Sekilas sejarah terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, berawal dari para penggiat dan pemerhati yang terdiri dari pakar hukum, psikolog, pakar dalam dunia medis, pakar dalam dunia pendidikan dan lain-lain terkait anak-anak melalui organisasi kelembagaannya melakukan upaya keras agar anak-anak yang terlibat tindak pidana tidak lagi berujung pidana penjara.Â
Para Penggiat mencari solusi alternatif agar anak dapat diselamatkan masa depannya, Anak menjadi cikal bakal generasi penerus bangsa yang harus diperhatikan tumbuh kembangnya, pendidikannya dan hak-hak lainnya. Penggiat dan pemerhati anak menggandeng beberapa kementerian terutama dalam bidang hukum, dan Kementerian lain terkait anak yaitu Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dimana penjara anak berada dalam lembaga tersebut, Mahkamah Agung dimana para hakim yang mempunyai kewenangan memutus perkara anak, Kejaksaan yang menuntut anak pelaku serta Kepolisian yang menangkap dan menyidik kasus anak, Kementerian Sosial, serta lembaga pemerintah Independen maupun non independen yang terkait anak seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas Perlindungan Anak agar dapat bersinergi menyelamatkan aset bangsa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga negara independen, sedangkan Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) merupakan lembaga masyarakat. (sumber Publikasi KPAI)
 Lembaga pemerintah dan penggiat serta pemerhati anak berpikir dan bekerja keras bersinergi mencari solusi terbaik agar kasus-kasus anak tidak lagi berujung pada pidana penjara. Dengan perjuangan dan kerjasama tersebut maka terbitlah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang telah berhasil menyusutkan angka anak yang melakukan tindak pidana dengan berujung pada pidana penjara. Proses hukum anak semaksimal mungkin dihindarkan dari putusan pidana penjara atau Ultimum Remedium sesuai amanat Undang-undang SPPA.
Sekilas catatan informasi saat penulis melakukan wawancara disalah satu Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di wilayah Banten, bahwa dalam kurun waktu kurang dari 2 tahun sejak berlakunya Undang-undang SPPA, angka penghuni di lembaga tersebut turun secara signifikan. Sehinga pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tersebut dapat berjalan optimal. Peran Pembimbing Kemasyarakatan dalam hal memberikan rekomendasi terhadap majelis Hakim saat di Persidangan, sangat menentukan nasib Anak Pelaku. Biasanya Majelis Hakim akan memberikan putusan pidana di LPKA jika Anak Pelaku tersebut sudah berulang kali melakukan tindak pidana atau perbuatan pidananya meresahkan masyarakat, membahayakan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Â
Penurunan angka penghuni atau Anak didik (Andik) di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) tidak luput dari peran serta aparat penegak hukum, mulai dari Penyidik anak, Jaksa Anak, Hakim Anak, Pengacara Anak dan peran aktif Pembimbing Kemasyarakatan yang melakukan penelitian, memberikan pendampingan, memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan atas proses hukum pelaku anak mulai dari Pra Ajudikasi, Ajudikasi, hingga Post-Ajudikasi. Serta memberikan rekomendasi terbaik dan tepat kepada Majelis Hakim Anak agar dapat mempertimbangkan rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dalam memberikan putusan. Â Â
Disisi lainnya, saat ini kita pun turut prihatin bahwa tidak sedikit pula anak-anak yang berani terlibat tindak pidana. Seperti tawuran pelajar, geng motor atau gangster, pencurian kendaraan bermotor atau begal dengan menggunakan senjata tajam, hingga jaringan narkoba maupun terorisme yang memanfaatkan anak-anak dalam setiap aksinya. Masyarakat dibuat takut dan cemas akan aksi-aksi ini yang mengakibatkan tindak pidana. Pekerjaan rumah kembali ditujukan untuk aparatur penegak hukum, para orang tua/wali dan penggiat anak mengatasi hal ini, agar anak-anak kembali kesekolah dan fokus belajar sebagaimana mestinya demi masa depan bangsa sehingga tidak ikut merasakan terpisah dari keluarganya karena terlibat masalah hukum. Sekian
(Penulis: Sumadi,S.H.,M.H)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H