Mohon tunggu...
SUMADI
SUMADI Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DI BAPAS KELAS I TANGERANG

Membantu menambah wawasan masyarakat tentang Hukum Pidana dan Keadilan Restoratif, serta pembaharuan hukum yang berlaku saat ini

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Realisasi Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Terkait Restoratif Justice

3 Juni 2023   13:36 Diperbarui: 3 Juni 2023   14:04 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REALISASI PERATURAN KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2021 TERKAIT RESTORATIVE JUSTICE

(Oleh: Sumadi, S.H.,M.H dari JFT PK Muda di Bapas Kelas I Tangerang)  

Saat ini, lembaga-lembaga penegak hukum diantaranya Kejaksaan, Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Ham, Lembaga Bantuan Hukum, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Semua Lembaga penegak hukum (Law Enforcement) mulai beralih menggunakan Restoratif Justice sebagai solusi alternatif penegakan hukum. Agar tercipta rasa keadilan baik terhadap pelaku, korban maupun masyarakat.

 Penegakan hukum adalah sistem yang di dalamnya terdapat anggota pemerintah yang bertindak secara terorganisir untuk menegakkan hukum dengan cara menemukan, menghalangi, memulihkan, atau menghukum orang-orang yang melanggar undang-undang dan norma hukum yang mengatur masyarakat tempat anggota penegakan hukum tersebut berada. Walaupun istilah ini biasanya mencakup Kepolisian, Pengadilan dan lembaga koreksi masyarakat, tetapi isitilah ini biasanya dipakai juga untuk orang-orang (termasuk mereka yang bukan anggota kepolisian resmi) yang secara langsung terlibat dalam patroli dan pengamatan untuk mencegah atau menggalangi dan menemukan aktivitas kriminal, dan untuk orang-orang yang menginvestigasi kejahatan dan menangkap pelaku kejahatan baik secara individual atau dalam bentuk organisasi penegakan hukum, baik kepolisian maupun yang lainnya. Di dalam organisasi kepolisian terdapat unit-unit, misalnya: polisi yang menyamar, detektif, investigasi, gugus tugas tertentu (geng, obat-obatan, dll.) yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lainnya.( Sumber dari: Wikipedia Indonesia)  

Azas-azas hukum terkait dengan Restorative Justice, yaitu: Mediasi Penal dan Ultimum Remedium. Mediasi Penal merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) yang lebih populer di lingkungan kasus-kasus perdata, namun bukan berarti tidak dapat diterapkan di lingkungan hukum pidana. Sedangkan pengertian dari azas Ultimum Remedium azas dalam hukum pidana, dimana pemidanaan atau sanksi pidana adalah alternatif atau upaya terakhir dalam penegakan hukum. Sedangkan primum remedium adalah kebalikan dari ultimum remedium, dimana penegakan hukum pidana melalui sanksi, baik sanksi pidana maupun perdata. Prinsip utama Restorative Justice adalah adanya partisipasi korban dan pelaku, partisipasi warga sebagai fasilitator dalam penyelesaian kasus, sehingga ada jaminan anak atau pelaku tidak lagi mengganggu harmoni yang sudah tercipta di masyarakat.

Menurut Tony F. Marshall  "Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future". (Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Dari defenisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan.

Banyaknya kasus-kasus pidana yang berujung pada pidana penjara, berdampak pada penuhnya (over crowded) Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melebihi kapasitas sebenarnya. Dan akhirnya berdampak pada terjadinya gangguan keamanan di Lapas maupun Rutan, sehingga pembinaan didalam Lapas maupun Rutan tidak dapat berjalan optimal.

Contoh kasus terjadinya pembakaran Lapas maupun Rutan akibat melebihi kapasitas (over capacity). Terjadinya pembakaran ini berawal dari hal sepele, hingga akhirnya terjadi gesekan antar narapidana atau warga binaan pemasyarakatan blok satu dengan blok lainnya dan berakhir dengan pembakaran Lapas maupun Rutan tersebut. Contoh kasus pembakaran terjadi di Lapas Kelas IIA Gorontalo sekira tahun 2016 lalu, kemudian diikuti Lapas lainnya seperti Lapas Kelas I Tanjung Gusta Medan, Lapas Kelas IIA Bengkulu, Lapas Kelas IIA Jambi, Lapas Narkotika Langkat, Lapas Kelas IIA Banceuy, Lapas Kelas I Cirebon, Lapas Banjar Baru Kalimantan Selatan, Rutan Sialang Bungkuk Riau, Lapas Kelas IIA Manado, dan terakhir Lapas Parigi Moutong. Imbas melebihi kapasitas (over capacity) ini rawan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban serta rawan penyakit menular. Mereka terpaksa harus berebut oksigen atau udara segar untuk sekedar bernafas.

Berangkat dari kasus-kasus inilah, pemerintah melalui aparatur penegak hukum duduk bersama, berkumpul membicarakan masalah ini dan membentuk wadah yang bernama Dilkumjakpol, mulai dari tingkat pertama (penyidik/kepolisian), tingkat kedua (penuntutan/kejaksaan), tingkat ketiga (Hakim/pengadilan) maupun tingkat terakhir (Ditjenpas/Rutan dan Lapas). Mereka mencari solusi agar masalah-masalah ini tidak terjadi lagi dan mengeluarkan payung hukum masing-masing lembaga. Didahului dengan keberhasilan Diversi dan Restoratif Justice sebagai solusi alternatif pada Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang berdampak pada berkurangnya jumlah penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) secara signifikan/drastis. Maka Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai aparatur penegak hukum pun mulai mengedapankan Restoratif Justice sebagai upaya hukum dengan syarat-syarat khusus dan pasal-pasal yang ringan sebagai dasar.

Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482 KUHP. Surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyelidikan. Kemudian dikuatkan dengan payung hukum berupa Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sekian

( Penulis: Sumadi,S.H.,M.H)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun