Mohon tunggu...
SUMADI
SUMADI Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DI BAPAS KELAS I TANGERANG

Membantu menambah wawasan masyarakat tentang Hukum Pidana dan Keadilan Restoratif, serta pembaharuan hukum yang berlaku saat ini

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Restorative Justice untuk Anak Apakah Menjadi Solusi?

4 Juni 2023   13:27 Diperbarui: 4 Juni 2023   19:50 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RESTORATIVE JUSTICE UNTUK ANAK APAKAH MENJADI SOLUSI?

( Oleh: Sumadi, S.H.,M.H dari JFT PK Muda di Bapas Kelas I Tangerang )

Indonesia adalah negara yang besar, terdiri dari beribu-ribu pulau karena Indonesia merupakan negara agraris. Bangsa ini menjadi incaran negara-negara lain karena Indonesia kaya akan sumber daya alam. Mulai dari rempah-rempah atau hasil perkebunan, minyak bumi, kekayaan hutan hingga bahan tambang. Semua itu ada dinegeri ini, Indonesia tercinta.

Bangsa Indonesia membutuhkan generasi penerus yang berkualitas, berahlak mulia dan bermental baja. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib kita lindungi, karena anak adalah aset bangsa. Apakah pengertian dari anak? Mari kita baca dan simak baik-baik artikel ini hingga akhir.

Menurut Wikipedia Indonesia, Anak secara garis besar berarti sesuatu yang lebih kecil, seseorang yang belum dewasa, atau suatu objek yang "dibawahi" oleh objek lain. Namun, arti tersebut mencakup hal-hal yang beragam menurut disiplin ilmiahnya. Dalam bidang biologi, anak umumnya adalah makhluk hidup yang belum mencapai tahap matang atau dewasa. Defisi anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah sebagai berikut: "Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan". 

Sedangkan arti anak menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah anak yang berhadapan dengan hukum atau biasa disebut dengan ABH. Pengertian dari anak yang berhadapan dengan hukum terbagi menjadi 3 bagian yaitu Anak yang berkonflik dengan hukum (Anak Pelaku), Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi).

Mari kita jabarkan satu persatu pengertian dari Anak Pelaku, Anak Korban dan Anak Saksi sesuai amanat Undang-Undang SPPA. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak sebagai Pelaku  adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. 

Anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan/atau dialaminya sendiri. Itulah pengertian anak menurut hukum pidana.

Restoratif Justice atau Keadilan Restoratif menurut Undang-Undang SPPA adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan Kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sedangkan Diversi merupakan bagian dari Restoratif Justice. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana. Pembimbing Kemasyarakatan (PK) adalah Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas), Pendampingan, Pembimbingan, dan Pengawasan terhadap Klien, baik di dalam maupun di luar proses peradilan Pidana.  Lantas siapa sajakah pihak-pihak yang terlibat dalam proses Diversi ini? Mengenai proses Diversi akan kami bahas pada artikel yang lain.

Faktanya, banyak kasus-kasus pidana yang melibatkan anak sebelum terbitnya Undang-undang SPPA berujung pada pemenjaraan atau pidana penjara. Bahkan untuk kasus ringan pun berakhir dipenjara. Akhirnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak pun terisi penuh melebihi kapasitas. Tidak ada yang salah dengan aparat penegak hukum kita, mengingat azas hukum yang mengatur demikian bahwa ketika ada masyarakat yang dirugikan dan melaporkan kepada aparat penegak hukum, maka aparat penegak hukum wajib menyelesaikan perkara ini hingga tuntas dan seadil-adilnya.

Peran aktif pemerintah melalui perangkat hukumnya seperti Penyidik di Kepolisian, Jaksa di Kejaksaan, Hakim di Pengadilan, Pembimbing Kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan, Pekerja Sosial pada Dinas Sosial atau Kemensos, serta Perhimpunan Advokat  bersinergi mencari solusi terbaik untuk generasi masa depan bangsa. Karena bangsa ini butuh generasi-generasi penerus yang berkualitas dan mempunyai daya juang tinggi agar Indonesia layak diperhitungkan sebagai negara yang maju dikancah Internasional.

