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dalam putusanya,  maka  putusan  hakim   tersebut batal demi hukum. Selain itu Laporan penelitian kemasyarakatan oleh Pembimbing Kemasyarakatan sangat berpengaruh terhadap sukses atau tidaknya peradilan anak.
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Hawnah Scaft yang dikutip dalam penelitian Anggraeni, menyatakan bahwa:
Suksesnya peradilan anak jauh lebih banyak tergantung pada kualitas dari probation officer (petugas BAPAS) daripada hakimnya. Peradilan anak yang tidak memiliki korps pengawasan percobaan yang membimbing dengan bijaksana dan kasih sayang ke dalam lingkungan kehidupan anak dan memberikan petunjuk bagi standar pemikiran yang murni bagi anak mengenai hidup yang benar, hanyalah mengakibatkan fungsi peradilan anak menjadi kabur kalau tidak ingin menjadi sia-sia.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat diperoleh pemahaman bahwa kesuksesan suatu peradilan anak tergantung pada seberapa besar kualitas dari probation officer (petugas BAPAS) yang dimaksud dalam hal ini adalah Pembimbing Kemasyarakatan dalam melakukan penelitian dan membuat laporan penelitian kemasyarakatan. Kualitas laporan penelitian kemasyarakatan yang digunakan hakim sebagai dasar pertimbangan sangat mempengaruhi terhadap nasib anak. (Sekian Penulis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H