Eit,.. jangan ngeres dulu ! Ini memang betul-betul ada ! Betul-betul terjadi. Saya pun kaget juga mendengarnya. Siapa sih yang tidak kenal Ariel ? Siapa pula yang tak kenal Luna Maya.Di tengah-tengah kehebohan video yang mirip dia itu, rasanya hampir setiap orang tahu. Tua, muda, dewasa, anak-anak, laki-laki, perempuan, pasti tahu. Tak lupa ibu-ibu yang sedang arisan pun pasti ada tambahan topik : video mirip Ariel dan Luna Maya.
Menunggu perjalanan panjang dengan menggunakan fasilitas umum menjelang weekend, beraneka ragam keunikan dapat dijumpai.Dan yang pasti selalu mendampingi dalam setiap perjalanan adalah pengamen, atau pedagang asongan.
Mereka itu memang unik. Berbagai cara mereka lakukan agar banyak yang membeli daganganya. Ada yang dengan cara membagi-bagikan dulu barangnya, supaya orang melihat, ada juga yang mendatangi satu per satu penumpang. Semua itu dalam rangka : berpromosi.
Termasuk pedagang lonthong dan tahu, ketika itu. Spontan pedagang lontong dan tahu ini pun berpromosi. “ Mari Pak, Lonthong Arielsama tahu Maya. Enak, sambil nunggu sebelum Bapak-Ibu berangkat”.
Geli sekali mendengar itu. Setelah beberapa saat saya renung-renungkan,…. mereka itu tidak salah.Berusaha “numpang” topik-topik hangat yang lagi tren saat itu, sehingga minimal orang mau mendengarkan, dan akhirnya mau beli.
Mereka berupaya memanfaatan moment-moment penting, supaya gampang dikenal, numpang beken, meskipun itu hanya spontanitas saja.Apa hubungannya lonthong dengan Ariel? Lantas apa pula hubungannya tahu dengan Maya? Nggak ada!
Tahukan Anda ketika sedang hangat-hangatnya berita kontroversi Manohara? Ketika itu dimanfaatkan beberapa pengusaha restoran menamakan menu makanan atau minumannya dengan “Manohara”?Apakah dengan memberi nama Manohara lantas produknya secantik Manohara? Apa hubungannya Manohara dan menu makanan? Tidak ada juga.
Ini hanyalah sebuah improvisasi supaya orang “penasaran”.Ketika disuguhkan daftar menu makanan,misalnya, es campur Manohara,... maka persepsi orang pasti menuju wajahnya Manohara yang cantik, halus, rambut panjang, gaya bicaranya yang khas, dll. Lengkaplah sudah, sosok Manohara melekat pada es campur ini. Akhirnya,….. “oke, saya coba es campurManoharanya”.
Ketika sudah dicoba dan ternyata benar-benar enak, maka kedatangan berikutnya pasti akan minta lagi : Es Campur Manohara. Belum lagi mereka akan cerita kepada teman-temannya, kalau “Es Manohara itu enak lho!”Artinya, pembeli sudah “terbius” dengan sosok Manohara.
Demikian juga dengan lonthong “Ariel dan tahu “Maya” tadi. Sesungguhnya pedagang asongan tadi berusaha mem-branded-kan lonthong dan tahunya. Di akui atau tidak, mereka berusaha membangun sebuah persepsi, atau image building. Kalau dalam ranah perpolitikan, disebutnya pencitraan.
Citra Ariel dan Luna Maya berusaha di-linked-kan pada produknya, meskipun pengambilan thema ini mungkin kurang pas.Yang pasti ada upaya untuk membangun image. Membangun Brand.
Sedemikian pentingnya brand (baca : merk), sehingga banyak sekali brand-brand terkenal di “copy” orang lain. Numpang enak maunya, meskipun itu melanggar undang-undang.Akhirnya terjadi saling tuntut.
Belakangan ini kalau kita mendengar atau membaca berita, maka banyak sekali mobil-mobil dengan merk terkenal di recall. Padahal menurut kita masalahnya hanya sepele. Tapi dalam rangka mempertahankan merk, supaya merk yang sudah dikenal ini tidak hancur oleh permasalahan yang sepele tadi, maka mereka rela mengeluarkan ribuan dollar untuk me-recall dan memperbaikinya. Suatu bukti sedemikian mahalnya sebuah merk.
Kisah seorang empu (baca: perajin benda-benda tajam seperti pisau, cangkul, dll) di Wonosobo, Jawa Tengah semakin memperkuat betapa merk sedemikian hebatnya memberikan nilai pada suatu barang.Di sana ada salah satu empu bernama Djumadi.Dan merk yang “ditempelkan” pada produknya juga Djumadi.
Anehnya, untuk satu buah pisau (parang) merk Djumadi ini mampu menembus pasar dengan harga Rp 125.000,-. Itu pun pembeli (para bakul) harus antri untuk mendapatkannya.Padahal merk lainnya hanya Rp 45.000,-. Artinya ada gap harga Rp 80.000,-.
Ketika saya tanya modal untuk membuat satu batang pisau parang ke empu lain yang juga tinggal satu lokasi dengan Djumadi, ternyata modalnya sama. Yaitu sekitar Rp 25.000,-.Saya kejar lagi dengan pertanyaan, kenapa Djumadi mampu menjual dengan harga yang jauh lebih mahal?
Empu lain itu menjawab, memang kalau pisau parang buatan Djumadi itu ketika dipanaskan dan ditempa tidak pecah.Sementara produk lainnya hampir selalu pecah.Artinya ada “rahasia” yang tersembunyi dibalik pisau buatan Djumadi. Mungkin material yang digunakan atau seberapa besar perbandingan antara besi dan baja yang digunakan.
Sehingga pasar sebenarnya mengakui keunggulan produk Djumadi ini dan mau membayar dengan harga yang jauh lebih mahal,. Meskipun harus antri, para pembeli ini tetap mau menunggu.
Yang patut diacungi jempol adalah ketika saya test dengan pertanyaan kepada empu lain yang nota bene sebagai saingan Djumadi ini. “Kenapa Bapak tidak memberikan stempel Djumadi saja di produk Bapak?” Dengan lugunya dia menjawab tidak berani karena takut dihukum!. Luar biasa. Kejujuran diemban kuat-kuatoleh empu ini.“Begini saja saya sudah naik haji dua kali bersama istri. Dan tahun ini dua anak saya juga berangkat naik haji”. Ha….?
Baik lonthong “Ariel”, tahu “Maya” ataupun pisau parang “Djumadi” semua bertumpu bagaimana membangun sebuah persepsi, serta bagaimana persepsi yang terbentuk menjadi lain dari pada yang lain (difference). Butuh sebuah inovasi yang kreatif, serta proses yang panjang sehingga semua yang bernilai lebih pada suatu barang betul-betul dirasakan konsumen dan akhirnya dipercaya.Selamat berinovasi !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H