Sekilas sejarah terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, berawal dari para penggiat dan pemerhati yang terdiri dari pakar hukum, psikolog, pakar dalam dunia medis, pakar dalam dunia pendidikan dan lain-lain terkait anak-anak melalui organisasi kelembagaannya melakukan upaya keras agar anak-anak yang terlibat tindak pidana tidak lagi berujung pidana penjara. 

Para Penggiat mencari solusi alternatif agar anak dapat diselamatkan masa depannya, Anak menjadi cikal bakal generasi penerus bangsa yang harus diperhatikan tumbuh kembangnya, pendidikannya dan hak-hak lainnya. Penggiat dan pemerhati anak menggandeng beberapa kementerian terutama dalam bidang hukum, dan Kementerian lain terkait anak yaitu Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dimana penjara anak berada dalam lembaga tersebut, Mahkamah Agung dimana para hakim yang mempunyai kewenangan memutus perkara anak, Kejaksaan yang menuntut anak pelaku serta Kepolisian yang menangkap dan menyidik kasus anak, Kementerian Sosial, serta lembaga pemerintah Independen maupun non independen yang terkait anak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas Perlindungan Anak agar dapat bersinergi menyelamatkan aset bangsa.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga negara independen, sedangkan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) merupakan lembaga masyarakat. (sumber Publikasi KPAI)

 Lembaga pemerintah dan penggiat serta pemerhati anak berpikir dan bekerja keras bersinergi mencari solusi terbaik agar kasus-kasus anak tidak lagi berujung pada pidana penjara. Dengan perjuangan dan kerjasama tersebut maka terbitlah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang telah berhasil menyusutkan angka anak yang melakukan tindak pidana dengan berujung pada pidana penjara. Proses hukum anak semaksimal mungkin dihindarkan dari putusan pidana penjara atau Ultimum Remedium sesuai amanat Undang-undang SPPA.

Sekilas catatan informasi saat penulis melakukan wawancara disalah satu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di wilayah Banten, bahwa dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun sejak berlakunya Undang-undang SPPA, angka penghuni di lembaga tersebut turun secara signifikan. Sehinga pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tersebut dapat berjalan optimal. Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal memberikan rekomendasi terhadap majelis Hakim saat di Persidangan, sangat menentukan nasib Anak Pelaku. Biasanya Majelis Hakim akan memberikan putusan pidana di LPKA jika Anak Pelaku tersebut sudah berulang kali melakukan tindak pidana atau perbuatan pidananya meresahkan masyarakat, membahayakan bahkan menghilangkan nyawa orang lain.  

Penurunan angka penghuni atau Anak didik (Andik) di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tidak luput dari peran serta aparat penegak hukum, mulai dari Penyidik anak, Jaksa Anak, Hakim Anak, Pengacara Anak dan peran aktif Pembimbing Kemasyarakatan yang melakukan penelitian, memberikan pendampingan, memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan atas proses hukum pelaku anak mulai dari Pra Ajudikasi, Ajudikasi, hingga Post-Ajudikasi. Serta memberikan rekomendasi terbaik dan tepat kepada Majelis Hakim Anak agar dapat mempertimbangkan rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dalam memberikan putusan.   

Disisi lainnya, saat ini kita pun turut prihatin bahwa tidak sedikit pula anak-anak yang berani terlibat tindak pidana. Seperti tawuran pelajar, geng motor atau gangster, pencurian kendaraan bermotor atau begal dengan menggunakan senjata tajam, hingga jaringan narkoba maupun terorisme yang memanfaatkan anak-anak dalam setiap aksinya. Masyarakat dibuat takut dan cemas akan aksi-aksi ini yang mengakibatkan tindak pidana. Pekerjaan rumah kembali ditujukan untuk aparatur penegak hukum, para orang tua/wali dan penggiat anak mengatasi hal ini, agar anak-anak kembali kesekolah dan fokus belajar sebagaimana mestinya demi masa depan bangsa sehingga tidak ikut merasakan terpisah dari keluarganya karena terlibat masalah hukum. Sekian

(Penulis: Sumadi,S.H.,M.H)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun