SEJARAH PANJANG KUHP BARU
( Sumadi, S.H.,M.H dari JFT PK Muda di Bapas Kelas I Tangerang )
Â
      Telah kita ketahui bersama bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, telah disahkan oleh Dewan Perwakilah Rakyat (DPR) dan menjadi undang-undang. Dengan disahkannya Undang-undang ini maka wajib diketahui, dipatuhi serta dilaksanakan oleh setiap orang dan seluruh warga negara yang berada di wilayah Negara Kesauan Republik Indonesia melalui perangkat hukumnya karena bersifat mengikat atau memaksa bagi semua warga negara untuk menaati. Sebab, dengan sudah diundangkannya suatu peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara, maka setiap orang dianggap mengetahui.
      Cara berhukum yang baru melalui KUHP yang telah disahkan, akan lebih relevan jika telah disahkannya pula Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terbaru. Didalam KUHP memuat semua hukum pidana materil, sedangkan hukum pidana formilnya terdapat didalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh sebab itu, keduanya harus disahkan agar berjalan berdampingan sehingga tidak salah arah dalam penerapan pasal-pasalnya.
      Jalan Panjang ide pembuatan KUHP terbaru muncul sejak tahun 1963, dalam sebuah Seminar Hukum Nasional I di Semarang yang dihadiri sekira 500 orang professional dan ahli dalam bidang hukum pidana dari berbagai daerah. Dalam seminar tersebut menghasilkan berbagai hal mengenai hukum pidana di Indonesia. Kemudian dalam seminar tersebut dibuatlah tim perumus KUHP. Selanjutnya sekira tahun 1970, pemerintah membentuk tim perumus yang diketuai oleh Prof. Sudarto pakar hukum dari Unversitas Diponegoro serta beranggotakan Prof. Roeslan Saleh dari Universitas Gajah Mada, Prof. Moeljanto, Prof. Satochid Kartanegara, Prof. Oemar Seno Adji dari Universitas Indonesia dan J.E Sahetapy dari Universitas Airlangga. Selain itu, seminar pada tahun 1963 juga mengumpulkan sejumlah masukan agar terbentuk RKUHP asli Indonesia guna memperluas beberapa delik kejahatan, terkhusus yang berkaitan dengan keamanan negara, ekonomi dan kesusilaan. Sebab saat itu, KUHP masih bersumber dari hukum Belanda, wetboek van strafrecht voor Nederlandsch-indie. Hukum ini disahkan pertama kali melalui staatsblad atau semacam peraturan resmi Nomor 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku di Hindia Belanda pada 1 Januari 1918 (sumber tempo.co).
      Kala itu, Tim Perumus RKUHP bersepakat untuk tidak membuat KUHP dari nol, tetapi melakukan kodifikasi ulang dari KUHP milik Hindia Belanda. Dalam perjalanannya, Soedarto juga sempat meminta pertimbangan dua rekannya dari Universitas Leiden, yaitu Prof. D. Schaffmeister dan Prof. N. Keijzer. Seiring pergantian tahun, tim perumus RKUHP juga mengalami penambahan dan pergantian anggota. Misalnya, pada 1986, ketika Prof. Soedarto meninggal dunia, ia segera digantikan oleh Roeslan Saleh. Dinamika perumusan KUHP, Setelah RKUHP dirumuskan lebih dari 30 tahun sejak 1963, barulah pada akhir 1993, Ketua Tim Perumus RKUHP kala itu, Mardjono Reksodiputro, memberikan naskah lengkap RKUHP kepada pemerintah atau Menteri Kehakiman saat itu, Ismail Saleh. Namun, ketika Ismail Saleh lengser dari jabatannya dan digantikan oleh Oetojo Oesman, pembuatan RKUHP disebut tidak mengalami kemajuan sama sekali. Seakan mati suri, kemudian pada tahun 2013, barulah DPR membahas kembali RKUHP secara intensif. Â
Pada 5 Juni 2015, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden tentang kesiapan pemerintah dalam membahas RKUHP. Di surat itu, pemerintah menyepakati bahwa waktu pembahasan adalah dua tahun atau akan selesai pada 2017. Namun, RKUHP akhirnya baru dapat disahkan oleh pemerintah pada 2022 atau 7 tahun kemudian. Apabila kegiatan Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963 dihitung sebagai cikal bakal perumusan RKUHP, maka produk hukum ini dapat dikatakan sebagai Undang-undang paling lama pembuatanya dalam sejarah Indonesia, lebih dari setengah abad.
Sekilas Biodata Tim Perumus KUHP terbaru hingga disahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir tahun 2022, diantaranya Prof. DR Muladi, lulusan Fakultas Hukum Universitas Semarang (1968), pasca sarjana Fakultas Hukum International Institute of Human Right Distrasbourg Perancis (1979), doktoral Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung dengan predikat cumlaude (1984) dan Kursus Singkat Angkatan (KSA) III Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) (1993), menteri sekretaris negara era Reformasi Pembangunan merangkap menteri Kehakiman. Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H.,M.A.,Ph.D, lulusan Universitas Indonesia (1979), pasca sarjana Universitas Indonesia (1982), Sam Houston State University (1992), Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Prof. DR Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H.,M.H lulusan Universitas Diponegoro (1975), pasca sarjana Universitas Diponegoro (1998), Doktoral Universitas Indonesia (2002) dan Guru Besar Universitas Diponegoro. DR. Muslimin Abdi, S.H.,M.H lulusan doktoral Universitas Padjajaran Bandung dan pernah menjabat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia serta Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. DR. Suhariyono A.R, S.H.,M.H dewan pakar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). DR. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H lulusan Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro, pasca sarjana Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran Bandung, Doktoral Universitas Indonesia dan pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) (2010) dan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2014). DR. Muzakir dan DR. Chairul Huda dalam rapat konsolidasi RUU KUHP yang dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yaonna Laoly beberapa waktu yang lalu, anggota tim penyusun RUU PKS Dr Chairul Huda menyatakan bahwa RUU KUHP ini tidak ada indikasi yang memakan kewenangan KPK, PPATK, dan lembaga penegak hukum lainnya. (sumber dari Wikipedia Indonesia dan merdeka.com)
Kandungan dalam KUHP Terbaru diantaranya adalah rasa adil yaitu keadilan korektif, keadilan restorative dan keadilan rehabilitative. Selain itu juga KUHP Terbaru ini memberikan keseimbangan hidup bermasyarakat, karena bertitik tolak dari asas keseimbangan yaitu keseimbangan antara kepentingan masyarakat umum dengan kepentingan individu; Pengakuan  terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat (pasal 2 ayat 1); alasan pemaaf (pasal 40-44) dan alasan pembenar (pasal 31-35); pertanggungjawaban pidana korporasi; tujuan pemidanaan (pasal 51) yaitu pencegahan, rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan penciptaan rasa aman dan damai, penumbuhan penyesalan terpidana.
( Penulis, Sumadi, S.H.,M.H)